Oleh Muhammad Abe
Pius Sigit dan saya membayangkan para seniman peserta pameran utama Biennale Jogja XIV Equator #4 2017 nanti sebagai “tim nasional sepak bola Indonesia” yang akan akan bekerja sama dengan “tim nasional sepak bola Brasil” untuk bersama-sama menghadapi para pengunjung pameran. Memilih seniman-seniman yang “siap” bukan sesuatu yang mudah, maka kami memutuskan meminjam metode talent scouting yang biasa digunakan klub-klub sepak bola Eropa untuk mencari bibit-bibit atlet sepak bola terbaik. Bedanya adalah yang kami pelototi bukan lapangan sepak bola, atau keterampilan bermain sepak bola; yang kami pelototi adalah ruang-ruang seni tempat para seniman mempresentasikan keahlian mereka, baik dalam berkarya maupun dalam menggulirkan wacana. Sebagai ukuran utamanya, kami menentukan pameran tunggal sebagai ruang yang menunjukkan keahlian, kerja keras, bakat, dan jerih payah seorang perupa untuk mendapat tempat di dunia seni rupa Indonesia. Meskipun begitu, kami tidak membatasi bentuk pameran tunggal di galeri saja, melainkan juga bentuk-bentuk peristiwa seni lainnya seperti presentasi residensi, proyek eksprimentasi seni, atau penyelenggaraan festival.
Untuk mulai mengumpulkan nama-nama seniman Indonesia yang akan dilibatkan pada Pameran Utama Biennale Jogja 2017 nanti, pada awalnya kami hanya membuat daftar seniman yang berpameran tunggal di galeri/ruang seni di tiga kota (Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta) selama enam tahun terakhir (2011-2016). Saya memulai membuat daftar tersebut kira-kira pada awal September 2016 hingga akhir Oktober 2016. Bagaimana daftar tersebut dibuat, dan bagaimana kemudian dipergunakan sebagai metode seleksi seniman peserta Biennale XIV 2017 sedikit banyak akan saya paparkan dalam tulisan berikut.
Saya memulai dengan membuat daftar galeri dan ruang seni yang aktif berkegiatan dalam rentang tahun 2011-2017 di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Dari situ saya mendapatkan daftar kegiatan di galeri dan ruang seni tersebut, lalu saya mulai membuat daftar bertajuk kegiatan pameran tunggal di tiap tempat itu. Di masing-masing ruang, rata-rata hanya ada dua sampai empat pameran tunggal setiap tahunnya. Dari situ, didapatkanlan susunan daftar seniman yang berpameran tunggal di galeri atau ruang seni di ketiga kota tersebut.
Ketika daftar seniman mulai tersusun, saya mendapati beberapa nama di dalam daftar tersebut mempunyai tidak hanya berpameran tunggal di dalam negeri, melainkan juga di kota-kota di luar negeri. Ketika mulai menyusun daftar galeri dan ruang seni, saya juga mendapati beberapa galeri yang aktif dan banyak berkegiatan, tapi tidak berada di tiga kota yang pada awalnya dibayangkan Pius Sigit sebagai sentra kegiatan seni di Indonesia. Maka daftar seniman kemudian bertambah panjang. Tidak hanya di tiga kota, pencarian diperluas ke kota-kota lain seperti Semarang, Surabaya, dan Denpasar. Kami juga melacak kegiatan pameran dan peristiwa seni oleh perupa Indonesia di beberapa kota di luar negeri (beberapa kota yang sering muncul di daftar adalah Singapura, Seoul, Kuala Lumpur, dan Melbourne).
