Category Archives: Pameran

Temu Wicara & Diskusi: Giuseppe Moscatello, Prilla Tania, Mobius, HONF

Biennale Jogja XII Equator #2 mengundang Anda untuk menghadiri acara temu wicara dan diskusi dengan Giuseppe Moscatello (Head Curator Maraya Art Centre, Sharjah, U.E.A.) dan seniman-seniman BJ XII Prilla Tania (IDN), Mobius (ARE), HONF (IDN). Di dalam temu wicara ini, Giuseppe akan bercerita tentang Maraya Art Centre dan skena seni di Uni Emirat Arab, sementara Prilla Tania akan memaparkan pengalaman residensinya di Maraya, serta Mobius dan HONF akan bertutur soal kolaborasi mereka membuat karya untuk BJ XII ini.

Tempat: SaRanG Building
Dusun Kalipakis, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta
Waktu: Selasa, 26 November 2013 pukul 16.00–18.00

Giuseppe Moscatello adalah seniman video asal Italia, yang kerap juga bekerja menggunakan medium fotografi, lukisan, dan instalasi. Selain pernah mengikuti banyak pameran, Giuseppe telah membuat video dan dokumenter tentang beberapa seniman, serta mengurasi sejumlah pameran. Moscatello lahir di Botrugno, wilayah Lecce Aplugia, Italia pada 1979. Dia mendapatkan gelar BFA dari Accademia delle Belle Arti, Roma pada 2003. Kini tinggal dan bekerja di Sharjah dan Italia.

Prilla Tania dilahirkan di Bandung tanggal 1 April 1979. Ia lulus dari Studio Seni Patung, Departemen Seni Rupa, Fakultas Seni dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Juli 2001. Prilla Tania telah aktif di skena seni lokal semenjak tahun 2003. Karyanya mencakup patung lunak, instalasi, video dan foto. Ia juga adalah seorang seniman performans. Prilla Tania cenderung menggunakan bahan yang mudah dalam karyanya; kain, kapur, kertas atau benda sehari-hari, bahkan bumbu dapur, dalam bahasa visual yang nampak sederhana. Sejak awal Prilla mengeksplorasi tema berdasarkan permasalahan yang dihadapi manusia dan menemukan bahwa semuanya hal adalah persoalan bertahan hidup. Budaya modern telah membuat hidup menjadi sangat rumit sehingga permasalahan bertahan hidup yang sederhana pun menjadi masalah kompleks, misalnya mengenai makanan. Karya-karya Prilla berangkat dari isu-isu limbah dan energi, kemudian bergeser fokus pada kebutuhan pemenuhan energi manusia; makanan. Karena kepeduliannya tersebut, Prilla bahkan mengubah pola makannya menjadi sangat sederhana untuk mengurangi limbah dan menghemat energi. Di dalam Biennale Jogja XII ini, Prilla sempat menjalani residensi di Maraya Art Centre, Sharjah, U.E.A.

Mobius Design Studio terletak di Dubai dan dimotori oleh Hadeyeh Badri, Hala Al-Ani dan Riem Hassan. Sejak lulus dari College of Art, Architecture and Design di American University of Sharjah pada 2009, para pendiri Mobius membagi waktu mereka antara melakukan riset studio, dan membuat proyek-proyek komersial dan independen. Riset desain terakhir mereka mengeksplorasi tipografi dan rekaan spasial. Mobius terus-menerus melakukan kolaborasi dengan para desainer yang punya pemikiran serupa untuk melibatkan diri dalam beragam proses perekaan dan pembelajaran bahan. Mobius menginisiasi dan mengkurasi Design House pada Sikka Art Fair di Dubai (2013), sebuah pusat desain yang memamerkan karya terpilih dalam ruang yang dikurasi dengan seksama. Design House dimaksudkan sebagai katalis bagi publik di dalam mengeksplorasi desain melampaui batas-batas komersial.

The House of Natural Fiber (HONF) adalah sebuah laboratorium seni media baru yang didirikan tahun 1999. Mereka berkonsentrasi pada prinsip-prinsip kritisisme dan inovasi. Dimulai sebagai komunitas yang masih sangat muda, dengan berbagai idealisme dan latar belakang, mereka ingin melakukan apa pun yang diinginkan tetapi dengan kecenderungan mencipta berdasarkan semangat kebersamaan. Tidak ada ambisi untuk bekerja demi keuntungan pribadi. Mereka mencipta untuk dirinya sendiri, keluarga dan lingkungan. Ini adalah dasar aksi pertama dan komitmen di antara mereka.

Wicara Seniman Biennale Jogja XII: UBIK

Wicara Seniman: UBIK—Seniman Residensi Biennale Jogja XII Equator #2
Hari/Tanggal: Sabtu, 23 November 2013 Pukul. 13.00 WIB
Tempat: Pelataran Joko Pekik, Dusun Sembungan, Kasihan, Bantul
Pembicara: UBIK
Moderator: Setu Legi

Residensi merupakan salah satu program yang diselenggarakan dalam rangakaian Biennale Jogja XII. Program ini mengundang seniman-seniman asal negara mitra untuk singgah ke Yogyakarta dan melakukan proses kreatifnya di sini. Salah satu yang menjadi partisipan program ini adalah Vivek Premachandran atau yang lebih dikenal dengan nama UBIK. Pria keturunan India tersebut saat ini menetap dan berkarya di Dubai, Uni Emirat Arab. UBIK menghabiskan masa kecilnya ditengah rezim komunisme yang saat itu sedang bergulir di India. Hal itulah yang sedikit banyaknya mempengaruhi UBIK dalam praktik berkeseniannya. Karya-karya konseptualnya banyak dihadirkan melalui manipulasi, apropriasi teks, serta gambar yang dituangkan dalam medium seperti instalasi, patung, suara, dan pertunjukan.

Program residensi UBIK berlangsung dari tanggal 29 Oktober hingga 29 November 2013. Dalam aktivitasnya di Yogyakarta, ia banyak menemui seniman serta komikus seperti Indieguerillas, Terra Bajraghosa, dan Prihatmoko Moki. Dalam Biennale Jogja XII, UBIK menelurkan sebuah karya bertajuk “Unity in Diversity [Study]” berbentuk Garuda Pancasila berbahan dasar baja yang diselubungi cat hitam, kantung terigu, lencana organisasi, dan sebagainya. Ia berusaha menggali identitas melalui benda-benda bekas atau found object, hasil eksplorasinya terhadap pasar barang bekas di Yogyakarta.

