Category Archives: Berita Baru

Pengumuman Pemenang Pareallel Event BJ XII Equator #2

MEMBACA EQUATOR, MENDEFINISKAN MOBILITAS

Biennale Jogja XII: Equator 2 adalah lanjutan, namun bisa pula “kebaruan” sejarah perjumpaan dengan wilayah (kultural) Arab. Indonesian Encounters the Arab Region. Tema besar, narasi besar, dan juga memori historis yang panjang. Equator dalam sebuah kisah adalah narasi tentang garis geografis, namun juga bisa menjelma menjadi kisah tentang mobilitas kultural yang penuh pertarungan kuasa ataupun kontradiksi.Tak pelak, membaca narasi perjumpaan tak bisa dibatasi oleh peristiwa atau kategori waktu. Justru perjumpaan menampilkan ketak-terbatasan imajinasi. Demikianlah, pembacaan perjumpaan akan (kultur) Arab telah menerobos dinding-dinding waktu, menghablurkan kelampauan dan kekinian. Hal ini bisa ditengok dalam kasus-kasus yang merentang dari perjumpaan awal dengan Islam sampai ironi para TKI, perempuan yang hidup dalam batas-batas harapan dan penderitaan.

Proses pembacaan-pembacaan narasi inilah yang menyebabkan “Parallel events dari Biennale Equator XII” memperoleh hak-hak kesetaraan estetik dari “Main Exhibition”.  Seperti diuarkan oleh Boris Groys (2008), otonomi seni tidak mengandaikan suatu hierarki selera yang otonom—melain­kan penghapusan setiap hierarki semacam itu dan penciptaan rezim hak-hak estetik yang setara untuk segala karya seni. Medan seni seharusnya dilihat sebagai manifestasi yang ter­kodi­fikasi secara sosial dari kesetaraan funda­mental di antara semua bentuk, obyek, dan media visual. Hanya dengan mengandaikan kesetaraan fundamental dalam estetika dapatlah setiap penilaian, setiap penyingkiran atau perangkulan, berpotensi untuk diakui sebagai hasil resapan heteronom ke dalam ranah otonom seni.

Kekuatan Parallel Events, masih mengikuti Groys, dapatlah dijejak pada narasi perjumpaan seni di luar museum,  pembebasan dari kebaruan yang dipahami sebagai pembebasan dari sejarah seni, namun  justru terserak dalam narasi-narasi rakyat, yang hidup dalam tradisi, keseharian dan hadir di luar lingkaran tertutup dunia seni yang mapan, di luar dinding museum. Di sinilah kita menemukan keagungan teks-teks “Aksara Serang dan Bilang-Bilang”, Dunia keseharian “Arab Pasar Kliwon”, “Kisah Naik Haji”, “Kegamangan buruh perempuan migran”, sampai pertunjukan “Jathilan”.

Kisah-kisah yang terentang dari Makasar sampai Gunungkidul tersebut telah merepresentasikan perjumpaan-perjumpaan dengan budaya Arab. Di setiap perjumpaan-perjumpaan itu, samar maupun eksplisit, kita bisa menemukan “proses negosiasi” dan “konflik kuasa” yang demikian dinamis, serta menampilkan mobilitas kultural yang tak berujung. Inilah, kiranya, sumber penciptaan seni yang tiada henti.

Persoalannya, bagaimanakah realitas sebagai sumber penciptaan tersebut mampu diolah, dibongkar, disusun kembali menjadi sebuah karya seni yang menarik? Atau, jika diterjemahkan lewat aspek-aspek penilaian yang meliputi teknis (kebaruan dan kreativitas), substantif (kebaruan, kreativitas dan kesesuaian tema), managerial (bersangkut dengan keberlanjutan dan pengelolaan sumber daya), serta dimensi spasial (yang bersangkut dengan publik), manakah karya yang menampilkan karya seni menarik? Tidak mudah menilainya.

Meski demikian, toh, dewan yuri, mesti memutuskan “Pemenang Terbaik Perancangan Peristiwa Seni Rupa.” Melalui perdebatan yang alot, akhirnya kami memilih dua pemenang terbaik, yang kiranya mampu memenuhi dimensi-dimensi penilaian di atas, yaitu “Colliq Pujie” dan “Pereks”. Selanjutnya, karya-karya kelompok “Knyt Somnia”, “Kaneman Forum,” “ Habitus dan Ainun,” “Deka-Exi(s),” “Kelompok Belajar 345”, “Kandang Jaran” dan “Makcik Project” sebagai kelompok yang layak untuk hadir dalam Post event katalog Biennale Jogja XII Equator #2.

Akhirnya, terima kasih atas semua partisipasinya. Selamat melanjutkan kerja-kerja kreatif.

 

Salam Seni.

Dewan Juri:

  1. Bambang Kusumo
  2. FX. Woto Wibowo (Wok The Rock)
  3. Hanindawan
  4. Heru Prasetiya
  5. Mella Jaarsma

BJXII-Lifetime Achievement Art Award 2013

Selamat malam,

Pada tahun ini pemberian penghargaan seniman LAAA( Lifetime Achievement Art Award) memasuki putaran yang ke 5. Tradisi baru yang dilakukan dalam rangka Biennale Jogja sejak 2005

Setiap kali berkait dengan pemberian ini , Pengurus Yayasan BJ bergumul untuk menjawab 2 pertanyaan besar. Dan tentunya ini menjadi pertanyaan bagi publik juga. Yaitu siapa dan mengapa….

