BIENNALE JOGJA EQUATOR

Biennale Jogja (BJ) adalah biennale internasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). Pertama kali diadakan pada tahun 1988, tahun ini adalah penyelenggaraan kali ke-14. Mulai tahun 2011, YBY meluncurkan proyek Biennale Jogja seri Ekuator (Biennale Ekuator) yang berfokus pada kawasan ekuator. Yayasan Biennale Yogyakarta mengasumsikan ekuator sebagai perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas ‘kemapanan’ ataupun konvensi atas event sejenis. Equator adalah titik berangkat dan common platform untuk ‘membaca kembali’ dunia.

BJ seri Equator akan membawa Indonesia, khususnya Yogyakarta, mengelilingi planet Bumi selama 10 tahun. Dalam setiap penyelenggaraannya, Biennale Ekuator akan bekerjasama dengan satu atau lebih Negara atau kawasan di sekitar ekuator.

Perjumpaan melalui kegiatan seni rupa dalam BJ Ekuator akan diselenggarakan dengan semangat membangun jejaring yang berkelanjutan sehingga dialog, kerjasama, dan kemitraan dapat melahirkan hal-hal baru yang lebih luas dan berkelanjutan di antara para praktisi di kawasan ekuator. Harapannya, BJ dapat memberikan kontribusi pada terbentuknya topografi medan seni rupa global yang dirumuskan secara baru.

Penyelenggaraan Biennale Equator dari masa ke masa adalah sebagai berikut:
Equator #1 2011 : Indonesia – India
Equator #2 2013 : Indonesia – negara di kawasan Arab
Equator #3 2015 : Indonesia – Nigeria (Afrika)
Equator #4 2017 :  Indonesia – Brasil

Edisi Jogja Biennale Ekuator #4 2017 kali ini adalah titik terjauh dalam perjalanan mengelilingi garis Ekuator. Pada edisi ekuator yang keempat, memilih Brasil sebagai negara mitra.

PERJUMPAAN INDONESIA – BRAZIL

Dalam Seminar Bela Negara yang dihadiri ratusan anggota resimen mahasiswa di Makassar, Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo memaparkan tentang pentingnya kerjasama antar negara-negara di kawasan equator dalam menghadapi persoalan global di masa yang akan datang. Ia mengingatkan bahwa krisis energi yang kini sedang terjadi dikhawatirkan akan bergeser menjadi krisis pangan. Dan medan konflik yang kini berlangsung di kawasan Arab akan bergeser ke kawasan equator lain yang memiliki musim tanam panjang.

Menipisnya cadangan sumber energi fosil untuk pemenuhan kebutuhan produksi industri-industri besar di dunia, telah menjadikan kawasan Arab sebagai medan konflik yang paling panas.  Krisis yang terjadi di Irak, Mesir, Libia, dan Suriah telah memicu gelombang migrasi secara besar-besaran, krisis kemanusiaan yang terjadi telah membangkitkan kesadaran kaum fundamentalis untuk menuntut perubahan yang segera. Wabah kekerasan yang salah alamat telah menular ke berbagai penjuru dunia, letupan-letupan traumatik berupa aksi teror bahkan telah berulang kali menghantam Indonesia. Momen-momen traumatik yang terjadi belakangan ini membuka kesadaran baru untuk meninjau kembali hubungan kerja sama Indonesia dengan negara dan bangsa lain.

Brazil adalah negara di kawasan ekuator yang memiliki musim tanam panjang dan telah berhasil mengembangkan bioenergi sebagai alternatif lain dari energi fosil. Maka menjalin hubungan kerja sama dengan Brazil tentu akan bernilai strategis untuk menjawab tantangan-tantangan di masa yang akan datang. Dalam menjalin kerja sama dengan Brazil, jarak yang jauh dan perbedaan budaya yang besar menjadi kendala yang utama. Maka perjumpaan Indonesia-Brazil dalam Biennale Jogja Ekuator kali ini adalah upaya membangun percakapan untuk saling memahami budaya masing-masing negara melalui seni rupa kontemporer.

