Handiwirman Saputra (IDN)

Tak Berakar Tak Berpucuk (No Roots No Shoots)
2012
Zinc, gold-plated brass, led lights and sounds.
318 x 468 cm

 

Handiwirman Saputra lahir pada 1975 di Bukittingi, Sumatera Barat. Tahun 1996 ia memulai belajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Bersama-sama beberapa temannya dari ISI dia mendirikan dan menjadi anggota Kelompok Seni Jendela. Awalnya dikenal karena karya instalasi objek dan objek temuan, ia juga memiliki kecenderungan anti estetika karena objek yang digunakan di dalam karyanya kerap dipamerkan dalam keadaan apa adanya. Kecenderungan ini juga dapat dilihat dalam karya lukisannya. Akan tetapi, pertengahan tahun 2000 ia mulai memamerkan karya dengan kerapihan luar biasa dan teknik Realis yang menakjubkan, baik dalam lukisan maupun karya instalasi. Pandangan Handiwirman akan “keindahan” berasal dari pengamatannya yang terperinci terhadap benda- benda di sekelilingnya. Ini dapat disaksikan pada pameran tunggal terakhirnya, “Tak Berakar, Tak Berpucuk” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 2011, di mana dia mereproduksi beberapa objek, sampah, dan kotoran yang dia temukan sepanjang aliran sungai di dekat rumahnya. Pada tahun 2012 Handiwirman memamerkan seri karyanya “Ujung Sangkut Sisi Sentuh / Suspended Forms” di Singapore Tyler Print Institute. Handiwirman Saputra tinggal dan bekerja di Yogyakarta.

Karya Handiwirman Saputra kali ini berupa instalasi khas-tapak (site-specific) yang dibuat secara khusus untuk merespon ruang pamer di Jogja National Museum. Handiwirman ingin membangun asosiasi tentang situasi yang tersisa dari suatu ‘kejadian’. Kita melihat bentuk yang menyerupai kapal, pohon, dan garis-garis jejak genangan air di tembok, tapi tak begitu jelas kejadian apa yang sebenarnya ia maksudkan. Ada enigma, kontradiksi dan absurditas yang tampak dari transformasi material dan bentuk. Karya ini menolak stereotipe simbol dan metafora yang umum dan logis. Kain sarung yang notabene menyerap air dihadirkan sebagai perahu yang tertambat di batang pohon. Sisa-sisa sampah yang tercerai-berai dan tersangkut berserakan di ruang galeri, tak jelas asal-muasalnya. Handiwirman menghadirkan itu semua sebagai konstruksi yang berpotensi memancing emosi dan narasi. Pada saat yang sama, ia menguji kepekaan kita untuk melihat semua itu sebagai suatu ‘fenomena visual’ semata-mata.