Proses pemaknaan identitas tersebut berlangsung melalui benda-benda bekas—menautkannya, dan direproduksi kembali atas bacaan dan pengalaman personalnya. Sebelum melakukan proses residensinya di sini, UBIK berusaha mengeksplorasi sistem serta struktur yang pernah berlangsung di Indonesia. Merupakan persoalan yang menarik bagi UBIK bahwa sebuah rezim dapat melunturkan identitas yang dimiliki seseorang. Hal inilah yang akan banyak disampaikan oleh UBIK dalam Program Wicara Seniman Biennale Jogja XII mendatang.

***

Vivek Premachandran dilahirkan di Trivandrum, Kerala, India, pada Oktober 1985. Lebih dikenal sebagai UBIK, sebuah samaran yang dia adopsi dari novel Philip K. Dick. UBIK tumbuh di antara negara bagian komunis (Kerala) dan negara monarki (Uni Emirat Arab), dan asuhan ini merupakan aspek inti dan penting yang kerap dia garap di dalam praktik keseniannya. UBIK telah berpameran di India, Uni Emirat Arab, dan Eropa, termasuk pameran tunggal “Dissident” di Galeria Sabrina Amrani, Madrid, Spanyol (2012), “With A Little Help from My Friends” di The Pavillion Downtown, Dubai (2012), dan “Satelite Broadcast 001: Tahrir Sq. Satellite” di Dubai (2011). Dia juga mengikuti pameran kelompok, di antaranya Kochi-Muziris Biennale di Kochi, India (2012), “A Most Precarious Relationship” di Maraya Art Centre, Sharjah (2012), dan “Text ME” di Lawrie Shabibi, Dubai (2012). UBIK telah berpartisipasi di dalam sejumlah art fair, di antaranya Artissima di Turin, Italia (2013), Art Dubai (2011–2013), Abu Dhabi Art Fair (2012), dan Beirut Art Fair (2012).

Praktik UBIK menyangkut manipulasi dan apropriasi teks, gambar, dan lingkungan, melalui bentuk yang beragam, termasuk cetak, instalasi, patung, suara, dan pertunjukan. Karyanya mengeksplorasi kemungkinan membangun narasi yang estetikanya diambil dari benda sehari-hari, sehingga mengeksplorasi lebih jauh hubungan pemirsa dengan objek. Dengan menempatkan karyanya di dalam konteks tapak yang khusus, karya itu dibingkai secara konseptual untuk menunjukkan perlintasan keingintahuan pemirsa sambil memberi mereka kesempatan untuk mempertanyakan hubungan mereka dengan karya itu — interaksi di antara pemirsa dengan karya ini pada akhirnya membongkar karya menjadi tontonan; lebih jauh lagi mengubah karya menjadi pertunjukan di mana pemirsa terlibat. Caranya menggunakan humor dan ironi merupakan aspek yang penting dan disengaja dari praktiknya, memberinya kesempatan untuk mengeksplorasi hal sosial yang menyita kehidupan kita kini.

Wicara Seniman Dina Danish

Program Residensi Seniman – Biennale Jogja XII
Rabu, 6 November 2013, jam 16.00 – 18.00 WIB
di KUNCI Cultural Studies Center
MJ3 No. 100. Ngadinegaran, Yogyakarta.

Gratis dan terbuka untuk umum

For English Version please scroll down

Dina Danish (b.1981), seniman asal Kairo, Mesir, saat ini sedang menjalani program residensi di Yogyakarta untuk mempersiapkan karyanya di Biennale Jogja XII. Dua karya yang akan diprsentasikan Dina dalam pameran BJXII nanti adalah sebuah karya video berjudul “Sailor Shirt” dan satu karya hasil eksplorasinya atas teknik batik yang ia temui pada kunjungannya ke Yogyakarta kali ini.

Persinggungan Dina Danish dengan skena seni kontemporer di luar Mesir membuatnya berani bereksperimen dengan praktik artistik alternatif. Ia bereksperimen dengan video, performance, fotografi dan instalasi. Karyanya memadukan seni konseptual dengan bahasa dan struktur yang bermain dalam nuansa humor, kesalahpahaman, kesalahan dalam penerjemahan, dan takhayul. Gelar sarjana seni Dina diperoleh dari The American University Kairo, kemudian gelar Master untuk Seni Lukis dan Drawing di California College of the Arts, San Francisco.

Dina Danish mendapatkan Curator’s Choice Celeste Prize Roma pada tahun 2012, memenangkan Illy Present Future Award Artissima 18 pada tahun 2011, dan Barclay Simpson Award San Francisco di tahun 2008. Pameran tunggal terakhirnya, “Re-Play: Back in 10 Minutes”, berlangsung di SpazioA, Pistoia,Italia tahun 2012. Jika tidak sedang sibuk berkarya, Dina Danish mengajar di Gerrit Rietveld Academy Amsterdam.

****

 

English Version:

Artist Talk: Dina Danish

Residency Program – Biennale Jogja XII
Wednesday, November 6, 2013 4 pm – 8 pm
Di KUNCI Cultural Studies Center
MJ3 No. 100. Ngadinegaran, Yogyakarta.

Dina Danish is an artist from Cairo, preparing her two works during her residency program for Biennale Jogja XII. Those two works that will present for BJ XII exhibitions is ‘Sailor Shirt’ and another one is her exploration of batik techniques that she found during her residency program in Yogyakarta.

Her interaction with the scheme of contemporary art outside Egypt, gives her an idea to do exploration through an alternative art practice. She makes experiments such as video, performance, photography and installation. Her works combine the conceptual art of language and structure with sense of humor, misunderstanding; misspelling in translation and superstition. She got her bachelor degree from the American University of Cairo, and Master degree from California College of the Arts, San Francisco majoring Painting and Drawing.

In 2012 Dina Danish got Curator’s Choice Celeste Prize in Rome, also got Present Future Award Artissima 18 years in 2011, won Barclay Simpson Award, San Francisco in 2008. Her solo exhibition was “Re-play: Back in 10 minutes” was held in Spazioa, Pistaoia; Italia in 2012. Besides making some art works, she is also teaching in Gerrit Rietveld Academy Amsterdam.

