Kita Perlu Kota Ramah Manusia, Bukan Ramah Modal: Wawancara Dengan Maryanto

Sebelum berangkat ke Nigeria, Maryanto sempat saya temui untuk membincangkan perkembangan riset serta berbagi pandangan seputar tema yang sedang dibahas dalam Equator edisi ini, yakni seni dan politik. Maryanto merupakan salah satu seniman yang mengikuti program residensi selama dua minggu di Nigeria, bersama dengan seorang seniman lainnya, Anggun Priambodo. Pada kesempatan ini, Maryanto menceritakan proses risetnya seputar politik minyak dengan studi kasus pertambangan minyak di Bojonegoro. Riset yang dilakukan bersama tim ini merupakan salah satu prosesnya dalam mempersiapkan karya yang akan ditampilkan dalam BJXIII. Selain membicarakan persoalan politik minyak, Maryanto juga menyampaikan pandangan reflektifnya seputar peran seniman di tengah persoalan sosial.

Bisa diceritakan arah riset tentang politik minyak yang sedang dilakukan?
Aku ingin mengurai kompleksitas persoalan dalam pengelolaan minyak di Indonesia, dengan mengambil studi kasus di Bojonegoro. Membicarakan pertambangan tidak bisa dilepaskan dari permasalahan privatisasi, regulasi hingga persoalan distribusi Sumber Daya Alam di masyarakat. Salah satu keresahan yang menjadi latar belakang dalam riset ini ialah sejauh mana minyak yang berasal dari perut bumi ini hasilnya bisa didistribusikan dan dirasakan oleh masyarakat. Dari situlah aku mencari tau sistem pengelolaan minyak. Awalnya kita percaya sistem pertambangan dikelola oleh negara, namun negarapun menyerahkan pengelolaan dilakukan oleh korporasi besar. Aku tidak yakin keuntungannya dirasakan oleh masyarakat. Meski kita hidup di atas tanah yang kaya, aku yakin kita tidak bisa menikmati kekayaan tersebut. kompleksitas persoalan itulah yang coba diurai dalam penelitian ini.

Apa saja unsur-unsur yang membuatnya jadi kompleks?
Persoalan privatisasi, pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran hingga perubahan sosial dalam masyarakat. Membicarakan pengelolaan tentu kita tidak bisa mengabaikan persoalan privatisasi. Dalam konteks privatisasi, masyarakat berada pada posisi paling rendah, karena persoalan ketrampilan. Semisal Exxon menambang di suatu tempat di tengah masyarakat, karena skill masyarakat yang terbatas, maka pekerja terampil tidak diserap dari masyarakat. Ketika ditanya tentang infrastruktur, banyak yang mengeluh pembangunannya tidak tepat sasaran, karena pembangunan banyak dikelola oleh broker atau LSM yang tidak paham kebutuhan masyarakat. Bahkan menurut cerita Pak Kades, perubahan sosial masyarakat setelah pertambangan masuk tidak terlalu menyenangkan pada tataran pola konsumsi dan mental. Perubahan dari masyarakat agraris menjadi pertambangan membuat konsumsi masyarakat semakin meningkat. Banyaknya warga yang kaya mendadak meningkatkan pola konsumsi gadget, motor bahkan prostitusi. Yang jadi masalah di sini ialah bahwa pembangunan yang terjadi bukanlah pembangunan manusia, tetapi hanya pembangunan fisik. Memang jalanan menjadi lebih halus, warga tidak kesulitan mencari air, tetapi pembangunan manusianya menjadi luput dari perhatian.

Bagaimana persoalan ini dibahas dengan menyandingkan persoalan yang ada di Nigeria?
Harus dicari persamaan dan perbedaannya. Bagaimanapun juga persoalan dan keresahannya tetap sama, yakni soal bagaimana potensi minyak dikelola dan diatur dan bagaimana masyarakat menikmati hasil buminya. Itu saja pertanyaan gampangnya. Lalu di Nigeria kita cari tau bagaimana posisi masyarakat menghadapi potensi alamnya.

Bagaimana awal warga memulai penambangan? Bagaimana sistem penambangan minyak rumah tangga beroperasi dan apa saja masalahnya?
Berdasar cerita warga, penambangan dimulai dengan proses ritual. Untuk memulai pengeboran, diperlukan sekitar 900 juta rupiah. Oleh karena itu mereka mengundang investor. Investor tersebut kemudian mengambil keuntungan bagi hasil. Proses pengelolaan yang dilakukan warga hanya sampai sebatas minyak mentah. Warga tidak boleh langsung menjual hasil jadi, tetapi beberapa tetap menjualnya secara sembunyi-sembunyi. Meski di masyarakat juga sudah berkembang wacana bahwa hasil olahan warga tidak bagus untuk mesin.

