Biennale Jogja XII Equator #2:
Konsep Kuratorial

Bukan Jalan Buntu

“While biennials remain a space of capital, they are also spaces of hope.” [1]

(Simon Sheikh, 2009)

 

Salah satu metafor yang bisa saya tangkap dari konsep Biennale Jogja seri Equator (Biennale Equator, 2011 – 2020) adalah ‘perjalanan’. Tahun ini, Biennale Equator singgah di negara-negara Arab, tetapi selama tujuh tahun ke depan, Biennale Equator masih akan terus melintas ke barat, singgah dari satu kawasan ke kawasan lainnya. Mengikuti garis khatulistiwa yang imajiner, rute perjalanan Biennale Equator yang melingkar—dan bercabang-cabang—memberi petunjuk tentang suatu siklus, di mana akhir perjalanan adalah titik awal keberangkatan. Dalam sebuah perjalanan panjang, persinggahan menjadi penting sebagai ‘tujuan sementara’ yang memberikan momen dan ruang untuk merenung, bukan cuma tentang apa yang telah berlangsung sepanjang perjalanan, melainkan juga tujuan-tujuan dan risiko yang datang menjelang. Biennale ini pada akhirnya menyerupai upaya seorang musafir untuk memahami diri sendiri, melalui perjalanan dan perjumpaan dengan pihak lain.

 

Perjumpaan

Meski berbagai peristiwa biennale selalu identik dengan ‘seni rupa internasional’, setiap biennale memiliki cara-cara tersendiri untuk memetakan dunia. Pun, sebuah peta pada dasarnya hanyalah cara untuk melihat; sebentuk representasi yang tak pernah benar-benar bisa menggambarkan semua hal. Ada keterbatasan yang tak mungkin dihindari, sehingga konotasi ‘dunia’ dalam sebuah biennale tak pernah bisa inklusif. Seperti terbaca pada cakupan wilayah dan negara dalam berbagai biennale di dunia, kategori geografis yang klasik masih kerap digunakan, misalnya: Asia, Eropa, Amerika, Mediterania, dll. Tetapi di samping itu, biennale juga membentuk kartografi baru yang mengacu pada pengertian geopolitik, geo-ekonomi, geo-kultural, geo-historis, dsb. Pendek kata, pengertian ‘internasional’ dalam sebuah biennale hari ini menjadi semakin arbitrer.

Di antara ratusan biennale yang berlangsung di muka bumi, Biennale Equator berani mengimajinasikan cakupan wilayahnya sendiri. Dengan memilih kawasan khatulistiwa sebagai ‘wilayah kerja’, Biennale Equator mematok negara-negara dalam cakupan tropis dan sub-tropis (antara 23.27° lintang utara dan 23.27° lintang selatan) sebagai fokus. Meskipun mengacu pada tata peta dunia yang cenderung ‘ilmiah’, cakupan ini pada dasarnya juga arbitrer. Tetapi bukan kebetulan bahwa dalam wilayah itu juga berdiri negara-negara dalam kategori ‘non-Barat’ atau ‘Dunia Ketiga’, yang dihubungkan oleh narasi sejarah kolonial, pasca-kolonial, serta hubungan-hubungan baru yang didorong oleh proses globalisasi abad ke-20. Biennale Equator secara menyeluruh berpotensi menghasilkan penggalian dan pembacaan kembali sejarah, serta proyeksi-proyeksi baru tentang kawasan khatulistiwa.