 

Rilisan Pers dan Pengumuman Seniman Partisipan Biennale Jogja XII Equator #2

NOT A DEAD END
Biennale Jogja XII Equator #2
Perjumpaan Indonesia dengan Kawasan Arab
16 November 2013 s.d. 6 Januari 2014
Yogyakarta, Indonesia

Kurator:
Agung Hujatnikajennong (IDN)
Sarah Rifky (EGY)

Direktur Artistik :
Farah Wardani (IDN)

Lokasi:
Jogja National Museum
Langgeng Art Foundation
SaRang Building
HONFablab
Taman Budaya Yogyakarta

Penyelenggara:
Yayasan Biennale Yogyakarta

Seniman Partisipan:
Ahmed Mater (SAU), Agung Kurniawan (IDN), Agus Suwage (IDN), Ayman Yousri (PSE), Basim Magdy (EGY) , Dina Danish (EGY) , Duto Hardono (IDN), Eko Nugroho (IDN), FX Harsono (IDN), Handiwirman Saputra (IDN), Hassan Khan (EGY) , HONF (IDN), Jasmina Metwaly (EGY) , Leonardiansyah Allenda (IDN), Magdi Mostafa (EGY) , Mobius (ARE), Mohamed Abdelkarim (EGY) , Nasir Nasrallah (ARE), Otty Widasari (IDN), Pius Sigit Kuncoro (IDN), Prilla Tania (IDN), Radhika Khimji (OMN), Restu Ratnaningtyas (IDN), Reza Afisina a.k.a. Asung (IDN), Salwa Aleryani (YEM), Samuel Indratma (IDN), Syagini Ratna Wulan (IDN), Take to The Sea (EGY/ ITA) , Tintin Wulia (IDN), Tiong Ang (NLD), Tisna Sanjaya (IDN), UBIK (IND), Ugo Untoro (IDN), Venzha Christiawan (IDN), Wael Shawky (EGY)

Digelar pertama kali sebagai pameran yang merepresentasikan dinamika praktik seni di Yogyakarta pada 1988, Biennale Jogja kini telah menjadi perhelatan seni rupa paling kuat dan konsisten di Indonesia. Dikenal sebagai pameran unggulan yang menghadirkan praktik seni rupa kontemporer sekaligus wacana yang melingkupinya, Biennale Jogja memberikan kontribusi penting bagi dinamika dunia seni, baik lokal maupun regional, di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.

Dalam persaingan tajam dengan biennale-biennale besar di dunia, reputasi Biennale Jogja secara internasional telah memasuki babak baru pada tahun 2011. Penataan kembali organisasi dan manajemen yang diikuti oleh pendirian yayasan, akan menjamin keberlanjutan Biennale Jogja dengan bertumpu pada azas profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas. Pada tanggal 23 Agustus 2010, Yayasan Biennale Yogyakarta diluncurkan sebagai lembaga resmi yang menaungi pameran dua tahunan ini.

Sebagai formulasi ulang gagasan Biennale Jogja, dalam waktu 10 tahun sampai tahun 2022, Biennale Jogja meluncurkan seri Biennale Equator, yang menetapkan lokasi katulistiwa sebagai premis utama dan wilayah kerjanya, yaitu wilayah geografis tertentu di muka bumi yang berkisar antara 23,27° lintang NL dan 23,27° SL. Dalam setiap penyelenggaraannya, Biennale Jogja akan bermitra dengan satu atau lebih negara, dan mengundang para seniman serta komunitas seni dari negara-negara mitra terpilih, untuk berkolaborasi, berkarya, berpameran, bertemu dan berdialog dengan seniman, kolektif, organisasi dan komunitas budaya, di Indonesia, khususnya Yogyakarta. Pada tahun 2011, seri Biennale Equator dimulai dengan pertemuan dengan India.

Biennale Jogja XII akan berfokus pada pertemuan antara Indonesia dan lima negara di kawasan Arab, yaitu Arab Saudi, Mesir, Oman, Uni Emirat Arab, dan Yaman. Dikuratori oleh Agung Hujatnikajennong (Indonesia) dan Sarah Rifky (Mesir), Biennale Jogja XII berangkat dari perspektif yang melihat praktik seni kontemporer sebagai representasi dari moda ‘produksi-distribusi-konsumsi’ yang telah membentuk globalisasi budaya, seperti dinyatakan berikut ini:

“Aliran dan pertukaran modal telah mengubah pemahaman kita mengenai alam dan gagasan. Cara kita menghadapi kenyataan yang berubah dan kemampuan kita untuk berpindah tempat dengan lebih mudah telah mempengaruhi persepsi kita atas banyak hal. Pameran ini akan dilaksanakan melalui jalur kolaborasi, pertukaran dan perjumpaan — di antara karya-karya seni, para seniman dan gagasan-gagasan. Sebagaimana sebuah suatu percakapan, pameran ini tidak didorong sebuah tema, melainkan dipengaruhi oleh karya-karya yang membentuknya. Menjelajahi gagasan-gagasan tentang tanah air, diaspora, tempat asing, migrasi, perjalanan, sirkulasi, keuangan, karya seni, pengalaman, dari garis-garis imajiner yang menghubungkan tempat, melalui ekonomi dan pengalaman buruh migran hingga sirkulasi barang-barang, karya-karya seni dan pameran ini secara menyeluruh menjadi situs sinkretisme – dalam arti linguistik — yang berbicara kepada Yogyakarta, sebuah kota yang sinkretik dalam formasi politik budayanya.” (Agung Hujatnikajennong dan Sarah Rifky, Februari 2013)

Diselenggrakan pada 16 November 2013 hingga 6 Januari 2014, premis kuratorial dalam perhelatan ini mengambil inspirasi dari migrasi berbagai orang dan benda yang sudah berlangsung sepanjang sejarah perjumpaan Indonesia dan wilayah Arab. Biennale Jogja XII tidak hanya menampilkan karya dan seniman dari Indonesia dan wilayah Arab (berdasarkan paspor/kebangsaan). Ini merupakan sebuah konsekuensi dari mengambil ‘mobilitas’ sebagai salah satu satu kata kunci dalam pameran.

Biennale Jogja XII diselenggarakan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta dan didukung oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Sahabat Biennale Jogja, Kawan Sukarelawan Biennale Jogja, Djarum Foundation, Goethe Institute, Jogja National Museum, Taman Budaya Yogyakarta, Universe in Universes, dll. Penyelenggaraan Biennale Jogja XII  secara resmi berpartner dengan Beirut in Cairo, Sharjah Art Foundation dan Maraya Art Center di Uni Emirat Arab, Athr Gallery Saudi Arabia, Langgeng Art Foundation, Sarang Building, dan OFCA International.