Mengapa pemberian anugerah ini penting? Seniman dalam perjalanan karirnya seringkali digambarkan sebagai ‘menapaki jalan sunyi’. Pergumulan2 yang rinci tidaklah sepenuhnya dapat diungkap.

Sekalipun demikian orang memberikan  pengakuan bahwa pada saat ini peran profetik banyak dilakukan oleh seniman. Terlebih dikala terjadi disorientasi dalam kehidupan sosial , manakala ada kabut tebal yang melingkupi perjalanan bangsa…seniman memberikan kesaksian yang dapat menjadi suluh perenungan.

Seni menjagai keterjagaan kemanusiaan kita.

Apresiasi yang diterima sudah pasti ada dan cukup beragam bentuk serta intensitasnya. Komunikasi timbal balik antara seniman dengan masyarakat merupakan komunikasi energi yang saling menghidupi, bagian dari ekosistem budaya, bahkan realitas yang lebih luas ekosistem kehidupan.

‘Good art gives energy’ begitu kata orang.

Peran serta pencapaian panjang inilah yang ingin diberi tanda. Dan diharapkan juga menjadi inspirasi bagi banyak orang,khususnya generasi yang lebih muda.

Ada nilai keteladanan seperti : keteguhan hati, persistent, passion, konsistensi….disamping kualitas artistik dan bobot wacana yang diperjuangkan.

Semangat dan nilai2 inilah yang ingin diberi tanda.

Ada seorang seniman yang malam ini mendapatkan penghargaan LAAA. Dia sudah sangat dikenal .

Tentu saya tidak akan memaparkan argument kelayakan atas pemilihan seniman tersebut dari aspek capaian beliau dalam aras estetik atau kualitas teknik.

Pilihan artistik dan pandangan hidup bisa saja dilihat secara berbeda, namun bagaimana keteguhan seseorang bertahan dan berjuang dalam memperjuangkan sesuatu yang dianggap penting merupakan nilai yang universal.

Gambaran sikap nilai yang beliau hidupi dalam rentang yang panjang  dapat disebutkan , cuplikan/quotation dari pakar( dari tulisan Agus Burhan) dalam katalog pameran beliau belum lama ini :

Dalam Seni lukis modern Indonesia hanya sedikit seniman yang bisa mempertahankan reputasi kreatifnya terus menerus dengan mengikuti berbagai perubahan spirit zaman yang terjadi. Dari perjalanan waktu ke waktu kreativitas akan aus jika seniman kemudian terjebak pada perspektifnya yang mengukung, apalagi jika ia menjadi romantis dalam pandangan seninya. Karya seninya kemudian menjadi pengulangan yang canggih dan semakin estetik, tetapi terlepas dari spirit zaman tempat yang menghidupi. Dari proses semacam itu, banyak pemberontak seni menjadi mapan setelah zaman dan masyarakat pendukung seni menerima dan mendorongnya menjadi sebuah mitos baru. Oleh karena itu menjadi menarik untuk melihat bagaimana setelah melewati kurun waktu yang lama, seorang seniman dapat bertahan dalam reputasi kreatifnya.

Tetapi yang tetap dipertahankan dalam keterhimpitan itu adalah menyalakan kreativitas untuk melukis dan menjaga moral ideologi keseniaanya supaya tidak terpiuh oleh materi

Dia tidak memanfaatkan peluang melukis manis dan eksotis agar karyanya terserap oleh pasar. Dalam ruang sosial yang masih terbatas oleh belenggu stigma politik, ia justru mempunyai kepekaan psikologis dan pengendapan dalam membaca kondisi sosial di sekitarnya.

Dan, dengan bahagia dan bangga, saya mewakili Pengurus Yayasan BJ menyampaikan nama seniman itu : yang terhormat bapak  Djoko Pekik.

Selamat buat pencapaian panjang dalam perjalanan hidup bapak.

Yogyakarta 6 Januari 2014

Pengurus Yayasan BJ

Pengumuman Pemenang dan 10 besar Lomba Blog Biennale Jogja XII: BJ Bloghopping

Biennale Jogja XII memilih blogpost dari Kurniadi Widodo sebagai pemenang lomba blog BJXII: BJ BlogHopping. Keputusan pemilihan pemenang ini berdasarkan sejumlah kualitas yang terdapat di blog Kurniadi yaitu: 1) Penulisan yang menampilkan sudut pandangnya yang unik dan reflektif akan karya-karya seni di BJXII, juga berbagai perspektif tentang makna seni rupa itu sendiri bagi dirinya. 2) Gaya penulisan yang cerdas, personal tapi tetap mencerminkan spirit generasi baru penikmat seni rupa terkini. 3) Komunikasi visual dengan desain dan foto-foto yang merupakan respon kreatifnya terhadap karya-karya di Biennale Jogja. Kami merasa dengan semua itu, blog ini bisa menjadi sebuah contoh yang baik dan relevan dalam menunjukkan cara apresiasi generasi muda sekarang ini, yang diharapkan untuk menginspirasi yang lainnya.
Berikut ini daftar Pemenang 10 besar BJ Bloghop hasil rapat tim juri:

 

Pemenang BJ Bloghop:

Hangat Ruang Pertunjukan Arabian

“Inilah yang dinamakan performance art, ada reaksi seketika dari penonton untuk bergabung di dalamnya.”