Biennale Jogja XII Equator #2 memilih kawasan Arab sebagai ‘mitra’. Pemilihan kawasan—alih-alih satu negara saja—didasari keinginan untuk mengembangkan format penyelenggaraan pameran yang sebelumnya bersifat ‘bilateral’ (BJXI/Biennale Equator #1, 2011, Indonesia-India). Secara kuratorial, istilah ‘Arab’ sekilas berpotensi menyediakan pilihan jalan masuk yang menarik. Akan tetapi, ternyata cukup sulit untuk menarik hubungan-hubungan yang jelas terkait praktik seni rupa di antara kedua kawasan. Sepanjang riset saya, tak ada satu pun dokumentasi atau informasi tentang kegiatan yang memperlihatkan hubungan historis antara medan seni rupa Indonesia dengan kawasan Arab. Terlebih lagi, cakupan ekuator (khatulistiwa) yang dipancang oleh Biennale Jogja XII Equator #2 adalah 5 negara, yaitu Mesir, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Yaman, dan Oman, yang masing-masing punya sejarah seni rupa sendiri.

Hubungan antara seni rupa Indonesia dan kawasan Arab sesungguhnya baru benar-benar terjalin pada tahun 2012, melalui jejaring yang dirintis oleh pasar. Seiring dengan populernya art fair dalam beberapa tahun terakhir, Asia Tenggara dan kawasan Arab disebut-sebut sebagai ‘emerging art scenes’—istilah berbau Euroamerikasentris untuk menyebut medan-medan baru seni rupa yang tengah bertumbuh dalam lingkaran internasional, notabene karena suntikan modal lokal dan sokongan mekanisme pasar neoliberal. Paradigma ekonomi dalam melihat seni rupa kontemporer di Indonesia dan kawasan Arab memang sangat mungkin menguat pada masa-masa mendatang. Tetapi untuk alasan yang akan saya jelaskan kemudian, pameran ini memilih untuk melihat aspek ‘ekonomi’ dari perspektif yang lain.

Dalam segala keterbatasan, saya lantas mematok ‘perjumpaan’ (encounter) sebagai kata kunci pertama untuk memulai Biennale Jogja XII Equator #2. Awalnya, saya hanya memungut kata itu secara sembarangan dari publikasi-publikasi resmi Biennale Equator. Tetapi lambat laun kata itu menemukan makna yang lebih kaya dalam rutinitas keseharian saya bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain. Pentingnya makna ‘perjumpaan’ menjadi jelas ketika tujuan-tujuan yang dipancang sejak awal tak juga memberikan kepastian, dan spontanitas percobaan, ketidaksengajaan, serta sinkronisitas malah melahirkan kesadaran-kesadaran baru. Ketimbang ‘pertemuan’ (meeting) atau konferensi (conference) yang mengonotasikan suatu agenda besar, ‘perjumpaan’ adalah konsep yang lebih sederhana dan visibel.

 

Pusaran Sinkretis

Pameran Biennale Jogja XII Equator #2 tidak berangkat dari satu tema atau konsep solid yang dirumuskan sejak awal. Tetapi dengan Arab sebagai ‘mitra’, perhatian kita tentu tertuju pada hubungan-hubungan sosial, budaya, dan terutama agama. Ini adalah hal yang tak terhindarkan, mengingat sejarah kebudayaan Indonesia dan Arab telah diikat selama berabad-abad lamanya oleh Islam yang dianut mayoritas masyarakat di kedua kawasan.

Sejak abad ke-8, hubungan Indonesia dan Arab dimulai dengan perdagangan, akulturasi ajaran Islam, dan penyebaran diaspora Arab di Sumatra dan Jawa. Hubungan itu berangsur-angsur ber-evolusi secara rumit, seiring sejarah perjalanan Islam di Indonesia sejak terjadinya perkawinan dan terbentuknya hubungan darah antara para pedagang Arab dengan penduduk dan penguasa setempat; berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra, Jawa, dan Maluku pada abad ke-15, perlawanan para pejuang Islam terhadap pemerintah kolonial Belanda hingga abad ke-19, gerakan anti-kolonial oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam pada awal abad ke-20, munculnya partai-partai Islam pada zaman kemerdekaan, hingga menguatnya pelembagaan Islam dalam kehidupan politik pasca-Reformasi yang berbarengan dengan kembalinya fundamentalisme. Semua itu hanya sebagian kecil penanda yang selalu bisa ditarik kembali ke dalam simpul-simpul sejarah Islam dan hubungan Indonesia-Arab.