Info lebih lanjut, silahkan hubungi:

Ratna Mufida
Email: the-equator@biennalejogja.org

Yayasan Biennale Yogyakarta
Taman Budaya Yogyakarta
Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta, Indonesia
Telp: +62 274 587712
Surel: the-equator@biennalejogja.org
www.biennalejogja.org

Perjumpaan sebagai Titik Berangkat: Wawancara dengan Agung Hujatnika

Pada kesempatan kali ini, Brigitta Isabella, redaktur The Equator berkorespondensi via e-mail dengan Agung Hujatnika, kurator Biennale Jogja XII, untuk membicarakan visi kuratorialnya serta beberapa pandangannya tentang potensi-potensi kerja sama yang mungkin bisa berkembang dari platform BJXII kali ini.

Dalam presentasi publiknya di KKF (25/07), Sarah Rifky menceritakan pengalamannya datang ke Museum Konferensi Asia Afrika di Bandung. Melihat kembali arsip-arsip peristiwa tersebut, ia merasa seperti melihat sebuah pertunjukan teater, di mana bahasa dan gestur para pemimpin negara terasa artifisial. Pertanyaannya kemudian, apakah Biennale Jogja, sebagai sebuah peristiwa besar yang rutin 2 tahunan juga sekedar sebuah aktivitas diplomasi formal? Bagaimana anda melihat posisi dan peran BJ XII dalam kerangka geopolitik masa kini?

Dari perspektif kuratorial, BJXII ini jauh dari intensi atau misi-misi diplomatik negara, apalagi diplomasi politik formal yang diniatkan sejak awal. Yayasan Biennale, meskipun bernaung di bawah pemerintah provinsi, bukanlah organisasi yang memiliki agenda semacam itu. Konsep equator yang mereka canangkan dalam penyelenggaraan rangkaian biennale, saya kira, tidak berhubungan langsung dengan mekanisme diplomasi politik formal apapun, termasuk dengan upaya untuk terlibat secara langsung dengan wacana politik selatan-selatan.

Peristiwa KAA bisa kita baca sebagai peristiwa solidaritas simbolik, bukan saja karena arsip-arsip di museum yang kini menjadi artefak beku belaka. Ia juga menjadi simbol yang mati jika kaitkan dengan kenyataan bagaimana hubungan multilateral antar negara-negara Selatan-Selatan, tak pernah benar-benar berlanjut. Gerakan Non- Blok yang menjadi gelombang penerus dari KAA juga telah menyurut (kita tahu istilah ‘blok’ tak lagi relevan dengan situasi politik internasional hari-hari ini). Tapi bukankah setiap simbol sejarah selalu ‘menunggu’ untuk dimaknai kembali secara terus menerus? Fakta bahwa gerakan itu punya gaung besar pada masanya juga tidak bisa dikecilkan. KAA tetap relevan sebagai peristiwa bersejarah yang relevan tidak hanya dengan Biennale Jogja tahun ini, tapi untuk Biennale Jogja Seri Equator secara meyeluruh.

Meskipun demikian, alih-alih mematok KAA sebagai satu-satunya rujukan sejarah, saya lebih suka menjadikannya sebagai salah satu sumber inspirasi saja untuk BJXII. Inspirasi-inspirasi lainnya datang bukan dari peristiwa atau narasi sejarah yang besar, tapi justru dari pengalaman sehari-hari. Saya lebih ingin memulai proses kuratorial pameran ini dari keinginan untuk memahami makna ‘perjumpaan’ (encounter) sebagai titik berangkat, di mana aspek ketaksengajaan, percobaan, spontanitas dan kejutan-kejutan menjadi penting. Dalam percakapan sehari-hari makna perjumpaan berbeda dengan ‘pertemuan’ (meeting) atau ‘konferensi (conference), yang identik dengan agenda-agenda besar.

Bicara tentang proses kuratorial, seperti apa peran kurator dalam BJXII kali ini, sekedar exhibition maker, diplomat ulung, mediator, atau apa? Bisakah anda juga mengelaborasi lebih lanjut mengenai pilihan tema “mobilitas” dari perspektif kuratorial yang anda tawarkan?

Sebagai kurator, saya tak pernah punya bingkai yang memadai untuk bisa melihat peran saya sendiri, kecuali sebagai seorang (curatorial) ‘labor’ — sebagai seseorang yang semata2 bekerja. Seperti halnya seniman yang bekerja untuk memenuhi suatu motif yang sangat personal, saya kira kerja kuratorial juga layak difahami sebagai pekerjaan yang mendatangkan kesenangan subjektif bagi para pelakunya — tentu saja selain tanggung jawab terhadap publik yang notabene sudah terlalu sering dibebankan kepada mereka.

Menurut saya selalu ada beberapa karakter yang bertolak belakang, namun tak bisa kita pisah-pisahkan begitu saja dalam kerja kuratorial (ia adalah pembuat pameran, diplomat, connoisseur, mediator, pustakawan, penulis, dsb., sekaligus). Akan lebih baik jika penilaian terhadap peran dan kerja seorang kurator dilakukan setelah pameran berlangsung, sebagai after-the-(f)act, pada saat dampak dari pameran tersebut dapat dilihat dalam medan seni dalam jangka waktu yang lama.

Tema mobilitas awalnya tidak dimaksudkan sebagai pijakan untuk merumuskan metode kuratorial, tapi lebih dalam kaitan dengan konsep ‘perjumpaan’. Tema ini terinspirasi oleh fenomena perpindahan/pergerakan manusia (terutama para pekerja migran dan peziarah muslim dari Indonesia ke Arab) dan bentuk- bentuk ‘migrasi’ lainnya dalam proses globalisasi secara umum. Afrizal Malna pernah menggunakan metafor migrasi untuk segala bentuk perpindahan, yang tidak hanya berlaku untuk manusia tapi juga benda-benda, bahasa dan gagasan. Biennale ini pada akhirnya mematok mobilitas dan migrasi sebagai dua kata kunci yang penting untuk melihat praktik seni rupa (dan berbagai problematika sosial, politik, ekonomi dan budaya yang digandengnya) di kawasan Arab dan Indonesia.

Salah satu bentuk pertemuan (encounter) yang digagas BJ XII akan diwujudkan dalam bentuk residensi. Mengapa residensi? Apa yang membedakan pertemuan fisik dengan pertemuan virtual di era teknologi yang semakin canggih, khususnya dalam konteks penciptaan karya seni? Bagaimana cara anda mendorong pertemuan yang tidak sekedar pemukaan dan impresi- impresi pendatang (yang biasanya) stereotipikal dalam program residensi yang durasinya hanya 2 bulan?

