Category Archives: Tentang Kami

Biennale Jogja 10 tahun ke depan : Wawancara dengan Katulistiwa

577191_424364444322179_1270085897_n

Pada 2011 Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) meluncurkan proyek Biennale Jogja seri Equator (Biennale Equator), serangkaian pameran dengan agenda jangka panjang yang akan berlangsung sampai dengan tahun 2022. Biennale Equator akan mematok batasan geografis tertentu sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27° LU dan 23.27° LS. Dalam setiap penyelenggaraannya Biennale Equator akan bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai ‘rekanan’, dengan mengundang seniman-seniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta.

Biennale Equator bertekad untuk mengembangkan perspektif baru dalam wacana seni rupa kontemporer, sekaligus untuk membuka diri dan melakukan revisi atas ‘kemapanan’ ataupun konvensi atas kegiatan sejenis. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis—seolah-olah inklusif dan egaliter, hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia.

Equator/Katulistiwa akan menjadi common platform untuk ‘membaca kembali‘ dunia. Menegasi keberadaan pusat-pusat dengan menawarkan area kerja wilayah sabuk katulistiwa dengan sudut pandang yang  nir-pusat.

Konsep Equator tidak saja diangankan untuk menjadi semacam bingkai yang mewadahi kesamaan, tapi juga sebagai titik berangkat untuk mengejawantahkan keberagaman budaya masyarakat global dewasa ini.  Sebagai batasan geografis, Equator adalah kawasan yang memiliki kekhasan secara ekologis. Sebagai kawasan sosial-budaya, sejumlah negara di wilayah ini juga memiliki banyak kemiripan secara historis dan etnografis, misalnya dalam hal nasib politik sebagai ‘negara pascakolonial’. Wilayah ini  luar biasa menarik untuk dieksplorasi karena keberagaman masyarakatnya merupakan cerminan kekayaan budaya, sekaligus sumber daya hidup yang tidak berjeda.

Ekuator/Khatulistiwa, zona bumi yang relatif memiliki kecepatan rotasi lebih tinggi, bentangan wilayah sepanjang 40.000 km, mozaik pulau dan benua dalam anyaman samudera, akan menjadi ‘arena’ pencarian pengkajian, pertemuan, perjumpaan dan pembaharuan kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Wilayah-wilayah atau negara-negara Ekuator yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ untuk sepuluh tahun ke depan adalah:

  1. India (Biennale Jogja XI 2011) – Telah berlangsung
  2. Negara-negara Arab (Biennale Jogja XII 2013)
  3. Negara-negara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015)
  4. Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017)
  5. Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV  dapat disebut sebagai ‘Biennale Laut’ (Ocean Biennale)
  6. Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021)
  7. Konklusi perjalanan menempuh garis khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI EQUATOR pada tahun 2022.

Perjumpaan (encounter) melalui kegiatan seni rupa dalam Biennale Equator, diselenggarakan dengan semangat membangun jejaring yang berkelanjutan di antara para praktisi di kawasan Equator. Dengan jejaring tersebut, BJ dapat memberikan kontribusi pada terbentuknya topografi medan seni rupa global yang dirumuskan secara baru. Upaya tersebut telah dirintis melalui Biennale Jogja XI tahun 2011 yang lalu, dengan bertemunya dua negara, Indonesia dan India, sebagai anggota kawasan Equator dengan potensi dan sumber daya  besar di Asia. India dipilih karena dianggap memiliki kaitan sejarah politik dengan prakarsa Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 oleh Indonesia di Bandung, selain kaitan dengan sejarah kebudayaan kedua kawasan pada masa pra-modern, ketika interaksi yang luar biasa di antara kedua negara berlangsung melalui perdagangan dan penyebaran agama Hindhu dan Buddha.

Biennale Jogja XII Equator #2:
Konsep Kuratorial

Bukan Jalan Buntu

“While biennials remain a space of capital, they are also spaces of hope.” [1]

(Simon Sheikh, 2009)

 

Salah satu metafor yang bisa saya tangkap dari konsep Biennale Jogja seri Equator (Biennale Equator, 2011 – 2020) adalah ‘perjalanan’. Tahun ini, Biennale Equator singgah di negara-negara Arab, tetapi selama tujuh tahun ke depan, Biennale Equator masih akan terus melintas ke barat, singgah dari satu kawasan ke kawasan lainnya. Mengikuti garis khatulistiwa yang imajiner, rute perjalanan Biennale Equator yang melingkar—dan bercabang-cabang—memberi petunjuk tentang suatu siklus, di mana akhir perjalanan adalah titik awal keberangkatan. Dalam sebuah perjalanan panjang, persinggahan menjadi penting sebagai ‘tujuan sementara’ yang memberikan momen dan ruang untuk merenung, bukan cuma tentang apa yang telah berlangsung sepanjang perjalanan, melainkan juga tujuan-tujuan dan risiko yang datang menjelang. Biennale ini pada akhirnya menyerupai upaya seorang musafir untuk memahami diri sendiri, melalui perjalanan dan perjumpaan dengan pihak lain.

