Agus Suwage (IDN)

Agus Suwage lahir di Purworejo, Indonesia, pada 1959. Tahun 1986, ia lulus dari Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Desain Grafis. Seniman ini kerap menggunakan foto dirinya, dalam berbagai pose dan latar belakang, untuk menyampaikan kritik atas isu sosial-politis di sekitarnya. Karyanya kerap menyajikan pendekatan apropriasi berkelanjutan dari karya seniman lain maupun karya lamanya sendiri yang terus menerus dibuat ulang dan dikembangkan dalam lapisan yang berbeda. Pada tahun 2009, ia menyelenggarakan sebuah pameran retrospektif, “Still Crazy After All These Years” di Yogyakarta, Indonesia. Ia juga mengikuti beberapa pameran seni rupa kontemporer penting, antara lain “Awas! Recent Art from Indonesia” (Australia, 1999); “Negotiating Home, History and Nation: Two Decades of Contemporary Art from Southeast Asia, 1991 – 2010” (Singapore Art Museum, 2011); dan “SIP! Indonesian Art Today” (Singapore and Germany, 2012-2013).

Kedua karyanya di Biennale Jogja XII: “Tembok Toleransi” (2012) dan “Cermin Sosial” (2012)

 

[column]Agus-Suwage2
Tembok Toleransi
2012
Zinc, gold-plated brass, led lights and sounds 318
x 468 cm[/column][column]Agus-Suwage
Social Mirrors #3
2013
Trumpet, copper, wood and car audio systems
118 x 24 x 70 cm[/column]

menunjukkan krisis multikultural dan politik yang ada di Indonesia belakangan ini. Agus Suwage menunjukkan pengalaman hariannya dalam perasaan terkepung oleh suara azan dari masjidmasjid di sekeliling rumahnya. Lantunan para muazin yang dimaksudkan untuk menjadi ajakan indah bagi umat muslim untuk salat ternyata menjadi menyentak dan memekakkan telinga, menggelegar dari tiga sampai lima pengeras suara yang ada di masjid sekitar dalam waktu bersamaan. Karya ini juga mempersoalkan institusionalisasi agama dalam kehidupan seharihari masyarakat dan politik di Indonesia.

Dalam “Cermin Sosial”, sebuah sistem audio mobil yang tertutup alas memainkan suara azan yang diubah menjadi versi terompet, bisa didengar melalui pengeras suara kecil di dalam terompet itu. Suaranya yang pelan mengundang pemirsa untuk mendekat dan membiarkan diri terselubungi oleh nada syahdu tersebut. Karya ini menunjukkan peran Islam dalam masyarakat sekarang, dalam terangnya kemunculan para fundamentalis di Indonesia.