Saya dan Sarah Rifky beranggapan bahwa khususnya dalam bidang seni rupa kontemporer perjumpaan Indonesia dan kawasan Arab belum pernah benar2 terjadi. Perjumpaan budaya yang sebenarnya justru dilakukan oleh para pekerja migran, pelajar, peziarah muslim, atau para pedagang. Kesenian tak pernah menjadi motif utama dalam perjumpaan Indonesia dan kawasan arab. Melihat sejarah, perdagangan, migrasi dan ziarah agama justru menjadi pendorong munculnya persentuhan, pengaruh, percampuran, hingga kontradiksi kebudayaan yang kita lihat sekarang ini di Indonesia. Kami tidak ingin perjumpaan dalam BJXII (antar karya2 seni yang dipamerkan, antara seniman dengan kawasan yang ia ajak dialog, antara satu seniman dengan seniman yang lain) tidak bisa belajar dari dan merefleksikan kenyataan sosial yang sebenarnya terjadi di antara dua kawasan.

Program residensi seniman di Jogja maupun kawasan Arab hanyalah salah satu dari ‘sarana perjumpaan’ (platform of encounter) yang saya ajukan sebagai upaya untuk mengatasi minimnya interaksi dan komunikasi antara dua medan seni di dua kawasan tersebut. Sarana ini dibuat juga untuk menghindari biennale ini menjadi ‘pertemuan’ yang formal, atau artifisial, belaka, seperti yang sering kita lihat dalam pameran- pameran yang mengatasnamakan seni rupa kawasan.

Residensi pada dasarnya adalah suatu pola kerja sangat biasa dilakukan oleh seniman di mana pun. Sejumlah biennale di dunia juga sudah melakukannya. Bedanya, dalam BJ XII residensi ini diselenggarakan oleh dua pihak di dua kawasan yang bersangkutan — lebih menyerupai mekanisme pertukaran budaya, tapi dengan penekanan pada interaksi langsung dengan suatu lokasi / tempat, kebudayaan dan komunitas setempat. Konsekuensinya pendekatan etnografik (melalui perjumpaan yang bersifat fisikal dan empirik) menjadi bagian yang inheren dalam rencana karya-karya yang akan dibuat. Saya tidak khawatir dengan hasil yang stereotipe karena waktu residensi yang pendek. Dengan kapasitas kreatif mereka, para seniman residen juga pasti sudah menyadari resiko-resiko semacam itu dan sebisa mungkin menghindarinya sejak awal.

Selain residensi yang menuntut seniman berpindah tempat dan bermigrasi untuk bekerja, saya dan Sarah juga mengajukan sarana/platform lain yang lebih banyak memanfaatkan komunikasi virtual. Sarana ini belum punya nama resmi sampai hari ini. Yang kami lakukan adalah menjadi semacam ‘makcomblang’ untuk proyek kolaborasi antara seniman di dua kawasan. Sebisa mungkin proyek-proyek kolaborasi ini menghasilkan suatu perjumpaan dan ‘percampuran’ antara dua pihak. Saya meminta beberapa seniman untuk mengajukan semacam proposal karya, untuk direalisasikan oleh seniman-seniman lain. Kami berupaya menjodohkan seniman-seniman yang punya kecenderungan serupa maupun berbeda sama sekali (beberapa proyek bersifat inter- disiplin). Bagi kami, ini adalah bagian pameran yang paling menantang, sekaligus eksperimental. Kami sadar bahwa platform ini punya resiko kegagalan yang cukup besar.

Percakapan tentang Ruang Respons: Wawancara dengan Sarah Rifky

Pada kesempatan kali ini editor The Equator, Syafiatudina, bercakap-cakap dengan Sarah Rifky, ko- kurator Biennale Jogja XII (BJ XII). Dalam pertemuan pertama mereka yang dimediasi oleh teknologi digital, selain untuk mengenal lebih jauh Sarah dan pengalaman praktik kuratorialnya selama ini, tercetus pula perbincangan soal kontribusi seni dalam perubahan sosial dan strategi-strategi pembacaan konsep mobilitas untuk mengeksplorasi pertemuan Indonesia dengan negara-negara Arab.

Syafiatudina (S): Bisa ceritakan bagaimana awal pertemuan anda dengan tim BJ XII dan bagaimana proses kerja sama dan kolaborasi yang terbangun sejauh ini? Potensi apa yang anda bayangkan akan muncul dalam kerja kolaborasi ini?
Sarah Rifky (SR): Tahun 2010 saya bertemu dengan Farah Wardani (Direktur Artistik BJ XII) dalam konferensi “Speak Memory”, sebuah simposium tentang arsip di Kairo. Akhir November 2012, saya menerima surat dari Farah yang mengabarkan rencana kunjungan riset tim BJ XII ke Kairo. Dalam kunjungan ini saya bertemu dengan Farah, Agung dan Neni ketika mereka mampir ke kantor Beirut. Kami membicarakan beragam hal yang sangat menarik tentang seni, sejarah dan praktik kuratorial. Sejauh ini, dengan tempo yang cukup ketat, pengalaman bekerja dengan tim BJ XII dipenuhi kemungkinan-kemungkinan yang tampaknya berharga. Pengalaman ini memperkenalkan saya pada langkah-langkah dan gaya berbeda dalam bekerja yang kemudian mendorong pertukaran-pertukaran gagasan yang lebih mendalam.