 

Perjumpaan

Meski berbagai peristiwa biennale selalu identik dengan ‘seni rupa internasional’, setiap biennale memiliki cara-cara tersendiri untuk memetakan dunia. Pun, sebuah peta pada dasarnya hanyalah cara untuk melihat; sebentuk representasi yang tak pernah benar-benar bisa menggambarkan semua hal. Ada keterbatasan yang tak mungkin dihindari, sehingga konotasi ‘dunia’ dalam sebuah biennale tak pernah bisa inklusif. Seperti terbaca pada cakupan wilayah dan negara dalam berbagai biennale di dunia, kategori geografis yang klasik masih kerap digunakan, misalnya: Asia, Eropa, Amerika, Mediterania, dll. Tetapi di samping itu, biennale juga membentuk kartografi baru yang mengacu pada pengertian geopolitik, geo-ekonomi, geo-kultural, geo-historis, dsb. Pendek kata, pengertian ‘internasional’ dalam sebuah biennale hari ini menjadi semakin arbitrer.

Di antara ratusan biennale yang berlangsung di muka bumi, Biennale Equator berani mengimajinasikan cakupan wilayahnya sendiri. Dengan memilih kawasan khatulistiwa sebagai ‘wilayah kerja’, Biennale Equator mematok negara-negara dalam cakupan tropis dan sub-tropis (antara 23.27° lintang utara dan 23.27° lintang selatan) sebagai fokus. Meskipun mengacu pada tata peta dunia yang cenderung ‘ilmiah’, cakupan ini pada dasarnya juga arbitrer. Tetapi bukan kebetulan bahwa dalam wilayah itu juga berdiri negara-negara dalam kategori ‘non-Barat’ atau ‘Dunia Ketiga’, yang dihubungkan oleh narasi sejarah kolonial, pasca-kolonial, serta hubungan-hubungan baru yang didorong oleh proses globalisasi abad ke-20. Biennale Equator secara menyeluruh berpotensi menghasilkan penggalian dan pembacaan kembali sejarah, serta proyeksi-proyeksi baru tentang kawasan khatulistiwa.

Biennale Jogja XII Equator #2 memilih kawasan Arab sebagai ‘mitra’. Pemilihan kawasan—alih-alih satu negara saja—didasari keinginan untuk mengembangkan format penyelenggaraan pameran yang sebelumnya bersifat ‘bilateral’ (BJXI/Biennale Equator #1, 2011, Indonesia-India). Secara kuratorial, istilah ‘Arab’ sekilas berpotensi menyediakan pilihan jalan masuk yang menarik. Akan tetapi, ternyata cukup sulit untuk menarik hubungan-hubungan yang jelas terkait praktik seni rupa di antara kedua kawasan. Sepanjang riset saya, tak ada satu pun dokumentasi atau informasi tentang kegiatan yang memperlihatkan hubungan historis antara medan seni rupa Indonesia dengan kawasan Arab. Terlebih lagi, cakupan ekuator (khatulistiwa) yang dipancang oleh Biennale Jogja XII Equator #2 adalah 5 negara, yaitu Mesir, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Yaman, dan Oman, yang masing-masing punya sejarah seni rupa sendiri.

Hubungan antara seni rupa Indonesia dan kawasan Arab sesungguhnya baru benar-benar terjalin pada tahun 2012, melalui jejaring yang dirintis oleh pasar. Seiring dengan populernya art fair dalam beberapa tahun terakhir, Asia Tenggara dan kawasan Arab disebut-sebut sebagai ‘emerging art scenes’—istilah berbau Euroamerikasentris untuk menyebut medan-medan baru seni rupa yang tengah bertumbuh dalam lingkaran internasional, notabene karena suntikan modal lokal dan sokongan mekanisme pasar neoliberal. Paradigma ekonomi dalam melihat seni rupa kontemporer di Indonesia dan kawasan Arab memang sangat mungkin menguat pada masa-masa mendatang. Tetapi untuk alasan yang akan saya jelaskan kemudian, pameran ini memilih untuk melihat aspek ‘ekonomi’ dari perspektif yang lain.

Dalam segala keterbatasan, saya lantas mematok ‘perjumpaan’ (encounter) sebagai kata kunci pertama untuk memulai Biennale Jogja XII Equator #2. Awalnya, saya hanya memungut kata itu secara sembarangan dari publikasi-publikasi resmi Biennale Equator. Tetapi lambat laun kata itu menemukan makna yang lebih kaya dalam rutinitas keseharian saya bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain. Pentingnya makna ‘perjumpaan’ menjadi jelas ketika tujuan-tujuan yang dipancang sejak awal tak juga memberikan kepastian, dan spontanitas percobaan, ketidaksengajaan, serta sinkronisitas malah melahirkan kesadaran-kesadaran baru. Ketimbang ‘pertemuan’ (meeting) atau konferensi (conference) yang mengonotasikan suatu agenda besar, ‘perjumpaan’ adalah konsep yang lebih sederhana dan visibel.

 

Pusaran Sinkretis

Pameran Biennale Jogja XII Equator #2 tidak berangkat dari satu tema atau konsep solid yang dirumuskan sejak awal. Tetapi dengan Arab sebagai ‘mitra’, perhatian kita tentu tertuju pada hubungan-hubungan sosial, budaya, dan terutama agama. Ini adalah hal yang tak terhindarkan, mengingat sejarah kebudayaan Indonesia dan Arab telah diikat selama berabad-abad lamanya oleh Islam yang dianut mayoritas masyarakat di kedua kawasan.