Meskipun eksistensi Islam dapat dilihat secara nyata dalam kehidupan sosial di Indonesia, menghubungkan Indonesia dan kawasan Arab melalui persamaan identitas agama adalah penyederhanaan yang bermasalah. Kenyataannya, Islam di Indonesia justru hidup dan berkembang dengan cara-caranya sendiri. Di Jawa, termasuk di Yogyakarta, berbagai ritual dan tradisi yang ada membuktikan bagaimana sebagian masyarakatnya mempraktikkan Islam secara sinkretis. Para antropolog telah menjelaskan bagaimana sinkretisme di Jawa menunjukkan fleksibilitas masyarakatnya dalam menerima agama-agama yang datang dari luar[2]. Oleh karena itu, konstruksi Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia harus selalu dilihat secara koeksisten dengan proses sinkretis yang terjadi di dalamnya. Selain itu, keberadaan para pengikut agama lain—Hindu, Konghucu, Buddha, dan Nasrani—yang notabene datang melalui pertemuan dengan sistem sosial budaya, agama, dan kepercayaan asli di wilayah Nusantara, juga tak bisa dikesampingkan.

Pameran ini melihat sinkretisme Islam sebagai fenomena yang produktif untuk membicarakan hubungan Indonesia dan Arab. Tentang ‘realitas sinkretis’, seniman dan teoretikus Roy Ascott pernah menjelaskan sinkretisme sebagai proses yang diperlukan untuk mengelola perbedaan dalam konteks komunitas maupun negara[3]. Menurut Ascott, proses sinkretis tak seharusnya dipertukarkan dengan sintesis yang mengombinasikan substansi-substansi berbeda, namun kekhasannya menjadi hilang sama sekali. Dalam sinkretisme, perbedaan ekstrem ditegakkan, namun tetap dilihat selaras dengan persamaan dan kemiripan yang dihasilkan oleh percampuran. Ia mengajarkan kita tentang konsepsi dunia yang jamak dan berlapis.

Saya mengibaratkan sinkretisme sebagai suatu paham yang memberikan semangat, ibarat pelumas atau energi yang memungkinkan komponen-komponen sebuah mesin (kebudayaan) berjalan, mendukung satu sama lain, dan menghasilkan pemahaman-pemahaman baru. Hari ini, ketika stereotip-stereotip tentang suatu budaya sering kali berujung pada kebuntuan dialog, prasangka, dan konflik, maka kerelaan untuk menerima kenyataan atau entitas sinkretis juga penting, kalau bukan krusial. Saya tahu ini bukan misi yang mudah. Kenyataannya, sinkretisme religius di Indonesia juga terus terkikis, terancam punah oleh proses purifikasi yang dipaksakan oleh fanatisme dan fundamentalisme.

Biennale adalah kanal yang mempertemukan narasi, pemikiran, dan kepentingan yang berbeda-beda dalam sebuah medium pameran. Terutama di Yogyakarta, di mana formasi budaya dan politiknya juga cenderung ‘sinkretis’, seni rupa kontemporer menjadi praktik yang terbuka bagi proses perjumpaan antara yang baru dan yang lama, yang ‘lokal’ dan yang ‘asing’. Dalam kasus Biennale Jogja XII Equator #2, oleh karena saling-silang hubungan sejarah antara Indonesia dan kawasan Arab, ‘yang asing’ selalu berpotensi mengandung kelokalan, dan sebaliknya, ‘yang lokal’ juga tak selalu dekat dan akrab dengan ruang dan konteks sosial di mana pameran ini berlangsung. Dimensi sinkretis dalam seni rupa kontemporer tidak hanya terletak dalam gagasan-gagasan seniman yang menembus batas-batas teritorial dan budaya, tetapi juga ketika karya-karya mereka mampu ‘berdialog’ dengan ruang-ruang baru.

