Melihat Intervensi Dalam Kerja Seni Partisipatoris

Catatan Awal dari Program Parallel Event BJ XIII Hacking Conflict! 2015

Bukan sekedar pengiring pameran utama, program Parallel Event (PE) Biennale Jogja XIII penting keberadaannya untuk melihat keragaman dinamika praktik dan wacana seni kota berikut pelakunya. Program ini sekaligus merangkul peran aktif pelaku seni lokal dalam menangkap gagasan dan wacana besar dari Biennale Yogyakarta seri Ekuator. PE BJXIII adalah sebuah program penciptaan proyek seni yang dilakukan secara berdikari, yang menekankan gagasan dan praktiknya pada kerja seni berbasis komunitas. Tentu yang menjadi tantangan bukan sekedar mengolah isu menjadi karya seni, pelibatan publik, atau bekerja lintas disiplin, namun bagaimana setiap proyek seni yang diajukan mampu menyodorkan bentuk intervensi – interupsi dengan menyasar ruang-ruang sosial secara langsung serta memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis terkait kondisi sosial yang melekat.

Proyek Seni Komunitas: Dari Kerja Partisipatoris Menuju Intervensi

Proyek Seni Komunitas dipilih sebagai sebuah kerangka kerja tafsir dari tajuk utama Biennale Jogja XIII – Hacking Conflict! Program ini bertujuan untuk merangkul seniman dan akademisi dalam menciptakan aktivitas seni berbasis komunitas dengan pelibatan publik yang lebih luas. Sementara Bertolak X Bersanding menjadi kata kunci turunan yang digunakan dalam memilih objek kajian dan merumuskan modus perancangan kegiatan. Melalui tema ini juga diharapkan muncul beragam praktik penciptaan aktivitas seni sebagai praktik sosial, atau lebih tajam: sebuah gerakan sosial.

Masalah mendasar dari ‘praktik seni sebagai praktik sosial’ berkutat pada bagaimana membaca dan merumuskan persoalan, memanggungkannya serta bagaimana proses itu akan dilakukan. Sepintas dari gagasan tersebut bisa kita katakan bahwa praktik ini bisa dirujuk pada aksi-aksi kerja seni yang sifatnya partisipatoris. Claire Bishop dalam Artificial Hells: Participatory Art and The Politic of Spectatorship, 2012, sudah memberi penjelasan panjang terkait dengan bagaimana seni partisipatoris ini mendefinisikan kecenderungannya; yang pertama ialah mensyaratkan pelibatan publik, kedua meluruhkan dominasi seniman sebagai pencipta tunggal, membangun paradigma seni non-hierarkis, sekaligus membangun kembali ‘ikatan sosial’ masyarakat. Di wilayah ini kemudian platform awal pelaksanaan Proyek Seni Komunitas menemui bentuk aksinya. Namun Bishop juga mengingatkan bahwa banyak kerja seni partisipatoris yang semata-mata merangkul publik, namun kehilangan sisi politis dan daya provokasi. Karena melibatkan banyak orang, tak jarang menjadi abai dengan persoalan estetik-artistik dan kehilangan kekuatan untuk menarik perhatian media. Persoalan-persoalan politis yang melingkupi praktik seni itu sendiri pun sumir.

Sementara seni dan politik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, sebab ada dimensi estetika dalam politik dan dimensi politik dalam seni. Praktik artistik memainkan peran dalam pembentukan dan pemeliharaan tatanan simbolik tertentu, atau untuk menantang tatatan simbolik tersebut. Dan inilah kenapa kerja seni partisipatoris memiliki dimensi politik yang penting. Maka dalam Proyek Seni Komunitas ini isu sesungguhnya adalah memunculkan tawaran cara dan bentuk seni yang kritis berikut praktik artistik yang beragam, yang mengarah pada sikap mempertanyakan hegemoni yang dominan.