Sejak abad ke-8, hubungan Indonesia dan Arab dimulai dengan perdagangan, akulturasi ajaran Islam, dan penyebaran diaspora Arab di Sumatra dan Jawa. Hubungan itu berangsur-angsur ber-evolusi secara rumit, seiring sejarah perjalanan Islam di Indonesia sejak terjadinya perkawinan dan terbentuknya hubungan darah antara para pedagang Arab dengan penduduk dan penguasa setempat; berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra, Jawa, dan Maluku pada abad ke-15, perlawanan para pejuang Islam terhadap pemerintah kolonial Belanda hingga abad ke-19, gerakan anti-kolonial oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam pada awal abad ke-20, munculnya partai-partai Islam pada zaman kemerdekaan, hingga menguatnya pelembagaan Islam dalam kehidupan politik pasca-Reformasi yang berbarengan dengan kembalinya fundamentalisme. Semua itu hanya sebagian kecil penanda yang selalu bisa ditarik kembali ke dalam simpul-simpul sejarah Islam dan hubungan Indonesia-Arab.

Meskipun eksistensi Islam dapat dilihat secara nyata dalam kehidupan sosial di Indonesia, menghubungkan Indonesia dan kawasan Arab melalui persamaan identitas agama adalah penyederhanaan yang bermasalah. Kenyataannya, Islam di Indonesia justru hidup dan berkembang dengan cara-caranya sendiri. Di Jawa, termasuk di Yogyakarta, berbagai ritual dan tradisi yang ada membuktikan bagaimana sebagian masyarakatnya mempraktikkan Islam secara sinkretis. Para antropolog telah menjelaskan bagaimana sinkretisme di Jawa menunjukkan fleksibilitas masyarakatnya dalam menerima agama-agama yang datang dari luar[2]. Oleh karena itu, konstruksi Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia harus selalu dilihat secara koeksisten dengan proses sinkretis yang terjadi di dalamnya. Selain itu, keberadaan para pengikut agama lain—Hindu, Konghucu, Buddha, dan Nasrani—yang notabene datang melalui pertemuan dengan sistem sosial budaya, agama, dan kepercayaan asli di wilayah Nusantara, juga tak bisa dikesampingkan.

Pameran ini melihat sinkretisme Islam sebagai fenomena yang produktif untuk membicarakan hubungan Indonesia dan Arab. Tentang ‘realitas sinkretis’, seniman dan teoretikus Roy Ascott pernah menjelaskan sinkretisme sebagai proses yang diperlukan untuk mengelola perbedaan dalam konteks komunitas maupun negara[3]. Menurut Ascott, proses sinkretis tak seharusnya dipertukarkan dengan sintesis yang mengombinasikan substansi-substansi berbeda, namun kekhasannya menjadi hilang sama sekali. Dalam sinkretisme, perbedaan ekstrem ditegakkan, namun tetap dilihat selaras dengan persamaan dan kemiripan yang dihasilkan oleh percampuran. Ia mengajarkan kita tentang konsepsi dunia yang jamak dan berlapis.

Saya mengibaratkan sinkretisme sebagai suatu paham yang memberikan semangat, ibarat pelumas atau energi yang memungkinkan komponen-komponen sebuah mesin (kebudayaan) berjalan, mendukung satu sama lain, dan menghasilkan pemahaman-pemahaman baru. Hari ini, ketika stereotip-stereotip tentang suatu budaya sering kali berujung pada kebuntuan dialog, prasangka, dan konflik, maka kerelaan untuk menerima kenyataan atau entitas sinkretis juga penting, kalau bukan krusial. Saya tahu ini bukan misi yang mudah. Kenyataannya, sinkretisme religius di Indonesia juga terus terkikis, terancam punah oleh proses purifikasi yang dipaksakan oleh fanatisme dan fundamentalisme.

Biennale adalah kanal yang mempertemukan narasi, pemikiran, dan kepentingan yang berbeda-beda dalam sebuah medium pameran. Terutama di Yogyakarta, di mana formasi budaya dan politiknya juga cenderung ‘sinkretis’, seni rupa kontemporer menjadi praktik yang terbuka bagi proses perjumpaan antara yang baru dan yang lama, yang ‘lokal’ dan yang ‘asing’. Dalam kasus Biennale Jogja XII Equator #2, oleh karena saling-silang hubungan sejarah antara Indonesia dan kawasan Arab, ‘yang asing’ selalu berpotensi mengandung kelokalan, dan sebaliknya, ‘yang lokal’ juga tak selalu dekat dan akrab dengan ruang dan konteks sosial di mana pameran ini berlangsung. Dimensi sinkretis dalam seni rupa kontemporer tidak hanya terletak dalam gagasan-gagasan seniman yang menembus batas-batas teritorial dan budaya, tetapi juga ketika karya-karya mereka mampu ‘berdialog’ dengan ruang-ruang baru.

 

Migrasi dan Mobilitas

Agama bukan satu-satunya jalan masuk untuk membicarakan hubungan Indonesia dan kawasan Arab. Secara historis, proses penyebaran Islam di Indonesia berlangsung melalui perdagangan. Tidak hanya dalam Islam, kaitan perdagangan dengan penyebaran agama sangat jelas dalam sejarah peradaban manusia (Jalan Sutra adalah jalur spiritual, misalnya). Bukan kebetulan bahwa kegiatan ekonomi, khususnya perdagangan, adalah isu yang dibahas secara ekstensif dan substansial dalam ajaran Islam.[4] Dalam konteks yang lebih baru, fenomena arus perpindahan manusia dan barang mencerminkan bagaimana dimensi material ternyata menjadi sisi lain yang penting dari hubungan historis kedua kawasan.