Lampu temaram yang menghiasi ruang persegi itu sekaligus menghangatkan malam yang diguyur hujan ringan. Situs Kandang Menjangan, Krapyak, Yogyakarta, yang disampul kain hitam menyerupai Kabbah, menjadi tempat bagi DEKA-EXI(S) dalam menyajikan gagasan kreatif dan mengobarkan semangat berkompetisi. DEKA-EXI(S) merupakan peserta Parallel Events Biennale Jogja XII Equator #2, beranggotakan perorangan dari berbagai disiplin ilmu dan profesi seni, yang dipertemukan kembali dalam sebuah forum ketika bersama-sama menempuh program pascasarjana seni di Yogyakarta.

Dengan sambutan dari ketua kelompok Musik Hadrah Sidoarum, Sleman, Abdul Hadi, disusul ketua DEKA-EXI(S), Triwahyudi, pameran penciptaan peristiwa seni yang berlangsung pada 17–30 November 2013 resmi dibuka. Kehadiran gambar, foto, instalasi, video, dan performance memunculkan dialog bisu yang mengusung tema “Arabian Pasar Kliwon.” Penelitian kebudayaan warga keturunan Arab Indonesia terbesar di Surakarta yang tinggal di perkampungan Pasar Kliwon ditampilkan kembali melalui seni rupa dan seni pertunjukkan.

Terpesona. Begitu ekspresi para pengunjung ketika menyaksikan performance yang dibawakan oleh Mila Rosinta Totoatmodjo dan dua pria dari komunitas seni PENJASKES, Yogyakarta, pada malam pembukaan itu. Keduanya berekspresi dalam lantunan musik rebana dari kelompok Musik Hadrah Sidoarum.

Masuk dengan memegang tiga buah hio yang lalu ditaruh di lantai, gerakan gemulai dan berirama seketika mengalir dari tubuh Mila, tatkala satu dari anggota PENJASKES masuk dalam khusyuk, juga dengan hio di tangannya. Gerakan energik dan gemulai dari Mila, dibalut mimik wajah serius dan tegas, kini kontras menemani pria tenang tapi hanyut dalam arus keterkejutan, takut, dan sesal. Enam menit kemudian, pria kedua masuk dengan lilitan kain putih menggunduk di kepala sambil memancarkan ekspresi kebingungan, kehilangan arah, dan seolah terasingkan.

Berganti medium, kini pria pertama tidak lagi memegang hio melainkan sebuah lilin. Lagi-lagi ia letakkan di lantai. Sambil berjalan dan sesekali berlari ia lewati lilin itu. Rasa bingung dan takut semakin terpancar dari raut wajah dan gerakannya. Lilin itu tampaknya membawa dampak luar biasa karena Mila tiba-tiba memancarkan kegelisahan. Kemudian, ia berlari-lari membawa mimik penyesalan. Sedangkan pria kedua masih nyaman dalam keterasingan, menghadap tembok dan merungkuk.

Menarik, ternyata Mila merespon salah satu materi pameran, yaitu janggut palsu. Ia kenakan pada pria pertama dan mereka berlarian. Mila kini mulai mengenakan janggut itu dan lagi-lagi ia kembali berlari. Mila kini memasang janggut pada pria kedua dan seperti memaksa. Hingga akhir pertunjukkan, harmonisasi terus lahir karena ketiganya hanyut terbalut suasana putih, abu-abu, dan hitam dalam lantunan irama dendang rebana yang menggebu-gebu.

“Adalah refleksi terhadap dunia hitam dan putih, dua ruang berseberangan ini kami jadikan sebagai respon dari sisi baik dan buruk kehidupan. Secara pribadi, performance ini saya niatkan sebagai bentuk penyucian diri dan rasa syukur kepada Tuhan. Awalnya kami tampil hanya berdua, tetapi pria kedua itu seketika masuk lantas ikut mengekspresikan dirinya dalam musik, ruang, dan suasana di sini. Inilah yang dinamakan performance art, ada reaksi seketika dari penonton untuk bergabung di dalamnya,” kata Mila.

 

Ditulis oleh Ferika Yustina Hatmoko (peserta Program Magang Penulisan Seni dan Kewartawanan Biennale Jogja XII)

Foto: Arief Sukardono/Dok. BJXII

Biennale Jogja XII Equator #2 Opening, 16 November 2013

Belajar Bahasa Waria Lewat Film

Ditulis oleh Brigitta Engla Aprianti (Peserta Program Magang Penulisan Seni dan Kewartawanan)

“Mbak, ngerti nggak sama terjemahan di film itu?” tanya Alona.

Paris is Burning menjadi film terakhir yang ditayangkan oleh Makcik Project di Oxen Free pada Selasa, 12 November 2013 pukul 16.00. Film tersebut menjadi pemantik dalam pembukaan pameran Parallel Events kelompok Makcik Project. Yang kemudian dipertontonkan adalah pemberian subtitle bahasa waria (makcik) dalam film. Bahasa makcik merupakan bahasa Indonesia yang ‘diplesetkan’. Hanya kelompok waria dan orang yang biasa berkumpul dengan waria dapat paham bahasa makcik.