 

Migrasi dan Mobilitas

Agama bukan satu-satunya jalan masuk untuk membicarakan hubungan Indonesia dan kawasan Arab. Secara historis, proses penyebaran Islam di Indonesia berlangsung melalui perdagangan. Tidak hanya dalam Islam, kaitan perdagangan dengan penyebaran agama sangat jelas dalam sejarah peradaban manusia (Jalan Sutra adalah jalur spiritual, misalnya). Bukan kebetulan bahwa kegiatan ekonomi, khususnya perdagangan, adalah isu yang dibahas secara ekstensif dan substansial dalam ajaran Islam.[4] Dalam konteks yang lebih baru, fenomena arus perpindahan manusia dan barang mencerminkan bagaimana dimensi material ternyata menjadi sisi lain yang penting dari hubungan historis kedua kawasan.

Tersebarnya Islam di wilayah Nusantara berdampak pada munculnya arus balik migrasi manusia ke kawasan Arab. Migrasi para muslim Indonesia ke kawasan Arab pertama-tama didorong oleh panggilan melaksanakan ibadah umrah dan haji, yang telah berlangsung sekurang-kurangnya sejak abad ke-13. Hingga hari ini, jumlah jemaah umrah dan haji Indonesia terus meningkat, menyusul peresmian hubungan diplomatik antara Indonesia dan Arab Saudi pada 1950.[5] Dalam konteks sosial kebudayaan di Indonesia, seseorang yang telah menunaikan ibadah haji cenderung dilihat sebagai panutan bagi muslim yang lain (karena dipandang memiliki tingkat ketakwaan yang lebih tinggi). Bagi sebagian masyarakat Indonesia, perjalanan haji ke Mekkah berdampak pula pada meningkatnya modal sosial dan kultural.

Gelombang tenaga kerja migran Indonesia (TKI) pertama-tama juga dimulai oleh mereka yang mengurusi para jemaah haji Indonesia di Mekkah.[6] Pengiriman TKI ke Arab Saudi menjadi bagian dari program resmi nasional Pemerintah Indonesia sejak 1970-an. Meskipun pada praktiknya menimbulkan banyak masalah, migrasi TKI ke kawasan Arab, terutama Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, juga terus meningkat setiap tahun karena masih minimnya peluang kerja di dalam negeri. Ironisnya, ketika Pemerintah Indonesia melansir para TKI sebagai ‘pahlawan devisa’, regulasi dan perlindungan resmi terhadap mereka masih buruk.[7]

Saya menyinggung fenomena migrasi para jemaah haji dan TKI untuk menjelaskan bagaimana Biennale Jogja XII Equator #2 harus berhadapan dengan pola-pola produksi, distribusi, dan konsumsi seni rupa kontemporer dewasa ini. Tidak untuk menempatkan dua fenomena tersebut sepenuhnya secara paralel, akan tetapi untuk memperluas cakupan bahasan tentang pameran seni rupa sebagai simpul yang merepresentasikan pola-pola mobilitas yang berdampak pada formasi-formasi sosial baru—termasuk medan seni rupa. Adalah kenyataan bahwa kemungkinan dan kemudahan manusia untuk berpindah tempat (mobile) secara fisik membuat kegiatan masyarakat di sebagian besar belahan dunia saat ini terhubung dengan sistem-sistem ekonomi, politik, dan budaya yang tidak dibatasi oleh ruang-ruang budaya yang stabil. Teknologi digital juga menciptakan bentuk ‘mobilitas’ lain melalui ruang-ruang virtual baru: ruang-ruang bergerak/berpindah (mobile spaces) yang tak dibatasi oleh perpindahan fisik.