Tersebarnya Islam di wilayah Nusantara berdampak pada munculnya arus balik migrasi manusia ke kawasan Arab. Migrasi para muslim Indonesia ke kawasan Arab pertama-tama didorong oleh panggilan melaksanakan ibadah umrah dan haji, yang telah berlangsung sekurang-kurangnya sejak abad ke-13. Hingga hari ini, jumlah jemaah umrah dan haji Indonesia terus meningkat, menyusul peresmian hubungan diplomatik antara Indonesia dan Arab Saudi pada 1950.[5] Dalam konteks sosial kebudayaan di Indonesia, seseorang yang telah menunaikan ibadah haji cenderung dilihat sebagai panutan bagi muslim yang lain (karena dipandang memiliki tingkat ketakwaan yang lebih tinggi). Bagi sebagian masyarakat Indonesia, perjalanan haji ke Mekkah berdampak pula pada meningkatnya modal sosial dan kultural.

Gelombang tenaga kerja migran Indonesia (TKI) pertama-tama juga dimulai oleh mereka yang mengurusi para jemaah haji Indonesia di Mekkah.[6] Pengiriman TKI ke Arab Saudi menjadi bagian dari program resmi nasional Pemerintah Indonesia sejak 1970-an. Meskipun pada praktiknya menimbulkan banyak masalah, migrasi TKI ke kawasan Arab, terutama Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, juga terus meningkat setiap tahun karena masih minimnya peluang kerja di dalam negeri. Ironisnya, ketika Pemerintah Indonesia melansir para TKI sebagai ‘pahlawan devisa’, regulasi dan perlindungan resmi terhadap mereka masih buruk.[7]

Saya menyinggung fenomena migrasi para jemaah haji dan TKI untuk menjelaskan bagaimana Biennale Jogja XII Equator #2 harus berhadapan dengan pola-pola produksi, distribusi, dan konsumsi seni rupa kontemporer dewasa ini. Tidak untuk menempatkan dua fenomena tersebut sepenuhnya secara paralel, akan tetapi untuk memperluas cakupan bahasan tentang pameran seni rupa sebagai simpul yang merepresentasikan pola-pola mobilitas yang berdampak pada formasi-formasi sosial baru—termasuk medan seni rupa. Adalah kenyataan bahwa kemungkinan dan kemudahan manusia untuk berpindah tempat (mobile) secara fisik membuat kegiatan masyarakat di sebagian besar belahan dunia saat ini terhubung dengan sistem-sistem ekonomi, politik, dan budaya yang tidak dibatasi oleh ruang-ruang budaya yang stabil. Teknologi digital juga menciptakan bentuk ‘mobilitas’ lain melalui ruang-ruang virtual baru: ruang-ruang bergerak/berpindah (mobile spaces) yang tak dibatasi oleh perpindahan fisik.

John Urry menggambarkan mobilitas kontemporer sebagai dinamika sosial yang mengacaukan definisi kedekatan fisik (propinquity), yang semula menjadi salah satu tolok ukur untuk memformulasikan pola-pola sosial.[8] Ketika pola-pola migrasi tradisional mengaburkan konsep identitas (seperti pada kasus para diaspora Arab yang datang berabad-abad lalu ke Nusantara), komunitas maya di internet juga menciptakan karakter masyarakat migran baru. Mesin-mesin digital yang mengaburkan batasan ‘komunikasi’ dan ‘transportasi’ menciptakan konfigurasi baru tentang ‘jarak’, ‘kehadiran’, dan ‘ketakhadiran’ dalam masyarakat jejaring (network society). Dalam mobilitas kontemporer, pengertian ‘migrasi’ telah bermigrasi ke ranah imaterial, karena tubuh manusia telah bermutasi bersama koneksi internet dalam mesin-mesin semacam telepon genggam dan komputer tablet.

Afrizal Malna memahami istilah ‘migrasi’ sebagai istilah yang menghubungkan makna fisik dan metaforis dari perubahan identitas[9]. Menurutnya, kemudahan ‘bermigrasi’ juga terjadi karena ‘pasar tanda-tanda’, yang memungkinkan tubuh mendapatkan identitasnya—seperti ketika seseorang membeli dan mengenakan jilbab untuk menyatakan bahwa ia seorang muslimah. Tetapi di sisi lain, kondisi itu juga mengindikasikan krisis identitas, karena ‘aku‘ bagaikan ruang kosong yang bisa diisi oleh siapa pun; sebuah fiksi yang tak stabil di tengah medan pertempuran kebudayaan.

Pameran ini dihimpun dari sepilihan karya yang menunjukkan perjumpaan-perjumpaan tak terduga antara arus modal, nilai-nilai, bahasa, informasi, ide, objek material, dan agen yang didorong oleh migrasi dan mobilitas (lokal maupun trans-nasional). Meskipun tak ada arahan kuratorial yang mengharuskan para seniman merespon kerangka kerja ‘Indonesia-Arab’ seperti yang dicanangkan oleh Biennale Jogja XII Equator #2, tak bisa dihindari, sebagian besar dari mereka justru secara sengaja menggarap karya-karya yang merepresentasikan kompleksitas relasi budaya antara kedua kawasan. Metafora-metafora ketidakpastian, kontradiksi, kontingensi, ketelantaran (displacement), dan kekacauan identitas cukup dominan dalam pameran ini.