Memahami lebih mendalam gagasan Hacking Conflict! sebagai aras utama BJ XIII, kami melihat bahwa praktik kerja seni partisipatoris semata belumlah cukup untuk merujuk pada gagasan politis yang dimaksudkan. Mendasarkan pada gagasan Bishop, prinsip kerja partisipatoris memang mampu membawa kerja seni sebagai praktik sosial. Namun praktik kerja seni ini mempunyai wilayah rentan untuk terjebak dalam praktik nostalgia kerja komunal dan pretensi moralistik. Maka dalam hemat penulis, pandangan Bishop masih belum mencukupi untuk memahami alasan lebih besar di balik eksplorasi tersebut. Untuk mengisi lubang pemahaman praktik seni sebagai praktik sosial ini, kami menambahkan pandangan Chantal Mouffe yang dituangkan dalam artikelnya Artistic Activism and Agonistic Spaces, 2007.

Gagasan Mouffe berpijak dari pemahaman bahwa arena sosial merupakan situs untuk melakukan intervensi artistik. Ia berpandangan bahwa untuk memahami karakter politis dari beragam aktivitas seni tersebut kita harus melihatnya sebagai sebuah intervensi konter-hegemoni yang tujuannya untuk menguasai ruang publik dalam rangka melawan imaji dan ilusi yang ditanamkan secara halus oleh kekuatan kapitalis, dengan mengedepankan karakter represifnya. Ia menjelaskan bahwa,

Intervensi dalam ruang sosial diperlukan untuk merusak ruang imajinasi yang menumbuhkembangkan kapitalisme (baru), sekaligus sebagai bentuk oposisi terhadap sistem kapitalis yang dominan berikut gejala-gejala eksploitasi yang muncul. Dengan mengakui dimensi politiknya, intervensi seni semacam itu akan terlepas dari pemikiran bahwa aksi seni harus sepenuhnya lepas dari kekuasaan.” (Mouffe, 2008:1).

Dengan mengikuti pemahaman Mouffe di atas, seniman hari ini tidak bisa lagi berpura-pura menciptakan karya avant-garde yang menawarkan kritik radikal. Mereka masih bisa memainkan peran penting untuk melawan kuasa hegemoni dengan cara menumbangkan kekuasaan tersebut serta membentuk subjektivitas baru. Pada kenyataannya, hal itu memang sudah menjadi tugas mereka, namun kita justru percaya yang sebaliknya akibat ilusi-ilusi yang dihembuskan mengenai posisi istimewa seniman di masyarakat. Dan jika ilusi tersebut diabaikan, kita akan bisa melihat bagaimana praktik seni kritis sesungguhnya mewakili dimensi penting dari demokrasi politik. Meskipun demikian, sebagaimana dipercayai oleh banyak orang, proses transformasi tersebut tidak dapat diwujudkan sendiri untuk nantinya menciptakan dasar bagi pembentukan hegemoni baru. Lebih lanjut ia menyatakan dalam buku yang ditulis bersama suaminya, Ernesto Laclau yang berjudul Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics (2001), bahwa sebuah demokrasi politik yang radikal akan membutuhkan artikulasi dari berbagai tingkat perjuangan untuk menciptakan rantai keseimbangan diantara mereka. Agar ‘posisi perang’ tersebut bisa berhasil, maka hubungan dengan bentuk-bentuk intervensi politik tradisional seperti partai dan organisasi-organisasi lainnya tidak bisa dihindari. Dan pada akhirnya, akan menjadi satu anggapan yang salah ketika ada yang meyakini bahwa seniman aktivis dapat bergerak sendiri untuk mengakhiri hegemoni kuasa neo liberal!

Landasan inilah yang kemudian diharapkan bisa menggiring gagasan dan praktik kerja dalam Proyek Seni Komunitas ini, dimana setiap proyek seni yang ada di dalamnya mampu mengarah pada bentuk praktik intervensi artistik di ruang publik, yang berakar dari kritisisme atas ruang sosial kehidupan sehari-hari. Sehingga aksi-aksi seni dalam program PE tidak lagi semata-mata tentang ‘melibatkan publik’, atau gagasan-gagasan non-hierarkis, melainkan bagaimana memanggungkan timpangnya sistem sosial dengan melakukan kerja-kerja seni melalui mode partisipatif dan kritik sosial, apapun bentuknya.