(S): Selain kolaborasi kurator antara anda dan Agung Hujatnika, Beirut, ruang inisiatif seni yang anda gagas menjadi salah satu partner organisasi pendamping dalam penyelenggaraan BJ XII. Bisa cerita lebih banyak tentang Beirut?
(SR): Beirut dimulai pada musim semi, 2012. Saya mendirikan Beirut bersama dengan seorang teman baik dan kolega saya, Jens Maier-Rothe. Kami bertemu pada tahun 2007, di Swedia, tempat kami sama-sama menempuh pendidikan. Kami menemukan ruang ini -atau mungkin ruang ini menemukan kami!- yang lokasinya di sebuah area yang sangat tenang namun tidak jauh dari pusat kota Kairo. Secara teknis, kami berada di Giza, di bagian barat Sungai Nil. Tempat ini sangat ideal dan cocok untuk berpikir reflektif. Bangunan ini merupakan rumah bergaya 1940-an, dikelilingi taman dan ada dua pohon mangga dan palem. Ketika pertama kali memasuki ruang yang sempat kosong selama beberapa bulan ini, ada beberapa pertanyaan yang muncul di kepala kami tentang fungsi seni saat ini Apa yang ingin kami lakukan di momen perubahan ini? Apa arti perspektif seni dalam membaca situasi politik? Apa arti demokrasi? Apa arti menginstitusikan sesuatu? Kami berupaya untuk membuat karya yang tidak bersifat dokumenter melainkan lebih membentuk ruang reflektif melalui praktik kesenian. Beirut menyasar berbagai audiens, menghubungkan internasional dengan lokal, menjadi tuan rumah bagi seniman dan institusi dan membuka kemungkinan alternatif untuk kolaborasi. Di Beirut kami menanyakan diri kami setiap hari: seperti apakah hubungan antara seniman, karya seni, dan masyarakat?

(S): Dalam situs Beirut, saya membaca bahwa salah satu tujuan didirikannya Beirut adalah untuk menyediakan ruang respons di tengah perubahan sosial yang begitu cepat di Mesir dan daerah-daerah lainnya. Apa urgensi menciptakan sebuah ruang baru? Apa yang dimaksud dengan respons dalam konteks kontribusi seni bagi masyarakat?
(SR): Di tengah situasi yang terus-menerus berubah, orang-orang mulai lelah dan semakin menderita. Khususnya dalam lingkaran pergerakan politik, proses perubahan ini justru semakin membatasi gerak. Beirut adalah sebuah tempat yang menyediakan ruang jeda untuk sejenak beristirahat dari segala keriuhan ini. Lokasi Beirut yang tenang memberi suasana nyaman untuk berkontemplasi, menciptakan kebersamaan yang berkualitas. Beirut menyediakan ruang untuk berimajinasi dan menciptakan ide-ide dan energi baru. Meski demikian kami juga terus memformulasikan gagasan tentang bagaimana cara menciptakan pameran seni yang relevan dengan kondisi perubahan? Amatlah penting untuk selalu mengkontekstualisasikan situasi sosial dengan ide-ide dalam karya seni.

(S): Tema kuratorial yang anda ajukan bersama dengan Agung Hujatnika menjadikan mobilitas sebagai tema kunci BJ XII. Tema ini memiliki jangkauan yang sangat luas sekaligus kompleks, mulai dari perpindahan secara fisik sampai penyebaran pengetahuan. Apa ada isu spesifik yang akan anda gali lebih jauh?
(SR): Karya seni akan menjadi poin awal untuk memulai dialog ini. Pameran ini dengan berbagai cara akan mengambil inspirasi dari migrasi manusia dan benda, juga menelisik sejarah serta pertukaran yang terjadi di Indonesia dan wilayah Arab. Kami telah memutuskan untuk memperluas cakupan Biennale ini, dengan tidak hanya memperlihatkan karya seniman dari wilayah Indonesia dan Arab (berdasarkan paspor/kewarganegaraan), tapi juga menyertakan karya yang membahas migrasi dan pertukaran- -tidak hanya masyarakat, tenaga kerja, benda atau sumber daya, tapi juga juga bahasa dan bentuk-bentuk lainnya.

Arus dan pertukaran kapital telah mengubah pandangan kita atas alam dan bagaimana kita menghadapi realitas pergerakan,menjadi mobile serta mengubah persepsi kita atas benda-benda. Kami akan mencoba untuk bekerja menuju pengembangan jalur pertemuan kolaborasi dan pertukaran – dengan karya seni, seniman dan ide. Layaknya sebuah percakapan, pameran ini tidak digerakkan oleh sebuah tema, melainkan oleh karya-karya yang membentuknya. Pergerakan gagasan mengenai tanah air, diaspora, migrasi, perjalanan, sirkulasi ekonomi dan karya seni telah memproduksi, mereproduksi, mereplikasi dan menransformasi karya seni sehingga ia menjadi sebuah situs sinkretisme. Saya juga tertarik untuk berbicara mengenai Yogyakata sebagai sebuah kota dalam pemahaman linguistik– artinya mendeskripsikannya dalam formasi politik dan budaya, di mana identitas politik tergantikan oleh identitas bentuk, identitas morfologi yang berbeda, serta identitas bahasa dan pengalaman seniman/pengarang.

Cerita Prilla Tania di Sharjah: Hari-hari awal dan kunjungan seniman

31 Agustus 2013

Cerita dimulai dengan telefon kamar hotel yang berdering jam 10 malam. Waktu biologis yang masih 3 jam lebih awal sudah menuntut tidur.

Di ujung lainnya seorang bapak berbicara bahasa Inggris dengan logat khas, menanyakan sebuah nama yang sulit dimengerti. Jawabanku, bukan. Tanyanya lagi, anda siapa? Kujawab, Prilla Tania. Dia memintaku mengejanya. Dia kembali bertanya. Aku lupa pertanyaannya tapi kujawab Maraya Art Center. Lalu dia menanyakan apakah aku tahu Shurooq. Kujawab “the company”. Kemudian dia bertanya lagi, “Apakah kamu bersama orang lain di sana?”.

Wah, kini aku bisa menduga kenapa dia menelefon begini larut!

Jawabanku tidak. Kemudian dia bertanya kembali apakah anda punya keluhan tentang fasilitas kamar? Kebetulan tadi aku mencoba menyalakan kompor tapi gasnya tidak keluar dan hari sebelumnya mencoba menyalakan televisi tapi ada bunyi bunga api di bagian belakangnya. Televisi sebetulnya tidak begitu masalah tapi kebetulan dia menanyakan jadi kulaporkan juga. Sesudah itu dia berkata akan mengirim seseorang. Tak kukira saat itu juga, orang tersebut tiba.

Seperti biasa lampu seluruh ruangan sudah dimatikan, tirai tertutup rapat. Tiba-tiba bel kamar berbunyi. Dalam kegelapan aku mencoba meraih pintu depan yang jaraknya tidak dekat. Seorang pria Filipina (kuduga) berdiri di depan pintu. Rasa-rasanya kulihat dia siang sebelumnya ketika aku hendak keluar kamar.