Ketertarikan pada persoalan migrasi dan mobilitas mendorong saya merealisasikan beberapa eksperimen kuratorial untuk Biennale Jogja XII Equator #2. Sejumlah karya dalam pameran ini dihasilkan melalui ‘sarana perjumpaan’ (platform of encounter). Yang pertama adalah melalui proyek residensi dan pertukaran di Yogyakarta, Sharjah, dan Kairo. Bekerja sama dengan pusat-pusat seni di kawasan Arab, Biennale Jogja mengirim sejumlah seniman Indonesia untuk tinggal dan bekerja selama beberapa minggu. Selain itu, platform ini juga mengundang sejumlah seniman dari kawasan Arab untuk tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Sarana yang kedua adalah dengan meminta beberapa seniman untuk mengirim gagasan/proposal karya kepada seniman dari kawasan lain, yang bertindak sebagai ‘unit produksi’ gagasan tersebut.

Gagasan tentang migrasi dan mobilitas tidak bisa dilepaskan dari model produksi-distribusi-konsumsi seni dewasa ini, yang mengikuti—dan pada saat yang sama membentuk secara lebih intens — medan seni rupa yang bergerak (mobile art world). Selain bertujuan untuk menguji sejauh mana gagasan tentang ‘perjalanan khatulistiwa’ dapat menghasilkan suatu ‘perjumpaan kultural’, kedua sarana tersebut adalah cara Biennale Jogja XII Equator #2 mengapropriasi pola-pola produksi dan distribusi dalam ekonomi global hari ini. Alih-alih menjadikannya sebuah presentasi karya-karya seni belaka, Biennale Jogja XII Equator #2 berusaha mengelola kemungkinan baru dalam metode produksinya. Meskipun tak semua rencana dapat terealisasi dengan sempurna, saya menikmati proses persiapan pameran ini sebagai proses eksperimentasi, seperti musafir yang harus selalu memetik pelajaran dari persinggahan-persinggahannya. Seperti pepatah Jawa: Tak ada kebuntuan, karena hidup ini cuma persinggahan untuk minum.[10]

 

Agung Hujatnikajennong

 


[1] Simon Sheikh, Marks for Distinction, Vectors for Possibilities, Questions for the Biennial, dalam Open 2009 / no. 16, Jorinde Seijdel (ed.), The Art Biennial as Global Phenomenon, Strategies in Neo-Political Times, hal. 79.

[2] Lihat misalnya Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973). Meskipun telah melalui banyak perdebatan dan kritik, karya-karya Geertz masih tetap menjadi rujukan klasik tentang sinkretisme di Jawa.

[3] Roy Ascott, Syncretic Reality: Art, Process and Potentiality, 2005, www.drainmag.com/contentNOVEMBER/FEATURE_ESSAY/Syncretic_Reality.htm, diakses 3 Februari 2013

[4] Dalam berbagai kisah dan ajaran Islam, Nabi Muhammad Saw. digambarkan sebagai sosok pedagang yang sukses karena kejujurannya. Dalam kaitan dengan ilmu ekonomi, terdapat dua puluh macam terminologi bisnis dalam Al-Qur’an yang diulang-ulang dalam berbagai ayat.

[5] Pada 2005, jumlah jemaah haji Indonesia mencapai lebih dari 200.000 orang. Di Indonesia, pengaturan pemberangkatan jemaah Haji menjadi urusan nasional yang dimonopoli oleh Pemerintah melalui Kementerian Agama. Pada praktiknya, sistem ini tidak profesional dan rentan korupsi. Lihat M. Awaludin Luckman, Penyelenggaraan Haji di Indonesia dalam Kaitannya dengan Undang-undang Mengenai Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Tesis Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010 (tidak diterbitkan).

 

[7] Pada kasus-kasus terburuk, para TKI kehilangan nyawa, dieksploitasi menjadi tenaga kerja paksa, dan dijadikan objek perdagangan manusia. Lihat penelitian Ira Merdekawati, Upaya Pemerintah dalam Melindungi Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi pada Kurun Waktu 2007 – 2009, Skripsi Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Komputer Indonesia, 2011 (tidak diterbitkan).

[8] John Urry, “Connections”, Environment and Planning – Society and Space 2004, volume 22, hal. 27 – 37. Urry menyebut istilah ‘tikungan mobilitas’ (mobility turn) untuk menggambarkan pergeseran ‘mobilitas’ menjadi topik interdisipliner, karena melibatkan studi budaya, feminisme, kajian migrasi geografi, dll. Untuk referensi teoretik mengenai topik ini, lihat John Urry, Mobilities (Cambridge: Polity Press, 2007)

[9] Wawancara penulis dengan Afrizal Malna, 25 Oktober 2013. Afrizal Malna adalah penyair, penulis naskah dan esais Indonesia yang banyak menggunakan istilah ‘migrasi‘ sebagai metafora berbagai bentuk perpindahan: transformasi, pergeseran, perubahan, metamorfosa, perjalanan, dsb. Karya-karya Afrizal adalah salah satu inspirasi awal dalam perumusan konsep pameran ini.