“Bahasa Makcik muncul dalam percakapan sehari-hari. Dalam tiap komunitas waria, ada beberapa kosa kata yang sama dan berbeda. Tergantung dari kreativitas para waria,” ungkap Alona, salah satu waria yang berkolaborasi dalam Makcik Project. Selama pemutaran film terlihat  beberapa waria membantu penonton untuk memahami bahasa makcik. Bicara bahasa adalah bicara manusia. Bahasa pun menjadi salah satu unsur identitas dan eksistensi manusia. Waria ingin menunjukan bahwa idenitas dan eksistensi mereka tercermin melalui bahasa makcik.

Makcik Project Episode #2 diinisiasi oleh tiga seniman yaitu Ferial Afiff, Lashita Situmorang, dan Jimmy Ong serta dua komunitas yaitu X-CODE Film dan Broken Mirror Project. Proyek yang dikurasi oleh Grace Samboh ini berangkat dari pertanyaan bagaimana pekerja seni dapat memberikan kontribusi untuk wanita transgender.

Ide menonton film dicetuskan oleh Lashita Situmorang, yang sebelumnya sudah memutarkan delapan film dengan judul berbeda tiap minggunya. Film-film yang dipertontonkan selalu dalam konteks kehidupan waria. Harapannya adalah setiap film dapat menginspirasi masyarakat umum dan waria itu sendiri.

Dalam sesi ini juga diputar film berjudul Air Terjun Buanci hasil karya Wacan Management. Ide dan proses pembuatan film diproduksi sendiri oleh para waria. Mereka membuat mitos tentang air terjun yang dapat mengubah seseorang menjadi wanita seutuhnya.  Lashita ingin mengajak waria untuk keluar dari zona nyamannya dengan cara membawa mereka ke ruang-ruang publik. Mereka dibiarkan untuk duduk di mana saja selama film berlangsung. Tujuannya adalah agar waria bisa berbaur dengan masyarakat umum. “Karena pada dasarnya orang kebanyakan tidak mendiskriminasi kaum waria, tetapi para waria yang mendiskriminasi dirinya sendiri,” tambah Grace Samboh.

Pameran Makcik Project Episode #2 yang berjudul We Are All Human berlangsung mulai Rabu, 13 November hingga Selasa, 26 November 2013 di Kedai Kebun Forum. Film-film yang telah dialihbahasakan ini dapat diunduh secara gratis selama pameran berlangsung.

(Foto diambil dari http://makcikproject.tumblr.com/post/61075875614/malam-makcik-makcik-night-oxen-free-yk-has)

Rangkaian Acara Pembukaan Biennale Jogja XII Equator #2

Sabtu, 16 November 2013

16:00 – 18:00 WIB
Jogja National Museum
Peresmian Biennale Jogja XII Equator #2 oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X.

18.30 – 19.00 WIB
SaRang Building
Performance Art oleh Agung Kurniawan

19.30 – 20.30 WIB
Langgeng Art Foundation
Pertunjukan Kolaborasi Musik dan Seni Rupa “LeLagu”

20.30 – 23.00 WIB
HONFabLab
Pertunjukkan Musik Elektronik

21.00 – 23.00 WIB
Taman Budaya Yogyakarta
Biennale After Party
Performance oleh Venzha Christiawan dan Duto Hardono

Minggu, 17 November 2013

13.00 – 14.30 WIB
SaRang Building
Wicara Seniman: Tintin Wulia (IDN) dan UBIK (IND)

15.00 – 16.30 WIB
Langgeng Art Foundation
Wicara Seniman: Magdi Mostafa (EGY)

Senin, 18 November 2013

09.00 – 17.00 WIB
Taman Budaya Yogyakarta
Biennale Forum (Diskusi)
“Dialog dalam Perjumpaan: Lanskap Seni Rupa Indonesia dan Arab.”

Pengampu:
Agung Hujatnikajennong dan Farah Wardani.

Pembicara:
UBIK, Dina Danish, Magdi Mostafa, Ayman Yousri, Prilla Tania, Venzha Christiawan, Hendro Wiyanto

Penanggap:
Ahmad Hissou, Leeza Ahmady, Ade Darmawan, Alia Swastika

Selasa, 19 November 2013

09.00 – 17.00 WIB
Univ. Kristen Duta Wacana
Peluncuran Simposium Khatulistiwa – Yayasan Biennale Yogyakarta

Percakapan dan Diskusi:
“Media, Seni and Budaya: Perubahan dan Tantangannya dalam Demokrasi Abad ke-21.”

Pembicara:
TK. Sabapathy, Ahmad Hissou, Yustina Neni, Enin Supriyanto, David Teh, Kampung Halaman, Pamityang2an, Wujudkan.com, X-Code, Onno W. Purbo, Zen Hae, Prima Rusdi, Ruang Rupa, Lifepatch, Jatiwangi Art Factory, Garasi Performance Institute

Acara Peluncuran Simposium Khatulistiwa, Gratis, dengan mendaftar ke:
symposiumequator_yby@yahoo.com

Info lebih lanjut hubungi:
Yogyakarta Biennale Foundation
Taman Budaya Yogyakarta
Jl. Sriwedani no. 1 Yogyakarta, Indonesia 55122
P. +62 274 587712
E. the-equator@biennalejogja.org

Salwa Aleryani Mengunjungi Heri Pemad Art Management

oleh Robertus Rony Setiawan (Peserta Program Magang Penulisan Seni dan Kewartawanan)

Sebagai persiapan perhelatan seni Biennale Jogja XII (16 November 2013–6 Januari 2014), seniman dari negeri Jazirah Arab akan melakukan residensi di Indonesia. Salah satunya ialah Salwa Aleryani, seniman yang berasal dari Sana’a, Yaman, ini akan melakukan residensinya di Yogyakarta selama sebulan terhitung sejak Jumat (23/8). Terkait hal itu, Salwa mula-mula mengunjungi beberapa ruang seni publik, seperti studio-studio seniman dan galeri seni. Dalam kunjungan itu, Salwa menjalin perkenalan serta diskusi dengan para pegiat kesenian.