Pada kunjungan pertama ke Brazil pada November 2016, Tim Biennale Jogja menemukan momen estetik dalam  São Paulo Biennial ke-32, Live Uncertainty. Perhelatan ini tidak hanya merefleksikan persoalan ketidakstabilan politik ekonomi karena momen traumatik dari pergantian kekuasaan di Brazil yang terjadi pada tahun sebelumnya, tapi juga mengetengahkan persoalan ekologi sebagai pangkal persoalannya. Tentang pemanasan global dan dampaknya pada habitat kita, pemusnahan spesies dan lenyapnya keragaman hayati yang tentu juga berdampak pada hilangnya keragaman budaya. Bagaimana menjawab persoalan Live Uncertainty, ketidakpastian hidup, jika wabah ketakutan telah mempengaruhi kondisi psikologis individu dan kolektif adalah pertanyaan yang disodorkan perhelatan São Paulo Biennial ke 32.

KURATORIAL BIENNALE JOGJA

Biennale Jogja XIV Ekuator #4 hendak menjawab persoalan ketidakpastian hidup yang telah membuat kita tidak berani untuk berharap karena kenyataan semakin sulit untuk dipahami.
Tema besar yang diangkat dalam Biennale Jogja XIV Equator#4 adalah:

stAGE OF HOPElessness

Narasi besar ini akan mengajak kita pada satu pengalaman melintas dari ketidakpastikan menuju harapan. Menyajikan serangkaian momen-momen traumatik yang dapat ditangkap sebagai momen-momen estetik yang memunculkan kesadaran. Sembilan repertoar yang akan ditampilkan terdiri dari tiga bagian besar yaitu Organizing Chaos yang menjadi tema untuk Festival Ekuator, stAGE OF HOPElessness yang menjadi tema untuk Main Exhibition dan Parallel Events, dan Managing Hope yang menjadi tema untuk Biennale Forum.

ORGANIZING CHAOS
(Festival Ekuator)

Tentang munculnya ketidaklaziman yang sulit untuk dimengerti dan merebaknya wabah kegilaan sebagai penanda akan terjadinya perubahan (fenomena berita bohong dan ujaran-ujaran yang menyinggung perasaan).

Menjadi tema untuk Festival Ekuator yang diadakan sebelum pameran utama berlangsung, Organizing Chaos adalah kumpulan kekacauan yang tertata. Keadaan yang tidak biasa dan peritiwa yang tidak lazim ditampilkan di ruang-ruang publik untuk mengingatkan kembali orang-orang pada momen-momen traumatik di masa lalu. Tema ini menjadi pembuka bagi pagelaran Biennale kali ini.

stAGE OF HOPElessness
(Main Exhibition dan Parallel Events)

Penyangkalan atas Kenyataan, tentang pemujaan pada ilusi kehidupan yang ideal, penolakan atas perubahan yang menyakitkan, dan wabah ketidakpedulian pada perubahan (fenomena kemenangan janji palsu dalam demokrasi yang korosif, dalam pasar bebas yang tidak berkeadilan).

Ilustrasi peristiwa: kemenangan Donald Trump, pemilihan gubernur Jakarta 2017, pengantian kekuasaan di Brazil 2015.

Kemarahan pada Keadaan, tentang hancurnya ilusi kehidupan yang ideal, pemaksaan kehendak untuk perubahan, dan wabah kekerasan yang salah alamat (fenomena ilusi kiamat setiap hari dalam kepercayaan yang korosif, bangkitnya fundamentalis dan perlawanan pada sistem global, aksi-aksi protes… ).

Ilustrasi peristiwa: aksi boikot, misalnya aksi 212 di Jakarta, pemogokan kerja, demonstrasi, perusuhan massa.