John Urry menggambarkan mobilitas kontemporer sebagai dinamika sosial yang mengacaukan definisi kedekatan fisik (propinquity), yang semula menjadi salah satu tolok ukur untuk memformulasikan pola-pola sosial.[8] Ketika pola-pola migrasi tradisional mengaburkan konsep identitas (seperti pada kasus para diaspora Arab yang datang berabad-abad lalu ke Nusantara), komunitas maya di internet juga menciptakan karakter masyarakat migran baru. Mesin-mesin digital yang mengaburkan batasan ‘komunikasi’ dan ‘transportasi’ menciptakan konfigurasi baru tentang ‘jarak’, ‘kehadiran’, dan ‘ketakhadiran’ dalam masyarakat jejaring (network society). Dalam mobilitas kontemporer, pengertian ‘migrasi’ telah bermigrasi ke ranah imaterial, karena tubuh manusia telah bermutasi bersama koneksi internet dalam mesin-mesin semacam telepon genggam dan komputer tablet.

Afrizal Malna memahami istilah ‘migrasi’ sebagai istilah yang menghubungkan makna fisik dan metaforis dari perubahan identitas[9]. Menurutnya, kemudahan ‘bermigrasi’ juga terjadi karena ‘pasar tanda-tanda’, yang memungkinkan tubuh mendapatkan identitasnya—seperti ketika seseorang membeli dan mengenakan jilbab untuk menyatakan bahwa ia seorang muslimah. Tetapi di sisi lain, kondisi itu juga mengindikasikan krisis identitas, karena ‘aku‘ bagaikan ruang kosong yang bisa diisi oleh siapa pun; sebuah fiksi yang tak stabil di tengah medan pertempuran kebudayaan.

Pameran ini dihimpun dari sepilihan karya yang menunjukkan perjumpaan-perjumpaan tak terduga antara arus modal, nilai-nilai, bahasa, informasi, ide, objek material, dan agen yang didorong oleh migrasi dan mobilitas (lokal maupun trans-nasional). Meskipun tak ada arahan kuratorial yang mengharuskan para seniman merespon kerangka kerja ‘Indonesia-Arab’ seperti yang dicanangkan oleh Biennale Jogja XII Equator #2, tak bisa dihindari, sebagian besar dari mereka justru secara sengaja menggarap karya-karya yang merepresentasikan kompleksitas relasi budaya antara kedua kawasan. Metafora-metafora ketidakpastian, kontradiksi, kontingensi, ketelantaran (displacement), dan kekacauan identitas cukup dominan dalam pameran ini.

Ketertarikan pada persoalan migrasi dan mobilitas mendorong saya merealisasikan beberapa eksperimen kuratorial untuk Biennale Jogja XII Equator #2. Sejumlah karya dalam pameran ini dihasilkan melalui ‘sarana perjumpaan’ (platform of encounter). Yang pertama adalah melalui proyek residensi dan pertukaran di Yogyakarta, Sharjah, dan Kairo. Bekerja sama dengan pusat-pusat seni di kawasan Arab, Biennale Jogja mengirim sejumlah seniman Indonesia untuk tinggal dan bekerja selama beberapa minggu. Selain itu, platform ini juga mengundang sejumlah seniman dari kawasan Arab untuk tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Sarana yang kedua adalah dengan meminta beberapa seniman untuk mengirim gagasan/proposal karya kepada seniman dari kawasan lain, yang bertindak sebagai ‘unit produksi’ gagasan tersebut.