Senin (26/8) lalu misalnya, Salwa berkesempatan mengunjungi Heri Pemad Art Management (HPAM), di Soboman, Kasihan, Bantul. Bersama Koordinator Seniman dan Ruang Pamer Biennale Jogja, Rismilliana Wijayanti, Salwa berbincang-bincang dengan Satriagama Rakantaseta. Seto, begitu lelaki yang menjabat sebagai Director HPAM itu biasa disapa, berbagi seputar perkembangan seni rupa di Indonesia. Beberapa di antaranya ialah soal peran manajemen seni yang urgent dan relevan untuk regenerasi seniman. Sebagaimana diupayakan oleh HPAM, kata Seto, “Sebenarnya banyak seniman muda yang berbakat, tetapi mungkin masih belum berani memajang karyanya.”

Menanggapi hal itu, Salwa memandang bahwa pemerintah atau negara memiliki fungsi penting mendukung aktivitas berkesenian. Secara khusus di Indonesia, menurutnya, seniman-seniman di Indonesia tak sekadar dapat mencontoh seniman negara lain, tapi bahkan sebagai perintis (role model) dalam berkarya seni. Di titik itu, peran manajerial seni seperti dijalankan HPAM diperlukan demi mendorong geliat kesenian, khususnya produktivitas seniman dalam berkarya. “Selain pemberian wawasan pemanfaatan teknologi dalam seni, yang juga diperlukan adalah membina penikmat seni,” ujar Seto.

Melalui perjumpaan dan diskusi-diskusi semacam inilah, Salwa menuturkan, ia ingin membangun relasi dengan para pelaku atau seniman di Indonesia. Melalui perkenalan tersebut, Salwa mengharapkan terbukanya kesempatan kerjasama dan pertukaran ide secara mendalam antara seniman Indonesia dan Arab. Pada minggu pertama tinggal di Yogya, Salwa pun menggali ide berkesenian dengan mencermati repihan interaksi masyarakat Yogya. Setelah mengobservasi momen-momen interaksi masyarakat di ruang-ruang publik, semisal perilaku masyarakat berlalu lintas, dia mengembangkan inspirasi untuk digubah menjadi karya seni.(*)

The Equator #2 Edisi Agustus 2013, Newsletter Biennale Jogja XII

Newsletter The Equator kembali hadir di tengah-tengah anda. Edisi kedua ini terbit di tengah suasana pasca lebaran, di mana masih hangat terasa sisa-sisa suasana ritual mudik ke kampung halaman. Fenomena mudik menggambarkan mobilitas manusia Indonesia dalam kurun waktu singkat dan dalam sebuah gelombang yang luar biasa besar.

Mobilitas adalah kata kunci yang akan menjadi kerangka kurato- rial untuk Biennale Jogja XII mendatang. Edisi The Equator kali ini menyuguhkan beberapa tulisan untuk memperkaya produksi pengetahuan dalam berbagai perspektif terkait isu mobilitas.

Heru Prasetia mengisahkan perjalanan ziarah haji orang-orang Nusantara ke Mekah di abad 19 dan bagaimana proses pertukaran pengetahuan terjadi pada masa itu. Sementara itu Prilla Tania, salah satu seniman Indonesia yang akan berangkat ke Sharjah,

Uni Emirat Arab pada akhir Agustus 2013 untuk program residensi menuliskan sebuah esai kreatif yang merefleksikan makna tanah, air dan makanan. Melalui wawancara Brigitta Isabella dengan Agung Hujatnika, pembaca diharapkan mendapat lebih banyak in- formasi terkait kerangka kuratorial yang ditawarkan kurator BJ XII.

Untuk kolom tetap Wawancara Dengan Ekuator, kami mengun- dang sejarawan Hersri Setiawan menuliskan kisah sejarah KAA 1955 dan terbentuknya solidaritas seniman yang mengiringi peri- stiwa tersebut. Dalam edisi ini redaksi juga memilih dua tulisan peserta Program Magang Penulisan dan Kewartawanan Biennale Jogja XII.

Newsletter The Equator #2 Edisi Agustus 2013 dapat diunduh melalui link ini.

Cerita Prilla Tania di Sharjah: Hari-hari awal dan kunjungan seniman

31 Agustus 2013

Cerita dimulai dengan telefon kamar hotel yang berdering jam 10 malam. Waktu biologis yang masih 3 jam lebih awal sudah menuntut tidur.

Di ujung lainnya seorang bapak berbicara bahasa Inggris dengan logat khas, menanyakan sebuah nama yang sulit dimengerti. Jawabanku, bukan. Tanyanya lagi, anda siapa? Kujawab, Prilla Tania. Dia memintaku mengejanya. Dia kembali bertanya. Aku lupa pertanyaannya tapi kujawab Maraya Art Center. Lalu dia menanyakan apakah aku tahu Shurooq. Kujawab “the company”. Kemudian dia bertanya lagi, “Apakah kamu bersama orang lain di sana?”.

Wah, kini aku bisa menduga kenapa dia menelefon begini larut!