[10] Saya ingin berterima kasih secara khusus pada Farah Wardani dan Akiq AW untuk perumusan dan finalisasi judul pameran ini.

Profil Kurator dan Direktur Artistik Biennale Jogja XII Equator #2

(dari kiri ke kanan) Sarah Rifky, Agung Hujatnika dan Farah Wardani di Sosialisasi Biennale Jogja XII, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, 21 Februari 2013. Foto oleh Wisnu Asa Ajisatria.

Kurator

Agung Hujatnika a.k.a Agung Hujatnikajennong adalah pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Ia telah memeroleh gelar doktoralnya dari Institut Teknologi Bandung dengan disertasi bertemakan praktik kuratorial di Indonesia. Sejak 1999 ia telah menulis artikel tentang seni di berbagai media massa dan mempresentasikan makalah di seminar nasional maupun internasional. Agung pernah mengikuti residensi kurator di Australia (Queensland Art Gallery, Brisbane; Drill Hall Gallery, Canberra, 2002) dan di Jepang (Nanjo and Associates, Tokyo, 2004). Sejak tahun 2001 ia menjadi kurator di Selasar Sunaryo Art Space dan telah mengkurasi berbagai pameran di Indonesia maupun di luar negeri. Beberapa di antaranya ialah OK Video – Jakarta Video Festival (2003, and “SUB/VERSION”, 2005); Bandung New Emergence (2006, 2008, 2010); pameran tunggal Agus Suwage “I/CON” (2007); pameran tunggal Handiwirman Saputra “In Lingo” (2008); pameran tunggal Heri Dono “Nobody’s Land” (2008). Pada 2009, ia menjadi kurator “Fluid Zones”, pameran utama dalam program Jakarta Biennale: ARENA.

Sarah Rifky tinggal dan bekerja di Kairo, Mesir. Sejak 2009 ia menjadi kurator di Townhouse Gallery of Contemporary Art dan mengajar di The American University in Cairo dan MASS Alexandria pada 2010. Sarah belajar Visual Art and Mass Communication di The American University in Cairo  dan menerima gelar master Critical Studies dari Malmö Art Academy, Lund University di Swedia. Dia adalah salah satu editor buku Damascus: Tourists, Artists and Secret Agents. Beberapa proyek yang telah dikurasi Sarah antara lain “Invisible Publics” (Cairo, 2010), “The Popular Show” (Cairo, 2011), “an accord is first and foremost a proposition” (New York, 2011) dan “The Bergen Accords” (Bergen, 2011). Tahun lalu Sarah menjadi salah satu agen kurator untuk dOCUMENTA (13). Sementara tahun ini, ia menjadi salah satu juri tamu untuk program Artist in Residence, Art Dubai. Sekarang, Sarah juga menjabat sebagai direktur CIRCA (Cairo International Resource Center for Art).

Direktur Artistik 

Farah Wardani mendapat gelar master di bidang Sejarah Seni (abad ke-20) dari Department of Historical & Cultural Studies, Goldsmiths College, London, UK, pada 2001. Sejak 2007, Farah menjabat sebagai direktur Indonesian Visual Art Archive (IVAA) di Yogyakarta. Selain itu ia telah bekerja dalam proyek-proyek kolaborasi yang melibatkan berbagai institusi seni antara lain Cemeti Art House, ruangrupa, Edwin’s Gallery, Nadi Gallery, Valentine Willie Fine Arts KL, Element Art Space – Singapore, Asia Art Archive, dan Melbourne International Fine Art (MIFA). Pada 2007, bersama Carla Bianpoen dan Wulan Dirgantoro, ia menulis buku Indonesian Women Artists: The Curtain Opens. Pada 2011, ia menjadi kurator konsultan untuk pameran ”Indonesian Eye: Fantasies & Realities” di Saatchi Gallery, London. Salah satu proyek terbarunya adalah menjadi kurator untuk Google Chrome Open Spaces 2012.

Produser dan Penyelenggara Biennale Equator

Biennale Jogja XII Ekuator #2 diselenggarakan dan diorganisir oleh Yayasan Biennale Yogyakarta

Misi Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) adalah:

Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni-budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010.

Seni rupa sebagai salah satu sektor kreativitas budaya kian tumbuh dengan pesat di Yogyakarta dan menempati posisi sentral dan sangat penting dalam kehidupan seni rupa Indonesia. Yogyakarta memiliki peran yang sangat dominan dalam sejarah seni rupa Indonesia. Di wilayah ini terdapat akademi seni paling berpengaruh, tempat tinggal para seniman terkemuka dengan peristiwa seni yang tak pernah surut.