Keputusasaan atas kehilangan, tentang putusnya relasi dengan orang lain, hilangnya cinta dan kebersamaan, perilaku tidak produktif dan letupan-letupan yang merusak (fenomena keterasingan, penyimpangan perilaku, keinginan bunuh diri hingga aksi terorisme).

Ilustrasi peristiwa: aksi teror di Indonesia dan berbagai negara dunia dengan aktivitas ISIS, penyerbuan narkoba di favela di Brazil; kekerasan rumah tangga, kasus pembunuhan anak perempuan di Bali.

Kepasrahan dalam ketiadaan, tentang kenyataan yang traumatis, tawar menawar antara hidup dan mati, penyerahan pada kehendak alam dan naluri bertahan hidup. (fenomena perubahan alam yang melampaui ketidakmungkinan dan perubahan spiritual yang mengikutinya).

Ilustrasi peristiwa: peristiwa bencana alam berskala besar, misalnya gempa di Jogja tahun 2006, tsunami Aceh tahun 2004, banjir dan longsor di Rio de Jenairo tahun 2011.

Penghiburan atas kehilangan, tentang terjalinnya relasi baru yang penuh kejenakaan, tumbuhnya cinta dan kebersamaan, kemampuan melihat keindahan dalam kesederhanaan, perilaku produktif dan letupan-letupan yang kreatif (fenomena munculya gerakan kemanusian dan gerakan peduli pada lingkungan).

Ilustrasi peristiwa: kemunculan kelompok-kelompok yg membela komunitas yg dipinggirkan, sub-cultures, humanitarisme.

Kesadaran pada Keadaan, tentang pemikiran yang mengikuti naluri dalam menghadapi persoalan, kesadaran baru untuk membuat alternatif perubahan (fenomena penemuan-penemuan sederhana yang memiliki arti kegunaan, bangkitnya kearifan local dan semangat kemandirian yang tidak bergantung pada sistem global).

Ilustrasi peristiwa: temuan inovatif misalnya ketela sebagai pengganti bahan bakar fosil.

Penerimaan atas Kenyataan, tentang keberanian untuk tidak berharap, siap menerima perubahan walau menyakitkan, dan penemuan kebebasan dalam keterbatasan (fenomena kemenangan dari pengorbanan, pewarisan masa lalu untuk masa depan).

Ilustrasi: kematian Salim Kancil di Lumajang.

stAGE OF HOPElessness adalah tema untuk Main Exhibition dan Parallel Event. Tema ini akan dijawab oleh karya-karya seniman Indonesia dan Brasil melalui pameran utama di Jogja National Museum dan ruang-ruang pamer lain di Yogyakarta yang menjadi peserta Parallel Event. Tema ini adalah perlintasan panjang yang merupakan tahapan-tahapan psikologis dari ketidakpastian menuju harapan.

MANAGING HOPE
(Biennale Forum)

Tentang percakapan-percakapan produktif yang dilandasi kesadaran akan hadirnya momen-momen traumatik dalam kehidupan kita sebagai momen-momen estetik yang dapat menjawab persoalan kita tentang ketidakpastian hidup yang kita hadapi di hari ini.

Managing Hope adalah tema untuk Biennale Forum yang berupa serangkaian pertemuan diskusi yang memantik pembicaraan-pembicaran berdasar pada kenyataan-kenyataan hari ini untuk mencari kemungkinan baru untuk masa depan lebih baik.

PRODUSER & PENYELENGGARA BIENNALE EQUATOR

Biennale Jogja XIV Equator #4 diselenggarakan dan diorganisir oleh Yayasan Biennale Yogyakarta

Misi Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) adalah:
Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni-budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010.

Seni rupa sebagai salah satu sektor kreativitas budaya kian tumbuh dengan pesat di Yogyakarta dan menempati posisi sentral dan sangat penting dalam kehidupan seni rupa Indonesia. Yogyakarta memiliki peran yang sangat dominan dalam sejarah seni rupa Indonesia. Di wilayah ini terdapat akademi seni paling berpengaruh, tempat tinggal para seniman terkemuka dengan peristiwa seni yang tak pernah surut.