Jawabanku tidak. Kemudian dia bertanya kembali apakah anda punya keluhan tentang fasilitas kamar? Kebetulan tadi aku mencoba menyalakan kompor tapi gasnya tidak keluar dan hari sebelumnya mencoba menyalakan televisi tapi ada bunyi bunga api di bagian belakangnya. Televisi sebetulnya tidak begitu masalah tapi kebetulan dia menanyakan jadi kulaporkan juga. Sesudah itu dia berkata akan mengirim seseorang. Tak kukira saat itu juga, orang tersebut tiba.

Seperti biasa lampu seluruh ruangan sudah dimatikan, tirai tertutup rapat. Tiba-tiba bel kamar berbunyi. Dalam kegelapan aku mencoba meraih pintu depan yang jaraknya tidak dekat. Seorang pria Filipina (kuduga) berdiri di depan pintu. Rasa-rasanya kulihat dia siang sebelumnya ketika aku hendak keluar kamar.

Dia ternyata dikirim bapak yang menelefon tadi. Kemudian dia memeriksa kompor gas, berhasil dinyalakan. Ternyata memang ada tombol rahasia yang harus dinyalakan dulu untuk mengalirkan gas ke kompor. Kemudian televisi, siaran yang dihiasi tarian semut berbunyi itu muncul lagi tapi tidak segenas sebelumnya. Lalu kukatakan itu bunyi yang aneh, kurasa berasal dari sambungan kabel antena. Sebagai seseorang yang sering berhadapan dengan alat-alat elektronik semacam ini tentunya aku mencoba menganalisa. Lalu dia katakan akan kembali lagi besok sore untuk mengganti pesawat televisi itu. Oke. Dia keluar. Selesai.

Nah kembali ke telefon sebelumnya. Kuduga telefon itu dilakukan karena terpampang tanda “Do Not Disturb” seharian di gagang pintu kamarku. Apakah karena itu?

Aku kurang akrab dengan budaya hotel tapi apakah itu yang menjadi persoalan? Alasanku memasang tanda itu adalah karena memang aku membutuhkan ruangan itu untuk tidak dimasuki siapapun. Dengan laptop, buku, catatan, dan kamera bergeletakan di ruangan dan tidak ingin barang-barang itu berpindah, pemikiranku yang sederhana adalah memasang tanda itu. Karena artinya tidak akan ada orang yang datang dan “mengganggu” ruangan ini. Tapi mungkin sudah jadi budaya hotel bahwa kamar harus mendapat kunjungan dari cleaning service setiap harinya. Hihihi. Ini menimbulkan ide sebuah video berjudul “automatic” yang intinya tentang “pelayanan” dari orang yang anonimus bagi kita dan dilakukan “dibelakang mata” sehingga menjadi suatu yang otomatis seperti oleh mesin atau sulap.

Hehehe. Ini video mah karya bonus. Iseng-iseng!

jalanan sharjah

Aku harus mencari cara lain untuk mengenal tempat ini. Biasanya pertama yang kulakukan adalah dengan berjalan-jalan (dengan kaki) untuk memahami wilayah dan sedikit banyak melihat kehidupan sehari-hari. Tapi di sini nampaknya itu kurang efektif. Karena jalan kaki bukan ide yang baik untuk dilakukan sepanjang hari ataupun malam. Meskipun akhirnya tetap aku lakukan juga sedikit.  Aku akan mulai mengobrol dengan teman-teman di Maraya, tentang keseharian di sini.

***

3 September 2013

Kemarin mengunjungi seniman Ebtisam Abdul Aziz dan Nasir Nasrallah di studio mereka di daerah kota lama. Ternyata daerah itu HIDUP banget. Karena di sekitar Al-Qasba sini aku merasa agak “dingin” suasananya.

Seru! Banyak saling berbagi cerita. Menarik karena keduanya tidak punya latar belakang pendidikan seni rupa. Yang satu belajar matematika dan yang lainnya belajar engineering. Dengan Ebtisam, aku banyak dapat inspirasi karena dia juga bekerja dengan macam-macam medium. Mulai dari lukisan sampai video performance. Dan dia sudah ikut banyak pameran besar. Menarik dari dia, bahwa identitasnya sebagai muslim cukup kuat tapi tidak harus muncul sebagai karya yang menonjolkan persoalan itu. Dia juga percaya dengan kerja tangan.

Dengan Nasir, kami sama-sama penggemar kertas tapi kalau dia lebih dalam bentuk buku. Dia juga bekerja dengan macam-macam medium. Ah ya, aku senang pikiran Ebti dan Nasir yang jahil dan diterapkan dalam karyanya. Sangat cocok!

Aku berharap bisa melanjutkan kerja sama dengan Nasir. Aku janji membuatkan buku dari “Toekang Saeh di Sanggar Kami” (studio kertasku di Bandung). Selain itu juga kemarin aku ikut workshop dari seniman Wafa Ibrahim (kalau tidak salah :D). Malam ini aku akan mengunjungi Ammar Al Attar.

Tadi pagi, aku mengunjungi Al-Majaz dengan Giuseppe. Kebetulan dia akan bertemu dengan graphic designer Maraya. Lalu aku masuk ke salah satu karyanya Wafa Bilal. Ruangannya adalah kamera obscura. Ini juga ada fotonya.