Pengembangan dan pengelolaan kekayaan budaya adalah upaya untuk membangun dan mengoptimalkan seluruh potensi kreativitas dari manusia-manusia pencipta karya budaya maupun pemanfaatan seluruh aset budaya yang telah ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

PELINDUNG
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Sri Sultan Hamengku Buwono X

PENASIHAT:
Dewan Yayasan Biennale Yogyakarta
Suwarno Wisetrotomo
Dyan Anggraini
Ong Hariwahyu
Anggi Minarni
Kuss Indarto
Oei Hong Djien
Butet Kartaredjasa
Eko Prawoto
Nindityo Adi Purnomo
Mella Jaarsma
Christine Cocca
Tom Tandio

KETUA PANITIA
Yustina Neni

SEKRETARIS KANTOR
Suryati Tri Wulansari

SEKRETARIS PROGRAM
Irine Kusumawardhani

BENDAHARA
Aniek Rusmawati

STAF KEUANGAN
Verry Handayani

KOORDINATOR SAHABAT BIENNALE JOGJA
Junior Tirtadji

KOLEKTOR KAWAN SUKARELAWAN
Julia Tetuko

HUMAS DAN KERAMAH-TAMAHAN
Koordinator
Ratna Mufida

Hubungan Internasional
Alia Swastika

Asisten
Yohana Titis
Aulia Dhetira (magang)
Rizkia Aulia (magang)
Miqdad Muhammad (relawan)
Haryo Hapsorojati (relawan)

PUBLIKASI
Akiq A.W.
Anang Saptoto
Imam (magang)

NEWSLETTER
Brigitta Isabella
Budi N.D. Dharmawan

EDITOR WEBSITE
Syafiatudina

PERAWATAN WEBSITE
Kurniawan Pujianto

PENGARSIPAN
Melisa Angela

TIM JEJARING KOMUNITAS LOKAL
Heru Prasetia
Kusen Alipah Hadi
Subkhi Ridho

DIREKTUR ARTISTIK
Farah Wardani

KURATOR
Agung Hujatnika

MITRA KURATOR
Sarah Rifky

PERANCANG PAMERAN
Iswanto Hartono

MANAJER PAMERAN
Rismilliana Wijayanti

Asisten
Mirna Adzania (buku panduan)
Mira Asriningtyas (buku panduan)
Invani Lela Herliana (spacing)
Probosiwi (Biennale Forum)

TIM DISPLAY
No Label

PROGRAM RESIDENSI
Koordinator
Devie Triasari

Asisten
Nala Nandana
Yolandri Simanjuntak (magang)
Gisela Swaragita (magang)
Surijal (magang)

TIM FESTIVAL EQUATOR
Manajer Produksi
Gading Narendra Paksi

Administrasi
Yan Christy Mahanani

Tim Riset
Kresna Duta
Aditya Nirwana
Kelly Mayasari
Sita Magfira

Tim Artistik
Greg Sindana (Koordinator)
Didit Prasetyo Nugroho
Faizal Rachman
Angga Yuniar Santosa
Wijanarko Ismail
Herlambang Adi
Ibrahim Jajang
Nurina Rizky Savitri
M. Bagus Panuntun

Koordinator Area
Ignatius Kendal

PIMPINAN PROYEK
Festival Budaya Bergerak
Ajie Wartono
Hendy Kurniawan

Parallel Events
Ditya Sarasiastuti (Koordinator)
Fajar Riyanto (Asisten)

FOTOGRAFER
Dwi Oblo
Arief Sukardono
Wisnu Aji Satria
Indra Ariesta
Dwi Putra Septiana (magang)
Endri Dwi Setyawan (magang)
Henricus Benny (magang)

KOORDINATOR PEMAGANG & SUKARELAWAN
Setyaji Asfani

PEMBUKAAN / PENUTUPAN
Manajer Produksi
Gading Narendra Paksi

 

Biennale Jogja Dari Masa Ke Masa

Mengumpulkan dokumen dan dokumentasi Biennale Jogja*

Kehidupan rupanya terlalu besar untuk hanya dijadikan obyek penelitian, dan terlalu agung untuk tidak dirayakan.
(Ignas Kleden, 1988)

Tak bisa dipungkiri, Biennale Jogja (BJ) merupakan perhelatan besar seni rupa rutin yang paling konsisten di Indonesia. Tandingannya hanyalah Biennale Jakarta (yang walau lebih tua dari pada BJ namun tidak serutin BJ penyelenggaraannya). Beberapa biennale lain, seperti di Jawa Timur dan Bali, belum setua kedua biennale yang saya sebut sebelumnya dan juga tidak diselenggarakan serutin keduanya. Seperti Biennale Jakarta, BJ merupakan produk pemerintah kota.

Dalam 21 tahun eksistensinya, BJ berganti wajah sebanyak tiga kali. Pada mulanya adalah Pameran Seni Lukis Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta (TBY) pada 1983, 1985, 1986, dan 1987. Kemudian TBY, yang saat itu berada di bawah kepemimpinan Rob M. Mujiono, mengubah penyelenggaraan pameran besar tersebut menjadi Biennale Seni Lukis Yogyakarta (BSLY) 1988, 1990, dan 1992. Dalam pengantar katalog BSLY 1988, Mujiono menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan biennale ini adalah untuk menyediakan sarana pameran karya-karya terbaik selama dua tahun terakhir, supaya pada waktunya dapat sekaligus menjadi barometer aktivitas dan tingkat kreativitas seniman juga apresiasi publik terhadap seni lukis Yogyakarta. Untuk pemilihan karya-karya terbaik ini, BSLY memiliki dewan juri yang bukan hanya memilih karya yang ikut dalam pameran, tetapi juga sejumlah karya yang diberikan penghargaan (menjadi pemenang); demikianlah seterusnya sampai BSLY 1992.