Bertolak : Dari Sosialisasi Hingga Tawaran Gagasan dalam Proposal

Dalam tujuan mengomunikasikan wacana yang digagas BJXIII Hacking Conflict! – Pertemuan Indonesia dengan Nigeria, serangkaian sosialisasi program dilakukan oleh Tim Artistik beserta Tim Riset BJXIII ke beberapa kantong kesenian, institusi pendidikan, kampus seni dan umum. Sebagaimana yang digagas dari pertama kali penyelenggaraan Biennale Jogja Ekuator sebagai landasan praksis kerjanya, PE hadir untuk menyisir beragam pandangan dari para pelaku seni di Yogyakarta sekaligus dinamika seni yang berlangsung di kota Yogyakarta. Program ini hadir menjadi ruang dialog untuk setiap lontaran gagasan mereka atas Biennale sekaligus merangkul mereka untuk ambil bagian di dalamnya dengan menjadi peserta dalam program Parallel Event ini.

Selain komunitas seni, calon peserta program ini juga mengarah pada kelompok studi mahasiswa dan sivitas akademika. Keterlibatan kampus menjadi penting untuk membangun pemahaman bahwa seni bisa dilihat sebagai satu produksi pengetahuan yang tidak hanya ‘terpusat’ pada satu titik tertentu. Selain itu, hal ini penting sebagai sarana untuk membangun jejaring seni yang memiliki simpangan dengan produksi pengetahuan lainnya.

Dari serangkaian sosialisasi yang dilakukan, tim kurator PE BJ XIII menerima respon yang memuaskan dengan masuknya 27 proposal dari komunitas seni, mahasiswa, dan organisasi swadaya masyarakat. Untuk melihat pemahaman, keterkaitan tema, dan kedalaman isu yang diangkat, maka para pelamar tersebut diundang untuk melakukan presentasi di hadapan tim kurator dan tim riset BJXIII. Poin penting yang digarisbawahi sekaligus yang menjadi dasar penilaian adalah rasionalisasi rancangan kegiatan dan potensi pengembangannya ke bentuk intervensi seni di wilayah publik.

Tawaran Gagasan: Spektrum Tema dan Sebaran Isu

Sebaran tema dan gagasan dari para pelamar sebagai penerjemahan tema sangat beragam. Hal-hal tersebut muncul sesuai dengan identitas dan potensi yang mereka miliki. Adapun tema dan gagasan yang mengemuka pada PE BJXIII adalah sebagai berikut :

  1. Praktik seni publik sebagai media penyadaran atas identitas kampung serta bagaimana menciptakan sebuah ruang untuk rekonsiliasi konflik antara mahasiswa pendatang yang tinggal di asrama daerah dengan warga lokal.
  2. Isu sampah dan limbah dari kota yang merusak kawasan pertanian dan lahan produktif.
  3. Rancangan proyek seni sejarah perumahan sebagai upaya membangkitkan memori kultural masyarakat setempat.
  4. Gagasan untuk ‘merebut’ kawasan kota di sekitar hotel untuk dijadikan lahan pertanian kembali. Hal tersebut muncul sebagai respons atas hilangnya lahan produktif akibat pembangunan gedung untuk kepentingan usaha komersial dan lahan pertanian sebagai objek wisata.
  5. Membangkitkan memori masyarakat atas beragam konflik horizontal di kampung melalui penciptaan karya seni grafis dengan melibatkan masyarakat.
  6. Revitalisasi potensi kreatif masyarakat lokal dengan seni batik sebagai alternatif sumber ekonomi sebagai respon terhadap penambangan liar.
  7. Konservasi air bersih di kawasan Daerah Aliran Sungai Code ditengah ramainya isu lingkungan dan buruknya kualitas air tanah di kawasan kota.
  8. Festival kampung untuk mendekonstruksi cara berfikir kita tentang konflik di masyarakat dengan cara mengembalikan kampung sebagai ‘mimbar’ bagi setiap suara warga dan ruang resolusi konflik yang muncul di dalamnya.