Sejauh ini gagasan karyaku kabur lagi. Tapi mungkin aku akan coba kosongkan gagasan dulu dan berfikir ulang sambil menyerap pengalaman sebanyak-banyaknya di sini.

(Catatan Redaktur: Saat ini, Prilla Tania sedang menjalankan residensi Maraya Art Centre, Sharjah, Uni Emirat Arab, sebagai bagian dari Proyek Residensi Biennale Jogja XII. Residensi ini berlangsung mulai dari 28 Agustus hingga 20 September 2013. Melalui seri tulisan ini, Prilla Tania akan mencatat pengalamannya selama menjalankan residensi tersebut.)

Sensasi Perbincangan Kontemporer Indonesia dan Yaman

Liputan kunjungan Salwa Aleryani (seniman residensi Biennale Jogja XII) ke studio Agus Suwage, oleh Ferika Yustina Hatmoko

Di hari ke delapan masa residensinya untuk Biennale Jogja XII, Kamis 29 Agustus 2013 Salwa berkesempatan mengunjungi rumah sekaligus studio milik Agus Suwage; seorang seniman kontemporer senior yang lebih banyak mengeksplorasi seni gambar (drawing). Turut serta dalam kunjungan Salwa kali ini yaitu Devie Triasari (Koordinator divisi residensi Biennale Jogja), Yolandri (Asisten Seniman), Irine Octavianti Kusuma Wardhanie (Koordinator Magang Penulisan Seni Rupa dan Kewartawanan atau PMPSK) dan Ferika Yustina Hatmoko (peserta magang PMPSK) banyak berbagi cerita mengenai dunia seni antara Yaman dan Indonesia khususnya Jogjakarta.

Obrolan-obrolan ringan yang dimulai dengan pertanyaan Agus Suwage tentang kecocokan lidah Salwa dengan masakan di Jogjakarta sampai akhirnya obrolan ini semakin menarik karena Agus Suwage menunjukkan salah satu karyanya yaitu patung berbentuk terompet dan seorang muadzin menghadap pada gaungnya dalam posisi mengangkat tangan, persis saat menyerukan adzan. Terompet ini menghasilkan suara adzan dengan lantunan yang telah dimodifikasi menjadi lebih klasik dan halus, akan tetapi tidak merubah lantunan adzan sebenarnya. Pengamatan terhadap karya ini, membawa kami pada perbincangan yang meluas, terkait islam dan budaya islam di Indonesia. Suara adzan yang digemakan oleh beberapa mesjid diwaktu yang bersamaan, menghasilkan suara yang terlalu mengaung dan frekuensinya berdentuman satu sama lain. Menurut Agus suara itu tidak nyaman didengar, hingga ia menyebutnya sebagai polusi suara.

Kesempatan kami dalam mengamati ruang kerja beliau mengarahkan pada perbincangan yang menarik dan panjang. Agus Suwage kerap kali menunjukkan hasil karyaya baik dalam bentuk karya, media, cara kerja, sampai katalog pameran tunggal maupun bersama.

“Dalam berkarya, saya sering mendaur ulang karya lama, seperti pada karya Luxury Crime, 2007-2009, Stainless Steel, Gold Plated Brass and Rice, 124 x 77 x 52 cm untuk dijadikan karya baru dengan media yang berbeda” ucap Agus Suwage.

Perbedaan kebudayaan yang cukup jauh berbeda dari kedua seniman ini, melahirkan gagasan yang baru dan menarik. Selain alasan perbedaan kebudayaan, ada kesamaan yang muncul dari mereka, yakni keduanya memiliki konsentrasi di bidang desain motif dan simbol. Kedua alasan kuat ini mengarahkan mereka melahirkan ketertarikan untuk menciptakan kombinasi motif dari simbol-simbol yang direpresentasi dari budaya islam dan barat. Dapat dikatakan dua hal yang berseberangan, akan tetapi keduanya masih dalam ranah seni rupa  kontemporer.

Perbincangan singkat, meluas dan sangat menarik ini ditutup dengan performance oleh Agus Suwage dengan memainkan gitar dan ukulele sambil mengiringi Salwa dan tim bernyanyi bersama.

Program Pertukaran Residensi Seniman Biennale Jogja XII Equator #2

Dengan tujuan untuk menciptakan pertukaran budaya dan sebagai bentuk eksplorasi atas gagasan mobilitas itu sendiri, Biennale Jogja XII akan memulai program residensi seniman pada Agustus hingga Oktober 2013. Ini merupakan program residensi pertama yang mempertukarkan seniman Indonesia dengan seniman di kawasan Arab, serta secara khusus dijalankan mendahului event biennale terkait. Karakteristik yang sedang dibangun melalui program ini adalah upaya untuk memperdalam proses kekaryaan seniman melalui riset langsung di negara-negara yang bersangkutan, dan memungkinkan terjadinya pertukaran budaya secara riil, tidak hanya ‘mengimpor’ karya yang sudah jadi dan dipamerkan di ruang galeri. Hal ini juga untuk mempertegas posisi Biennale Jogja sebagai Biennale Equator yang ingin memberikan sebuah platform baru membaca dunia melalui karya-karya seniman di wilayah ini, dimulai dengan Biennale Jogja XII.
Saat ini sudah terpilih lima seniman dari Indonesia yang akan menjalankan residensi di Mesir, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab selama masing-masing dua sampai empat minggu. Mereka adalah Tintin Wulia, Prilla Tania, Tisna Sanjaya, Venzha Christiawan dan Duto Hardono. Tiga seniman dari kawasan Arab, Ahmed Matter (Aseer, Saudi), Salwa Al Eryani (Sanaa, Yaman) dan Dina Denish (Kairo, Mesir) juga akan menjalani residensi di Yogyakarta.