Pengembangan dan pengelolaan kekayaan budaya adalah upaya untuk membangun dan mengoptimalkan seluruh potensi kreativitas dari manusia-manusia pencipta karya budaya maupun pemanfaatan seluruh aset budaya yang telah ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

PELINDUNG:

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Sri Sultan Hamengku Buwono X

PENASIHAT:

Dewan Yayasan Biennale Yogyakarta
Suwarno Wisetrotomo
Dyan Anggraini
Ong Hariwahyu
Anggi Minarni
Kuss Indarto
Oei Hong Djien
Butet Kartaredjasa
Eko Prawoto
Nindityo Adi Purnomo
Mella Jaarsma

TIM KERJA:

BIENNALE JOGJA XIV EQUATOR #4
Direktur BJ XIV : Dodo Hartoko
Direktur Artistik : Forum Ceblang Ceblung
Kurator : Pius Sigit Kuncoro

BIENNALE JOGJA 10 TAHUN : WAWANCARA DENGAN KATULISTIWA

Pada 2011 Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) meluncurkan proyek Biennale Jogja seri Equator (Biennale Equator), serangkaian pameran dengan agenda jangka panjang yang akan berlangsung sampai dengan tahun 2022. Biennale Equator akan mematok batasan geografis tertentu sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27° LU dan 23.27° LS. Dalam setiap penyelenggaraannya Biennale Equator akan bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai ‘rekanan’, dengan mengundang seniman-seniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta.

Biennale Equator bertekad untuk mengembangkan perspektif baru dalam wacana seni rupa kontemporer, sekaligus untuk membuka diri dan melakukan revisi atas ‘kemapanan’ ataupun konvensi atas kegiatan sejenis. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis—seolah-olah inklusif dan egaliter, hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia.

Equator/Katulistiwa akan menjadi common platform untuk ‘membaca kembali‘ dunia. Menegasi keberadaan pusat-pusat dengan menawarkan area kerja wilayah sabuk katulistiwa dengan sudut pandang yang  nir-pusat.

Konsep Equator tidak saja diangankan untuk menjadi semacam bingkai yang mewadahi kesamaan, tapi juga sebagai titik berangkat untuk mengejawantahkan keberagaman budaya masyarakat global dewasa ini.  Sebagai batasan geografis, Equator adalah kawasan yang memiliki kekhasan secara ekologis. Sebagai kawasan sosial-budaya, sejumlah negara di wilayah ini juga memiliki banyak kemiripan secara historis dan etnografis, misalnya dalam hal nasib politik sebagai ‘negara pascakolonial’. Wilayah ini  luar biasa menarik untuk dieksplorasi karena keberagaman masyarakatnya merupakan cerminan kekayaan budaya, sekaligus sumber daya hidup yang tidak berjeda.

Ekuator/Khatulistiwa, zona bumi yang relatif memiliki kecepatan rotasi lebih tinggi, bentangan wilayah sepanjang 40.000 km, mozaik pulau dan benua dalam anyaman samudera, akan menjadi ‘arena’ pencarian pengkajian, pertemuan, perjumpaan dan pembaharuan kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Wilayah-wilayah atau negara-negara Ekuator yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ untuk sepuluh tahun ke depan adalah:

  1. India (Biennale Jogja XI 2011) – Telah berlangsung
  2. Negara-negara Arab (Biennale Jogja XII 2013)
  3. Negara-negara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015)
  4. Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017)
  5. Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV  dapat disebut sebagai ‘Biennale Laut’ (Ocean Biennale)
  6. Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021)
  7. Konklusi perjalanan menempuh garis khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI EQUATOR pada tahun 2022.