Dia ternyata dikirim bapak yang menelefon tadi. Kemudian dia memeriksa kompor gas, berhasil dinyalakan. Ternyata memang ada tombol rahasia yang harus dinyalakan dulu untuk mengalirkan gas ke kompor. Kemudian televisi, siaran yang dihiasi tarian semut berbunyi itu muncul lagi tapi tidak segenas sebelumnya. Lalu kukatakan itu bunyi yang aneh, kurasa berasal dari sambungan kabel antena. Sebagai seseorang yang sering berhadapan dengan alat-alat elektronik semacam ini tentunya aku mencoba menganalisa. Lalu dia katakan akan kembali lagi besok sore untuk mengganti pesawat televisi itu. Oke. Dia keluar. Selesai.

Nah kembali ke telefon sebelumnya. Kuduga telefon itu dilakukan karena terpampang tanda “Do Not Disturb” seharian di gagang pintu kamarku. Apakah karena itu?

Aku kurang akrab dengan budaya hotel tapi apakah itu yang menjadi persoalan? Alasanku memasang tanda itu adalah karena memang aku membutuhkan ruangan itu untuk tidak dimasuki siapapun. Dengan laptop, buku, catatan, dan kamera bergeletakan di ruangan dan tidak ingin barang-barang itu berpindah, pemikiranku yang sederhana adalah memasang tanda itu. Karena artinya tidak akan ada orang yang datang dan “mengganggu” ruangan ini. Tapi mungkin sudah jadi budaya hotel bahwa kamar harus mendapat kunjungan dari cleaning service setiap harinya. Hihihi. Ini menimbulkan ide sebuah video berjudul “automatic” yang intinya tentang “pelayanan” dari orang yang anonimus bagi kita dan dilakukan “dibelakang mata” sehingga menjadi suatu yang otomatis seperti oleh mesin atau sulap.

Hehehe. Ini video mah karya bonus. Iseng-iseng!

jalanan sharjah

Aku harus mencari cara lain untuk mengenal tempat ini. Biasanya pertama yang kulakukan adalah dengan berjalan-jalan (dengan kaki) untuk memahami wilayah dan sedikit banyak melihat kehidupan sehari-hari. Tapi di sini nampaknya itu kurang efektif. Karena jalan kaki bukan ide yang baik untuk dilakukan sepanjang hari ataupun malam. Meskipun akhirnya tetap aku lakukan juga sedikit.  Aku akan mulai mengobrol dengan teman-teman di Maraya, tentang keseharian di sini.

***

3 September 2013

Kemarin mengunjungi seniman Ebtisam Abdul Aziz dan Nasir Nasrallah di studio mereka di daerah kota lama. Ternyata daerah itu HIDUP banget. Karena di sekitar Al-Qasba sini aku merasa agak “dingin” suasananya.

Seru! Banyak saling berbagi cerita. Menarik karena keduanya tidak punya latar belakang pendidikan seni rupa. Yang satu belajar matematika dan yang lainnya belajar engineering. Dengan Ebtisam, aku banyak dapat inspirasi karena dia juga bekerja dengan macam-macam medium. Mulai dari lukisan sampai video performance. Dan dia sudah ikut banyak pameran besar. Menarik dari dia, bahwa identitasnya sebagai muslim cukup kuat tapi tidak harus muncul sebagai karya yang menonjolkan persoalan itu. Dia juga percaya dengan kerja tangan.

Dengan Nasir, kami sama-sama penggemar kertas tapi kalau dia lebih dalam bentuk buku. Dia juga bekerja dengan macam-macam medium. Ah ya, aku senang pikiran Ebti dan Nasir yang jahil dan diterapkan dalam karyanya. Sangat cocok!

Aku berharap bisa melanjutkan kerja sama dengan Nasir. Aku janji membuatkan buku dari “Toekang Saeh di Sanggar Kami” (studio kertasku di Bandung). Selain itu juga kemarin aku ikut workshop dari seniman Wafa Ibrahim (kalau tidak salah :D). Malam ini aku akan mengunjungi Ammar Al Attar.

Tadi pagi, aku mengunjungi Al-Majaz dengan Giuseppe. Kebetulan dia akan bertemu dengan graphic designer Maraya. Lalu aku masuk ke salah satu karyanya Wafa Bilal. Ruangannya adalah kamera obscura. Ini juga ada fotonya.

Sejauh ini gagasan karyaku kabur lagi. Tapi mungkin aku akan coba kosongkan gagasan dulu dan berfikir ulang sambil menyerap pengalaman sebanyak-banyaknya di sini.

(Catatan Redaktur: Saat ini, Prilla Tania sedang menjalankan residensi Maraya Art Centre, Sharjah, Uni Emirat Arab, sebagai bagian dari Proyek Residensi Biennale Jogja XII. Residensi ini berlangsung mulai dari 28 Agustus hingga 20 September 2013. Melalui seri tulisan ini, Prilla Tania akan mencatat pengalamannya selama menjalankan residensi tersebut.)

Sensasi Perbincangan Kontemporer Indonesia dan Yaman

Liputan kunjungan Salwa Aleryani (seniman residensi Biennale Jogja XII) ke studio Agus Suwage, oleh Ferika Yustina Hatmoko

Di hari ke delapan masa residensinya untuk Biennale Jogja XII, Kamis 29 Agustus 2013 Salwa berkesempatan mengunjungi rumah sekaligus studio milik Agus Suwage; seorang seniman kontemporer senior yang lebih banyak mengeksplorasi seni gambar (drawing). Turut serta dalam kunjungan Salwa kali ini yaitu Devie Triasari (Koordinator divisi residensi Biennale Jogja), Yolandri (Asisten Seniman), Irine Octavianti Kusuma Wardhanie (Koordinator Magang Penulisan Seni Rupa dan Kewartawanan atau PMPSK) dan Ferika Yustina Hatmoko (peserta magang PMPSK) banyak berbagi cerita mengenai dunia seni antara Yaman dan Indonesia khususnya Jogjakarta.

Obrolan-obrolan ringan yang dimulai dengan pertanyaan Agus Suwage tentang kecocokan lidah Salwa dengan masakan di Jogjakarta sampai akhirnya obrolan ini semakin menarik karena Agus Suwage menunjukkan salah satu karyanya yaitu patung berbentuk terompet dan seorang muadzin menghadap pada gaungnya dalam posisi mengangkat tangan, persis saat menyerukan adzan. Terompet ini menghasilkan suara adzan dengan lantunan yang telah dimodifikasi menjadi lebih klasik dan halus, akan tetapi tidak merubah lantunan adzan sebenarnya. Pengamatan terhadap karya ini, membawa kami pada perbincangan yang meluas, terkait islam dan budaya islam di Indonesia. Suara adzan yang digemakan oleh beberapa mesjid diwaktu yang bersamaan, menghasilkan suara yang terlalu mengaung dan frekuensinya berdentuman satu sama lain. Menurut Agus suara itu tidak nyaman didengar, hingga ia menyebutnya sebagai polusi suara.