Pemilihan seniman ini dilakukan selain berdasarkan rekam jejak dan dialog yang terjadi antara seniman dan kurator, juga isu yang dibawa oleh masing-masing seniman yang dianggap relevan dan memiliki potensi untuk memberikan sudut pandang baru tentang hubungan Arab-Indonesia. Tentu saja, isu ini juga berhubungan dan merupakan pengembangan dari pengkaryaan para seniman-seniman ini sebelumnya. Program residensi ini didukung oleh beberapa galeri dan lembaga rekanan. Untuk residensi seniman Indonesia di kawasan Arab, BJ XII bekerja sama dengan Sharjah Art Foundation, Maraya Art Center dan Athr Gallery. Sementara di Yogyakarta, BJ XII bekerja sama dengan Langgeng Art Foundation dan SaRang Art Space.

Residensi Kuratorial Sarah Rifky di Yogayakarta, Juli 2013

Pada 3-30 Juli 2013, kurator Pendamping Biennale Jogja XII Sarah Rifky menjalani residensi kuratorial di Cemeti Art House Yogyakarta. Sarah disertai Habiba Effat, manajer Beirut Beirut Art Initiative Cairo, kolaborator BJXII dalam program residensi di negara-negara Arab.

Sepanjang durasi residensinya di CAH, Sarah memperdalam pengetahuan tentang sejarah, budaya dan seni rupa Indonesia untuk persiapan BJXII. Selain aneka rapat dengan panitia mempersiapkan BJXII, Sarah & Habiba bertukar pengetahuan Mesir-Indonesia dengan seniman, arsitek, budayawan dan jurnalis dalam serangkaian sesi diskusi.

Sarah & Habiba juga mengunjungi studio beberapa seniman. Mereka mengunjungi Candi Borobudur, Mendut, juga Museum OHD dan Museum Widayat di Magelang. Keduanya sudah pula blusukan di sekeliling Jogja. Sarah Rifky telah memberikan presentasi residensi kuratorial, disusul lokakarya kepenulisan kuratorial pameran BJXII yang akan berlangsung hingga akhir Juli 2013.

Selain riset dan kunjungan-kunjungan tersebut, Sarah Rifky juga menyempatkan berbagi dengan teman-teman di Jogja, mengenai situasi seni dan budaya di Mesir saat ini, di tengah pergolakan yang sedang terjadi di sana. Presentasi tersebut telah digelar di LkiS dan Kedai Kebun Forum.

Bersama tim Biennale Jogja XII, Sarah juga melakukan audiensi dengan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, untuk berdiskusi perihal persiapan pelaksanaan Biennale Jogja XII pada November 2013 nanti.

Kelas Penulisan Seni, PMPSK BJ XII

Jogja (16/07) kelas Penulisan Seni dan Kewartawanan (PMPSK) BJ XII untuk kali ini diadakan di Kedai Kebun Forum. Kelas yang dihadiri oleh 10 orang peserta magang dimulai dengan sambutan oleh Yustina Neni selaku Direktur Biennale Jogja yang menekankan mengenai pentingnya etika dalam mencari sebuah informasi. Ini penting mengingat bahwa peserta magang bisa kemudian terjun langsung untuk mempraktekkan hasil pelatihan mereka.

Kelas kemudian diisi dengan materi yang disampaikan oleh Mikke Susanto yang merupakan seorang kurator dan ahli seni sekaligus juga dosen di ISI. Pada kelas kali ini Mikke Susanto menjelaskan mengenai tugas dan tanggung jawab seoang penulis yang memiliki tanggung jawab terhadap masyarakt, karena apa-apa yang sudah dituliskan tidak dapat ditarik kembali untuk itu diperlukan banyak latihan dalam menulis dan mengolah data.

Sebelum menulis sebaiknya dibuat kerangka pikiran dulu ujar Mikke Susanto. Selain menyusun kerangka berpikir, Mikke juga menyarankan agar sebelum menulis harus melihat ‘zona’ luar yang mempengaruhi topik yang akan dijadikan tulisan. Ini diperlukan agar tulisan menjadi lebih berbobot, “tulisan pendek itu memang sulit, karena banyak hal menarik yang ingin ditulis” ujar Mikke.  Selain itu pilihan kata atau diksi pun turut mempengaruhi tulisan karena itu berkaitan dengan kenyamanan membaca. Tulisan yang bagus adalah tulisan yang tidak memiliki jarak dengan pembaca, dalam kata lain pembaca bisa menangkap tujuan atau inti tulisan tanpa merasa penulis terlalu bertele-tele.

Sebelum mengakhiri kelas, Mikke meminta peserta magang yang hadir malam itu untuk mempresentasikan hasil tulisan mereka tentang ‘botol’, dimulai dari latar belakang cerita hingga para peserta magang bisa saling memberi penilaian pada tiap tulisan.

Program magang kelas Penulisan Seni dan Kewartawanan (PMPSK) BJ XII ini berakhir pada pukul 21.30, tak lupa peserta magang diberikan tugas oleh Mikke mengenai Biennale Jogja dan peserta magang diharapkan untuk melakukan riset terlebih dulu sebelum mulai menulis.