Soal proses ritual, warga menjalankan ritual khusus untuk sumur, karena dianggap sebagai sumber rejeki. Kenaikan ekonomi warga di sekitar situs penambangan memang sangat drastis. Investasi awal yang memerlukan 900 juta rupiah itu akan balik modal dengan cepat. Walaupun sebenarnya minyak yang mengalir akan cepat berhenti. Beberapa sumur bahkan sudah berhenti mengalirkan minyak.

Yang jadi masalah ialah; warga memang banyak mendapatkan keuntungan ekonomi, akan tetapi percekcokan rumah tangga semakin tinggi. Tingkat pendidikan juga rendah. Pemahaman mereka tentang lingkungan itu aji mumpung.

Sejak kapan banyak mengeksplorasi persoalan SDA dan bagaimana awalnya?
Aku sebenarnya selalu tertarik dengan tema-tema lingkungan. Karyaku sebelumnya kan tentang lingkungan urban, seperti yang kubahas dalam Rawalelatu, itu tentang perubahan dari rawa ke wilayah urban dan industri. Kehidupan warga di pinggiran kota sudah menjadi pemandanganku sejak kecil. Aku ingat bagaimana listrik baru masuk ke kampungku pada tahun 1985. Kemudian ada pabrik tekstil. Yang tadinya kampung lalu berubah menjadi apartemen. Logika awalnya sih mau membicarakan bagaimana kampung berubah menjadi apartemen. Yang jadi soal ialah karena pembangunan hanya berpusat pada pembangunan ekonomi, bukan pembangunan masyarakat dan manusianya. Hanya pendapatan negara yang menjadi perhatian. Arah pembangunan kota juga harus direncanakan dengan melibatkan masyarakat.

Kita bisa membandingkan apa yang terjadi di kota ini dengan pola hidup komunitas, semisal komunitas Ciptagelar. Mereka mengelola semua kebutuhan komunitasnya secara bersama-sama. Dari urusan dasar manusia, yakni kebutuhan untuk makan hingga pendidikan dan kesenian. Sementara masyarakat industri yang ada saat ini barangkali bisa mencukupi kebutuhan dasarnya, tetapi kebutuhan dalam pengembangan diri tidak bisa mereka penuhi. Seperti yang bisa kita lihat dari masyarakat yang bekerja di pertambangan itu. Tidak ada kesempatan untuk mengartikulasikan diri, sementara arah pembangunan kota tidak berorientasi pada manusia dan nilai humanistis. Kita perlu kota yang ramah manusia, bukan ramah modal.

Pergeseran eksplorasi tema dari urban ke agraris, bisa diceritakan?
Ketika membicarakan Rawalelatu dalam konteks perubahan sosial, pasti ada yang rusak, ada menjadi korban. Perubahan dari agraris ke industri, pasti ada sawah yang dirusak dan pohon-pohon hutan yang ditebang. Pada saat itu, sewaktu masih banyak drawing, aku penasaran untuk mencari tau seluk-beluk industri kertas. Aku penasaran dengan proses produksi kertas, lalu aku menemukan kasus kerusakan alam yang dilakukan oleh APP (Asia Pulp and Paper). Sebagai perusahaan terbesar se Asia Tenggara, perusahaan ini menghancurkan hutan namun berdalih punya standar perkebunan. Untuk mendapat standar ramah lingkungan pun mereka memesannya dari lembaga sertifikasi, namun lembaga tersebut justru menemukan lebih banyak kerusakan.

Pada dasarnya, ketertarikan ini bermula karena aku banyak menggunakan media kertas untuk drawing. Lama-lama aku jadi lebih tertarik untuk mengetahui kasus pengrusakannya. Yang lebih pelik lagi ketika membicarakan kerusakan yang diakibatkan Freeport di Papua. Aku juga banyak berbincang dengan teman yang sudah melakukan penelitian terkait dengan kerusakan yang diakibatkan Freeport. Dari sisi sejarah, berdirinya Freeport juga berpengaruh terhadap regulasi dan keberadaan industri pertambangan.

Mengapa setelah Rawalelatu tidak menggunakan tokoh karakter? Bagaimana karakter dalam Rawalelatu dikembangkan?
Pengembangan tokoh karakter berdasar riset dan observasi yang dilakukan dari lingkungan tempat aku tinggal, dari orang-orang terdekatku. Fokus observasi terutama difokuskan pada pola-pola berpikirnya. Karakter keledai misalnya, kugambarkan sebagai karakter yang berasal dari desa, kemudian pindah ke Rawalelatu, bekerja sebagai pegawai negeri, konservatif dan mengutamakan kemapanan. Namun secara umum, karakterisasi dilakukan dalam konteks kritik dan otokritik dalam membicarakan perubahan sosial. Setelah Rawalelatu, aku lebih banyak mengeksplorasi landscape yang menyandingkan ironi, lebih sejarah, arsip dan potret.