Kesempatan kami dalam mengamati ruang kerja beliau mengarahkan pada perbincangan yang menarik dan panjang. Agus Suwage kerap kali menunjukkan hasil karyaya baik dalam bentuk karya, media, cara kerja, sampai katalog pameran tunggal maupun bersama.

“Dalam berkarya, saya sering mendaur ulang karya lama, seperti pada karya Luxury Crime, 2007-2009, Stainless Steel, Gold Plated Brass and Rice, 124 x 77 x 52 cm untuk dijadikan karya baru dengan media yang berbeda” ucap Agus Suwage.

Perbedaan kebudayaan yang cukup jauh berbeda dari kedua seniman ini, melahirkan gagasan yang baru dan menarik. Selain alasan perbedaan kebudayaan, ada kesamaan yang muncul dari mereka, yakni keduanya memiliki konsentrasi di bidang desain motif dan simbol. Kedua alasan kuat ini mengarahkan mereka melahirkan ketertarikan untuk menciptakan kombinasi motif dari simbol-simbol yang direpresentasi dari budaya islam dan barat. Dapat dikatakan dua hal yang berseberangan, akan tetapi keduanya masih dalam ranah seni rupa  kontemporer.

Perbincangan singkat, meluas dan sangat menarik ini ditutup dengan performance oleh Agus Suwage dengan memainkan gitar dan ukulele sambil mengiringi Salwa dan tim bernyanyi bersama.

Program Pertukaran Residensi Seniman Biennale Jogja XII Equator #2

Dengan tujuan untuk menciptakan pertukaran budaya dan sebagai bentuk eksplorasi atas gagasan mobilitas itu sendiri, Biennale Jogja XII akan memulai program residensi seniman pada Agustus hingga Oktober 2013. Ini merupakan program residensi pertama yang mempertukarkan seniman Indonesia dengan seniman di kawasan Arab, serta secara khusus dijalankan mendahului event biennale terkait. Karakteristik yang sedang dibangun melalui program ini adalah upaya untuk memperdalam proses kekaryaan seniman melalui riset langsung di negara-negara yang bersangkutan, dan memungkinkan terjadinya pertukaran budaya secara riil, tidak hanya ‘mengimpor’ karya yang sudah jadi dan dipamerkan di ruang galeri. Hal ini juga untuk mempertegas posisi Biennale Jogja sebagai Biennale Equator yang ingin memberikan sebuah platform baru membaca dunia melalui karya-karya seniman di wilayah ini, dimulai dengan Biennale Jogja XII.
Saat ini sudah terpilih lima seniman dari Indonesia yang akan menjalankan residensi di Mesir, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab selama masing-masing dua sampai empat minggu. Mereka adalah Tintin Wulia, Prilla Tania, Tisna Sanjaya, Venzha Christiawan dan Duto Hardono. Tiga seniman dari kawasan Arab, Ahmed Matter (Aseer, Saudi), Salwa Al Eryani (Sanaa, Yaman) dan Dina Denish (Kairo, Mesir) juga akan menjalani residensi di Yogyakarta.

Pemilihan seniman ini dilakukan selain berdasarkan rekam jejak dan dialog yang terjadi antara seniman dan kurator, juga isu yang dibawa oleh masing-masing seniman yang dianggap relevan dan memiliki potensi untuk memberikan sudut pandang baru tentang hubungan Arab-Indonesia. Tentu saja, isu ini juga berhubungan dan merupakan pengembangan dari pengkaryaan para seniman-seniman ini sebelumnya. Program residensi ini didukung oleh beberapa galeri dan lembaga rekanan. Untuk residensi seniman Indonesia di kawasan Arab, BJ XII bekerja sama dengan Sharjah Art Foundation, Maraya Art Center dan Athr Gallery. Sementara di Yogyakarta, BJ XII bekerja sama dengan Langgeng Art Foundation dan SaRang Art Space.

Presentasi Residensi Ko-Kurator BJ XII Sarah Rifky

oleh Robertus Rony Setiawan (Peserta Program Magang Penulisan Seni dan Kewartawanan)

“Apakah Konferensi Asia-Afrika (KAA) itu berefek nyata sekarang? Apa yang ingin diambil dari situ?” demikian Jumaldi Alfi, seorang perupa Yogyakarta, mewakili seniman mengomentari presentasi ko-kurator Sarah Rifky Biennale Jogja XII, Kamis malam (25/7) lalu. Bertempat di Ruang Pertunjukan Kedai Kebun Forum, Yogyakarta, presentasi ini sebagai bagian persiapan BJ XII yang akan dibuka November mendatang. Dalam presentasi ini Sarah menyampaikan temuannya setelah melakukan residensi di Rumah Seni Cemeti sejak awal Juli lalu.

Selain terinspirasi sejarah terbentuknya Gerakan Non-Blok yang ia temukan di Museum Konferensi Asia Afrika (KAA), Bandung, Jawa Barat, Sarah menaruh perhatian besar pada kondisi politik di Jazirah Arab. Dia menilai KAA yang diadakan pada 1955 itu menandai kaitan Indonesia dan Mesir sebagai negara yang turut merintis lahirnya Gerakan Non-Blok. Hal ini menjiwai konsep kuratorial dalam Biennale Jogja XII yang melibatkan kolaborasi seni dengan negara-negara di sekitar ekuator, khususnya Jazirah Arab, yang mencakup Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Maka dari itu, pada BJ XII kali ini, KAA merupakan perspektif penting bagi tema mobilitas dan pertukaran wacana seni rupa Indonesia dan negara di Jazirah Arab.

Sementara itu, sebagai penanggap presentasi, Jumaldi Alfi menyambut baik perihal KAA yang ditawarkan Sarah sebagai pijakan tema. Menurut Alfi, KAA nyaris dilupakan oleh masyarakat sebagai bagian sejarah bangsa dan dunia. Namun dia memandang hal itu harus didayagunakan bagi kepentingan lebih luas. Sebuah simpulan tercetus dalam presentasi ini, BJ XII berupaya memfasilitasi kolaborasi seni rupa Indonesia-Jazirah Arab, juga membangun infrastruktur kerjasama seni di lingkup global.(*)