Dari sebaran tema dan rancangan proyek seni yang akan dilakukan, dapat dikatakan bahwa seluruh peserta menggunakan pendekatan kerja seni partisipatoris sebagaimana rambu-rambu dari PE BJXIII ini. Berangkat dari hal tersebut, yang menjadi catatan adalah bagaimana proses kerja ini akan dilakukan serta potensi pengembangan yang mengarah pada praktik intervensi publik. Untuk itu meski kerja dan aksi partisipatoris yang akan dilakukan menggunakan pendekatan simbolik, namun interaksi sosial menjadi bagian penting yang tidak bisa dilewatkan dari tawaran tema ini. Dengan menekankan pada interaksi antara pelaku seni dengan masyarakat yang terlibat, maka karya seni yang dihasilkan tidaklah semata menjadi kerja simbolik namun juga tindakan simbolik. Tindakan simbolik adalah tindakan yang lebih menekankan aspek komunikasi, atau aktivitas seni dalam arti yang sebenarnya. Ringkasnya, interaksi sosial menempati bagian tengah dan tak terpisahkan dari setiap karya seni yang terlibat secara sosial, dimana dengan itu dapat dilihat model dan bentuk intervensi yang akan dimunculkan.

Maka disinilah urgensi riset dari komunitas-komunitas yang akan terlibat dalam PE, pun terhadap rekam jejak riset yang mereka lakukan, atau meminjam istilah Bishop – dokumentasi dari tindakan yang telah dilakukan untuk menunjukkan bagaimana ‘strukur’ kerja seni ini berlaku. Tak kalah pentingnya adalah pendalaman atas akar persoalan yang ingin digali dari partisipan yang ‘dilibatkan’ dalam pembuatan karya.

Setelah melihat sebaran tema dan rancangan proyek seni yang akan dilakukan, maka rumusan sementara yang menjadi garis praksis kerja Proyek Seni Komunitas – PE BJ XIII adalah sebagai berikut;

  1. Setiap peserta akan menciptakan ruang untuk menjalankan proses dan aktivitas kerja seni mereka. Ruang yang dimaksudkan bisa berarti ruang fisik ataupun aktivitas komunal yang mengintervensi ruang sosial publik.
  2. Karya yang diciptakan meliputi seluruh kerja seni yang akan dilakukan, mulai dari penelitian, perancangan model kerja dan pelaksanaan proses kreatif bersama dengan Praktiknya meliputi workshop kunjungan, pembuatan dokumentasi, hingga presentasi karya dalam wujud pameran. Karya mereka nantinya berupa segala hal atau setiap mekanisme yang memungkinkan proses eksplorasi kreatif dan refleksi ini dijalankan.
  3. Gagasan dan karya yang dilontarkan mempunyai daya politis yang mampu memprovokasi pemikiran dan menunjukkan model-model intervensi artistik di ruang sosial masyarakat sehari-hari.

Poin-poin di atas ini sekaligus menjadi acuan dalam penyusunan model pendampingan yang akan dilakukan oleh Tim Artistik dan Tim Riset BJ XIII pada peserta PE ketika proyek mereka dijalankan.

Bersanding : Membayangkan Pendampingan

Sesuai dengan rancangan awal program ini, setiap komunitas akan memulai proses kerjanya dengan merumuskan kembali isu dan visi dari kerja seni yang akan dilakukan bersama dengan tim kurator. Pendalaman materi dan penajaman isu akan dilaksanakan dengan serangkaian FGD dan workshop dengan beberapa praktisi seni yang banyak melakukan aksi seni berbasis komunitas. Dalam workshop ini nantinya akan dirumuskan serangkaian strategi pendekatan dan model intervensi artistik kepada publik. Kemudian setelah itu para peserta akan mulai menjalankan proyek seni di lokasi yang sudah dipilih. Setelah proses berjalan mereka akan melakukan presentasi awal (progres report) di kampung atau di kawasan yang sudah dipilih dengan menampilkan karya-karya yang sudah dibuat atau yang masih dalam proses (work in progress), dilanjutkan untuk presentasi terbuka di ruang akademis. Hal ini dilakukan selain untuk melihat jalannya proses, juga untuk evaluasi–evaluasi awal dari proyek seni yang sudah dilakukan. Selain itu juga untuk membangun dialog lintas disiplin pengetahuan, agar setiap kerja seni yang dilakukan tidak berhenti sebagai karya namun juga menawarkan wacana pemikiran baru. Setelah proses ini, hasil akhir seluruh rangkaian proses pelaksanaan proyek seni akan dipamerkan dalam satu ruang bersama untuk melihat bagaimana tema besar Biennale ini mampu diterjemahkan dalam beragam bentuk praktik kerja penciptaan seni.