Secara umum bisa dikatakan tema-tema yang dibicarakan selalu berkaitan dengan politik?
Iya. Politik, lingkungan, poskolonial, orba. Jika harus ditarik benang merahnya, maka setiap tema yang dibahas selalu terkait dengan perubahan industri. Dalam Space of Exception, aku berbicara bahwa ada satu bagian dari diriku yang belum tersentuh dan aku sangat menikmati bagian itu. Ada semacam ruang yang sangat damai, ruang baru. Di dalam ruang pameran, aku buat tenda biru yang bisa diakses pengunjung untuk menulis atapun merefleksikan ruang ideal mereka. Ada lampu kecil, ada tempat untuk duduk dan menulis tentang kedamaianmu. Ada juga yang tidur.

Apa yang dimaksud dengan ruang damai itu?
Bagiku ruang tidak hanya bisa dimaknai secara fisik, tetapi juga mental. Di dalam suatu rumah misalnya, terdapat ruang sembahyang yang disakralkan, ruang kerja atau bahkan ruang tamu, yang pembagiannya tidak semata secara fisik, namun psikis.

Ketika membicarakan tema-tema yang terkait dengan orde baru, bagaimana kamu melihat penggunaannya dalam berkesenian sampai hari ini?
Menuruntuku tergantung sudut pandangnya. Yang menarik ialah bahwa sejarah itu akan selalu tergantung pada keberpihakan. Berbicara tentang Suharto, sebenarnya masih banyak yang berpihak pada Suharto. Namun membicarakan Orde Baru yang berlangsung sangat lama tidak serta merta bisa dilupakan. Dilihat dari sisi eksploitasi industri, Orde Baru merupakan momen yang sangat signifikan dalam membuat kerusakan lingkungan. Eksploitasi alam yang berlangsung masif sampai hari ini itu merupakan akibat dari Orde Baru. Orde Barulah yang membuat pondasi buruk.

Seperti fenomena “piye kabare, isih penak jamanku..”
Ya, itu salah satu kegagalan pendidikan kita. Kita dididik untuk kritis yang arahnya selalu berpikir negatif. Menuruntuku kita perlu berhenti membaca berita buruk yang disodorkan oleh media. Kita butuh orang yang bisa lebih melihat harapan dan sisi positif. Ketika melihat kondisi buruk hari ini lalu ingin kembali ke masa Orde Baru, itu bagiku salah.Warisan Orde Baru dalam membuka industrialisasi besar-besaran dan membuka ruang eksploitasi tetap harus dipersalahkan.

Bagaimana posisi seniman dalam mengambil perannya di masyarakat?
Posisi seniman harus ditanggapi sebagai posisi yang paling unik sebenarnya. Bukan paling aman. Karena kita bukan praktisi yang bisa ngasih solusi. Kalau solusipun sifatnya artistik, yang biasanya aneh-aneh dan nyeleneh. Nah, kebebasan inilah yang harusnya dimanfaatkan oleh seniman untuk berkarya. Walaupun karya itu tidak menciptakan perubahan sosial secara langsung, setidaknya bisa menggambarkan atau menginspirasi. Menarik lagi ketika membicarakan keberpihakan. Membicarakan keberpihakan bagiku tidak semata memilih satu dari dua pilihan, tapi harus ada pilihan ketiga. Posisi seniman tu harus seperti itu.
Ketika membicarakan kerusakan alam, peran seniman saat ini banyak banget. Bahkan seniman dadakan pun banyak yang tiba-tiba ngomongin politik. Artinya ini bukan hanya peran seniman, tapi media kreatif. Karena perubahan yang dibicarakan tidak semata perubahan fisik, tapi kan perubahan mental, pola pikir. Kita seniman tidak bisa membuat satu sistem atau satu struktur, tapi melihat sesuatu dari kaca mata khusus yang mungkin tidak terlalu banyak dipikirkan oleh orang kebanyakan. Di situlah sisi politis seorang seniman. Bukan hanya peran seniman sih, tapi peran suatu kreatifitas, yang tidak perlu terbelenggu oleh peran seniman, tapi siapa aja, dan tidak hanya akses galeri.

Wawancara oleh: Lisistrata Lusandiana (Tim Riset BJXIII Hacking Conflict)