Sehari sebelum BSLY 1992 dihelat, perhatian publik dan media direbut oleh pembukaan Binal Experimental Arts 1992. (Jogja memang kota plesetan: Dalam logat dan bahasa Indonesia, “biennale” dibaca: “bi-nal” dan “binal” sebagai sebuah kata juga berarti “nakal”.) Binal ini diadakan oleh sekian banyak muda-mudi yang pada saat itu memprotes syarat-syarat menjadi peserta BSLY. (Dua syarat yang paling menjadi kontroversi pada saat itu adalah “Peserta adalah pelukis profesional berumur minimal genap 35 th. pada 1 Juli 1992 […] Peserta menyerahkan karya lukisan (dua dimensional) dan bukan media batik” Sumber: Proposal Binal Experimental Arts 1992.) Seperti namanya, Binal menyajikan berbagai bentuk seni lain selain seni lukis; mulai dari karya-karya instalasi di ruang publik (di lembah, bundaran, dan boulevard UGM), pertunjukan di ruang-ruang publik (Stasiun Tugu, Taman Sari, dan Alun-alun Selatan), pameran karya di studio-studio seniman (Eddie Harra dan Regina Bimadona), pameran instalasi di Senisono Galeri, sampai dengan diskusi yang terbuka untuk umum di Gedung Tempo. Selama sembilan hari (27 Juli – 4 Agustus 1992), Yogkakarta dipenuhi dengan maraknya kegiatan seni yang melibatkan 300-an seniman. BSLY 1992 yang dimulai dan berakhir sehari setelahnya kehilangan pamor. Nyaris tidak ada media yang meliput BSLY kecuali membandingkannya dengan Binal.

Dua tahun kemudian, nama BSLY tak lagi terdengar. Sebagai gantinya, TBY menggelar Pameran Rupa-rupa Seni Rupa yang berisi: Pameran Nasional Seni Patung Outdoor, Pameran Biennale IV Seni Lukis, Pameran Seni Rupa Kontemporer (Instalasi), dan Sarasehan Seni Rupa. Pameran Rupa-rupa Seni Rupa ini merupakan cikal bakal lahirnya Biennale Seni Rupa Yogyakarta (BSRY) yang tidak lagi memiliki dewan juri seperti pada BSLY. Sebagai gantinya, Pameran Rupa-rupa Seni Rupa pada 1994 dan BSRY 1997 dan 1999 memiliki sejumlah narasumber dan beberapa penulis yang terlibat. Tim narasumber (yang awalnya, pada 1994, disebut tim kurasi) inilah yang mengurasi –dalam logika kurasi yang kita kenal sekarang – perhelatan ini.

Tidak ada BSRY pada 2001. Kebijakan Otonomi Daerah membuat sokongan dana dari pusat untuk penyelenggaraan BSRY terputus satu periode. Pada 2003, Biennale kembali dihelat dengan kemasan baru. Sosok kurator (tunggal) hadir membungkus Biennale dengan sebuah tema. Perhelatan inipun resmi disebut BJ. Bukan hanya sosok kurator yang dihadirkan dalam perhelatan BJ ini, tetapi juga elemen swasta juga hadir sebagai salah satu sponsor penyelenggara kegiatan ini. Alhasil, suksesi BJ semakin tergantung pada kurator, tim manajemen, dan sponsornya. BJ VII 2003 yang dihadirkan kurator Hendro Wiyanto dengan tema Countrybution adalah cikal bakal kemapanan BJ.

Benar saja, pada 2005, BJ VIII 2005 dengan tema Di sini dan Kini dan tiga orang kuratornya, M. Dwi Marianto, Eko Prawoto, dan Mikke Susanto, menggunakan 13 lokasi dalam perhelatannya. Disponsori oleh Gudang Garam Internasional, BJ VIII 2005 ini mengembalikan paham “menang – kalah” (yang satu lebih baik dari yang lainnya) dengan penghargaan sebagai penandanya. Demikianlah pola penyelenggaraan besar-besaran, festivitas, dan pemberian sebentuk penghargaan terus dilakukan (dan bahkan makin membesar) pada BJ selanjut-lanjutnya. Walau hanya dihelat di tiga lokasi, keempat kurator BJ IX 2007 Neo-nation, Suwarno Wisetrotomo, Kuss Indarto, Eko Prawoto, dan Sudjud Dartanto, menyertakan 167 seniman dan 4 kelompok; sementara BJ X 2009 Jogja Jamming: Gerakan Arsip Seni Rupa bahkan diselenggarakan oleh empat kurator, Wahyudin, Eko Prawoto, Samuel Indratma, dan Hermanu bersama dewan kurator Agus Burhan, Ong Hari Wahyu, dan Sindhunata. Tak heran tercatat sebanyak 323 seniman (termasuk 82 kelompok) yang turut serta dalam perhelatan BJ terakhir ini.

Sesuatu yang menarik terjadi pada perhelatan BJ X 2009 ini. Sejumlah pekerja seni yang sudah sekian tahun malang-melintang dalam dunia seni rupa mengajukan pelembagaan (mandiri) BJ.

(Grace Samboh, Kurator, peneliti , tinggal di Yogyakarta, Indonesia)

* Tulisan ini merupakan catatan singkat dari penemuan-penemuan saya dalam proses mengarsip ke-10 perhelatan Biennale Jogja. Pengumpulan dokumen dan dokumentasi, kemudian pengarsipan Biennale Jogja dikerjakan bersama (dan untuk) Indonesia Visual Art Archive.