Kerja seni berbasis komunitas, mode kerja partisipatoris, hingga strategi dan bentuk intervensi artistik kepada publik adalah rambu-rambu yang digunakan sebagai haluan dalam merancang penyelenggaran program Parallel Event BJ XIII kali ini. Intervensi artistik menjadi jangkar dari penerjemahan tema besar Hacking Conflict! Selayaknya yang digarisbawahi oleh Mouffe,

.. meski kekuatan artistik yang besar tak bisa dielakkan namun kerja kritis artistik secara individu tidak akan pernah bisa mengakhiri kapitalisme yang sudah berakar di masyarakat. Dibutuhkan kerja bersama yang mampu menggugah kesadaran kolektif di masyarakat bahwa perubahan adalah sebuah proyek besar yang niscaya tidak akan pernah selesai tanpa campur tangan mereka.”(Mouffe, 2007:5 )

Oleh karena itu, PE BJ XIII bukanlah sebuah proyek seni yang akan selesai pasca pertanggungjawaban karya di lingkungan masing-masing dilakukan. Lebih jauh lagi, kerja bersama ini justru menjadi inisiasi dari munculnya sebuah ‘jalan tengah’ bagi kerja seni: bahwa masyarakat juga punya suara dan ‘ruang’ besar yang harus dipertimbangkan bagi keberlangsungan seni kritis ini!

Program PE mengarahkan praktik kerja dengan mengambil lokasi kampung-kampung di Yogyakarta. Salah satu landasan pemikiran mengenai pemilihan kampung tersebut adalah karya Guinnes yang berjudul ‘Harmony and Hierarchy in A Javanese Kampung’. Ia menyatakan bahwa kampung di Yogyakarta pada tahun 1980-an merupakn perwujudan‘desa urban’yang menyimpan kekuatan sosial, yang mampu menjadi roda penggerak demokrasi, ekonomi, bahkan politik di akar rumput (Guinnes 1986:7). Hal tersebut ternyata masih sangat relevan dengan keadaan saat ini, di mana kampung merupakan satu pembeda situasi urban di kota-kota di Indonesia dengan negara lainnya.

Kampung adalah wadah bagi setiap individu untuk membangun toleransi terhadap perbedaan, menjadi sasana untuk berlatih menghadapi kejutan-kejutan sosial. Tawaran kerja yang dipilih dalam PE juga menyasar pada persoalan-persoalan yang menjadi sumbu konflik dalam pembangunan kota di Yogyakarta yang cenderung kapitalistik. Perebutan ruang publik, isu tanah dan air, konflik warga di tengah budaya perpindahan, budaya urban yang tentunya berbeda dengan budaya ‘desa urban’, dan beragam efek modernitas yang tidak diantisipasi oleh warga merupakan beberapa dari sedikit isu yang diharapkan bisa diatasi dengan kerja seni. Dalam hal ini, seni muncul sebagai ‘jalan tengah’ untuk menjembatani konflik dan tegangan yang muncul. Penyelesaian konflik tentunya tidak akan bisa hadir begitu saja, mengingat kerja seni bukanlah kerja instan. Meskipun demikian, output yang diharapkan hadir di tengah upaya menyandingkan konflik tersebut adalah penyadaran kepada warga bahwa ada hak yang harus diperjuangkan tanpa harus melawan dengan frontal. Karena upaya peretasan akan lebih berhasil ketika dilakukan secara diplomatis dengan bersama-sama.

Sumber :

Bishop, Claire. 2012. Artificial Hells: Participatory Art and The Politic of Spectatorship. Verso

Guinness, Patrick. 1986. Harmony and Hierarchy in A Javanese Kampung. Australia: Oxford University Press

Laclau, Ernesto, & Mouffe, Chantal. 2001. Hegemony and socialist strategy: Towards a radical democratic politics. Verso.

Mouffe, Chantal. 2007. “Artistic Activism and Agonistic Spaces”. Art & Research Vol.1 No.2 Summer2007

_________________ . 2008. Art and democracy: Art as agonistic intervention in public space. Open 14: Art as a public issue.

Pamflet Sosialisasi Program Parrallel Event Biennale Jogja XIII – Proyek Seni Komunitas, 2015

_____________________

Penulis: Hendra Himawan (Tim Artistik PE dan FE BJ XIII)