Perjumpaan (encounter) melalui kegiatan seni rupa dalam Biennale Equator, diselenggarakan dengan semangat membangun jejaring yang berkelanjutan di antara para praktisi di kawasan Equator. Dengan jejaring tersebut, BJ dapat memberikan kontribusi pada terbentuknya topografi medan seni rupa global yang dirumuskan secara baru.

BIENNALE JOGJA DARI MASA KE MASA


Mengumpulkan dokumen dan dokumentasi Biennale Jogja*

Kehidupan rupanya terlalu besar untuk hanya dijadikan obyek penelitian, dan terlalu agung untuk tidak dirayakan.
(Ignas Kleden, 1988)

Tak bisa dipungkiri, Biennale Jogja (BJ) merupakan perhelatan besar seni rupa rutin yang paling konsisten di Indonesia. Tandingannya hanyalah Biennale Jakarta (yang walau lebih tua dari pada BJ namun tidak serutin BJ penyelenggaraannya). Beberapa biennale lain, seperti di Jawa Timur dan Bali, belum setua kedua biennale yang saya sebut sebelumnya dan juga tidak diselenggarakan serutin keduanya. Seperti Biennale Jakarta, BJ merupakan produk pemerintah kota.

Dalam 21 tahun eksistensinya, BJ berganti wajah sebanyak tiga kali. Pada mulanya adalah Pameran Seni Lukis Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta (TBY) pada 1983, 1985, 1986, dan 1987. Kemudian TBY, yang saat itu berada di bawah kepemimpinan Rob M. Mujiono, mengubah penyelenggaraan pameran besar tersebut menjadi Biennale Seni Lukis Yogyakarta (BSLY) 1988, 1990, dan 1992. Dalam pengantar katalog BSLY 1988, Mujiono menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan biennale ini adalah untuk menyediakan sarana pameran karya-karya terbaik selama dua tahun terakhir, supaya pada waktunya dapat sekaligus menjadi barometer aktivitas dan tingkat kreativitas seniman juga apresiasi publik terhadap seni lukis Yogyakarta. Untuk pemilihan karya-karya terbaik ini, BSLY memiliki dewan juri yang bukan hanya memilih karya yang ikut dalam pameran, tetapi juga sejumlah karya yang diberikan penghargaan (menjadi pemenang); demikianlah seterusnya sampai BSLY 1992.

Sehari sebelum BSLY 1992 dihelat, perhatian publik dan media direbut oleh pembukaan Binal Experimental Arts 1992. (Jogja memang kota plesetan: Dalam logat dan bahasa Indonesia, “biennale” dibaca: “bi-nal” dan “binal” sebagai sebuah kata juga berarti “nakal”.) Binal ini diadakan oleh sekian banyak muda-mudi yang pada saat itu memprotes syarat-syarat menjadi peserta BSLY. (Dua syarat yang paling menjadi kontroversi pada saat itu adalah “Peserta adalah pelukis profesional berumur minimal genap 35 th. pada 1 Juli 1992 […] Peserta menyerahkan karya lukisan (dua dimensional) dan bukan media batik” Sumber: Proposal Binal Experimental Arts 1992.) Seperti namanya, Binal menyajikan berbagai bentuk seni lain selain seni lukis; mulai dari karya-karya instalasi di ruang publik (di lembah, bundaran, dan boulevard UGM), pertunjukan di ruang-ruang publik (Stasiun Tugu, Taman Sari, dan Alun-alun Selatan), pameran karya di studio-studio seniman (Eddie Harra dan Regina Bimadona), pameran instalasi di Senisono Galeri, sampai dengan diskusi yang terbuka untuk umum di Gedung Tempo. Selama sembilan hari (27 Juli – 4 Agustus 1992), Yogkakarta dipenuhi dengan maraknya kegiatan seni yang melibatkan 300-an seniman. BSLY 1992 yang dimulai dan berakhir sehari setelahnya kehilangan pamor. Nyaris tidak ada media yang meliput BSLY kecuali membandingkannya dengan Binal.