Gagasan tentang migrasi dan mobilitas tidak bisa dilepaskan dari model produksi-distribusi-konsumsi seni dewasa ini, yang mengikuti—dan pada saat yang sama membentuk secara lebih intens — medan seni rupa yang bergerak (mobile art world). Selain bertujuan untuk menguji sejauh mana gagasan tentang ‘perjalanan khatulistiwa’ dapat menghasilkan suatu ‘perjumpaan kultural’, kedua sarana tersebut adalah cara Biennale Jogja XII Equator #2 mengapropriasi pola-pola produksi dan distribusi dalam ekonomi global hari ini. Alih-alih menjadikannya sebuah presentasi karya-karya seni belaka, Biennale Jogja XII Equator #2 berusaha mengelola kemungkinan baru dalam metode produksinya. Meskipun tak semua rencana dapat terealisasi dengan sempurna, saya menikmati proses persiapan pameran ini sebagai proses eksperimentasi, seperti musafir yang harus selalu memetik pelajaran dari persinggahan-persinggahannya. Seperti pepatah Jawa: Tak ada kebuntuan, karena hidup ini cuma persinggahan untuk minum.[10]

 

Agung Hujatnikajennong

 


[1] Simon Sheikh, Marks for Distinction, Vectors for Possibilities, Questions for the Biennial, dalam Open 2009 / no. 16, Jorinde Seijdel (ed.), The Art Biennial as Global Phenomenon, Strategies in Neo-Political Times, hal. 79.

[2] Lihat misalnya Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973). Meskipun telah melalui banyak perdebatan dan kritik, karya-karya Geertz masih tetap menjadi rujukan klasik tentang sinkretisme di Jawa.

[3] Roy Ascott, Syncretic Reality: Art, Process and Potentiality, 2005, www.drainmag.com/contentNOVEMBER/FEATURE_ESSAY/Syncretic_Reality.htm, diakses 3 Februari 2013

[4] Dalam berbagai kisah dan ajaran Islam, Nabi Muhammad Saw. digambarkan sebagai sosok pedagang yang sukses karena kejujurannya. Dalam kaitan dengan ilmu ekonomi, terdapat dua puluh macam terminologi bisnis dalam Al-Qur’an yang diulang-ulang dalam berbagai ayat.

[5] Pada 2005, jumlah jemaah haji Indonesia mencapai lebih dari 200.000 orang. Di Indonesia, pengaturan pemberangkatan jemaah Haji menjadi urusan nasional yang dimonopoli oleh Pemerintah melalui Kementerian Agama. Pada praktiknya, sistem ini tidak profesional dan rentan korupsi. Lihat M. Awaludin Luckman, Penyelenggaraan Haji di Indonesia dalam Kaitannya dengan Undang-undang Mengenai Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Tesis Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010 (tidak diterbitkan).

 

[7] Pada kasus-kasus terburuk, para TKI kehilangan nyawa, dieksploitasi menjadi tenaga kerja paksa, dan dijadikan objek perdagangan manusia. Lihat penelitian Ira Merdekawati, Upaya Pemerintah dalam Melindungi Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi pada Kurun Waktu 2007 – 2009, Skripsi Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Komputer Indonesia, 2011 (tidak diterbitkan).

[8] John Urry, “Connections”, Environment and Planning – Society and Space 2004, volume 22, hal. 27 – 37. Urry menyebut istilah ‘tikungan mobilitas’ (mobility turn) untuk menggambarkan pergeseran ‘mobilitas’ menjadi topik interdisipliner, karena melibatkan studi budaya, feminisme, kajian migrasi geografi, dll. Untuk referensi teoretik mengenai topik ini, lihat John Urry, Mobilities (Cambridge: Polity Press, 2007)

[9] Wawancara penulis dengan Afrizal Malna, 25 Oktober 2013. Afrizal Malna adalah penyair, penulis naskah dan esais Indonesia yang banyak menggunakan istilah ‘migrasi‘ sebagai metafora berbagai bentuk perpindahan: transformasi, pergeseran, perubahan, metamorfosa, perjalanan, dsb. Karya-karya Afrizal adalah salah satu inspirasi awal dalam perumusan konsep pameran ini.

[10] Saya ingin berterima kasih secara khusus pada Farah Wardani dan Akiq AW untuk perumusan dan finalisasi judul pameran ini.