Dua tahun kemudian, nama BSLY tak lagi terdengar. Sebagai gantinya, TBY menggelar Pameran Rupa-rupa Seni Rupa yang berisi: Pameran Nasional Seni Patung Outdoor, Pameran Biennale IV Seni Lukis, Pameran Seni Rupa Kontemporer (Instalasi), dan Sarasehan Seni Rupa. Pameran Rupa-rupa Seni Rupa ini merupakan cikal bakal lahirnya Biennale Seni Rupa Yogyakarta (BSRY) yang tidak lagi memiliki dewan juri seperti pada BSLY. Sebagai gantinya, Pameran Rupa-rupa Seni Rupa pada 1994 dan BSRY 1997 dan 1999 memiliki sejumlah narasumber dan beberapa penulis yang terlibat. Tim narasumber (yang awalnya, pada 1994, disebut tim kurasi) inilah yang mengurasi –dalam logika kurasi yang kita kenal sekarang – perhelatan ini.

Tidak ada BSRY pada 2001. Kebijakan Otonomi Daerah membuat sokongan dana dari pusat untuk penyelenggaraan BSRY terputus satu periode. Pada 2003, Biennale kembali dihelat dengan kemasan baru. Sosok kurator (tunggal) hadir membungkus Biennale dengan sebuah tema. Perhelatan inipun resmi disebut BJ. Bukan hanya sosok kurator yang dihadirkan dalam perhelatan BJ ini, tetapi juga elemen swasta juga hadir sebagai salah satu sponsor penyelenggara kegiatan ini. Alhasil, suksesi BJ semakin tergantung pada kurator, tim manajemen, dan sponsornya. BJ VII 2003 yang dihadirkan kurator Hendro Wiyanto dengan tema Countrybution adalah cikal bakal kemapanan BJ.

Benar saja, pada 2005, BJ VIII 2005 dengan tema Di sini dan Kini dan tiga orang kuratornya, M. Dwi Marianto, Eko Prawoto, dan Mikke Susanto, menggunakan 13 lokasi dalam perhelatannya. Disponsori oleh Gudang Garam Internasional, BJ VIII 2005 ini mengembalikan paham “menang – kalah” (yang satu lebih baik dari yang lainnya) dengan penghargaan sebagai penandanya. Demikianlah pola penyelenggaraan besar-besaran, festivitas, dan pemberian sebentuk penghargaan terus dilakukan (dan bahkan makin membesar) pada BJ selanjut-lanjutnya. Walau hanya dihelat di tiga lokasi, keempat kurator BJ IX 2007 Neo-nation, Suwarno Wisetrotomo, Kuss Indarto, Eko Prawoto, dan Sudjud Dartanto, menyertakan 167 seniman dan 4 kelompok; sementara BJ X 2009 Jogja Jamming: Gerakan Arsip Seni Rupa bahkan diselenggarakan oleh empat kurator, Wahyudin, Eko Prawoto, Samuel Indratma, dan Hermanu bersama dewan kurator Agus Burhan, Ong Hari Wahyu, dan Sindhunata. Tak heran tercatat sebanyak 323 seniman (termasuk 82 kelompok) yang turut serta dalam perhelatan BJ terakhir ini.

Sesuatu yang menarik terjadi pada perhelatan BJ X 2009 ini. Sejumlah pekerja seni yang sudah sekian tahun malang-melintang dalam dunia seni rupa mengajukan pelembagaan (mandiri) BJ.

(Grace Samboh, Kurator, peneliti, tinggal di Yogyakarta, Indonesia)
* Tulisan ini merupakan catatan singkat dari penemuan-penemuan saya dalam proses mengarsip ke-10 perhelatan Biennale Jogja. Pengumpulan dokumen dan dokumentasi, kemudian pengarsipan Biennale Jogja dikerjakan bersama (dan untuk) Indonesia Visual Art Archive.