Kami juga membuat daftar lain yang berisi daftar seniman peserta Biennale Jogja selama tiga penyelenggaraan terakhir (Biennale Jogja #11 2011, Biennale Jogja #12 2013, Biennale #13 2015), seniman peserta Biennale Jakarta selama tiga penyelenggaraan terakhir (Biennale Jakarta 2011, Biennale Jakarta 2013, Biennale Jakarta 2015), dan seniman peserta Art Jog antara tahun 2011-2016. Daftar seniman peserta Biennale Jogja, Biennale Jakarta, dan Art Jog ini kami sebut sebagai “daftar bayangan” yang kami gunakan sebagai alat baca untuk melihat seberapa aktif si seniman dalam dunia seni rupa Indonesia. Kurang lebih polanya adalah: jika seorang seniman terdaftar melakukan pameran tunggal, dan terdaftar sebagai peserta Biennale Jakarta atau Biennale Jogja, serta terdaftar sebagai peserta Art Jog, maka ia termasuk seniman yang sangat aktif di kancah pergulatan seni rupa Indonesia. Meminjam istilah Pius Sigit, seniman yang aktif tersebut diibaratkan sebagai “mesin yang sudah panas” atau “siap tanding”, sehingga lebih mudah untuk diajak bekerja sama. Sebagai catatan di sini, keaktifan dalam berbagai event seni bukan satu-satunya indikator yang digunakan untuk menyeleksi seniman.
Kami juga menambahkan nama-nama seniman yang membuat peristiwa seni atau kegiatan di luar tajuk pameran tunggal ke dalam daftar. Peristiwa seni seperti penyelenggaraan festival bersama komunitas, pameran hasil residensi, pameran proyek eksperimentasi seni, hingga seniman grafiti/street art yang memamerkan karyanya di dinding-dinding kota pun kami masukkan ke dalam daftar.
Pada pertengahan bulan November (molor sebulan dari rencana semula), daftar tersebut rampung dikerjakan. Pada akhirnya, tercantum kurang lebih 900 nama seniman; 55% dari daftar yang kami buat berasal dari kegiatan pameran/presentasi/peristiwa seni di Yogyakarta, 30% dari kota-kota lain di Indonesia, dan 15% sisanya dari kota-kota di luar Indonesia.
Daftar panjang tersebut kami ciutkan pertama kali dengan menandai seniman-seniman yang sudah berpartisipasi pada tiga rangkaian Biennale Jogja sebelumnya. Alasannya, Biennale Jogja menghindari menampilkan seniman yang “itu-itu saja.” Penciutan kedua adalah dengan menandai seniman yang berusia di bawah 27 tahun (pada tahun 2016) dan di atas 45 tahun (pada tahun 2016). Pembatasan usia ini mengikuti pendapat Pius Sigit, yaitu jika seorang seniman berusia di bawah 27 tahun, masih belum teruji kontinuitasnya dalam berkarya; sedangkan apabila seorang seniman masih bertahan kariernya setelah usia 45 tahun maka kemungkinan besar ia telah mendapatkan pengakuan yang luas di tingkat lokal maupun internasional, sehingga ia tidak lagi membutuhkan pengakuan dari pameran setingkat Biennale Jogja. Dua preferensi tersebut menciutkan daftar panjang yang kami buat menjadi sekitar 20% saja, jadi kurang lebih ada 180 nama yang tersisa.
Daftar yang sudah ciut tersebut kami pelajari lagi untuk menentukan preferensi pemilihan seniman. Setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya kami mengutamakan seniman yang berpameran tunggal atau menciptakan peristiwa seni pada rentang tahun 2014 hingga 2016, dengan catatan bahwa 180 nama tersebut punya kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai seniman peserta pameran utama Biennale Jogja XIV 2017. Kami mendapatkan 40-an nama seniman yang memenuhi tiga preferensi di atas.
Pada saat mencapai daftar 40 nama inilah, Pius Sigit dan Dodo Hartoko, Direktur Biennale Jogja, mengundang beberapa kawan lain yang dimintai bantuan. Kami bersama-sama mulai membuka karya-karya yang dihasilkan oleh seniman yang masuk dalam daftar tersebut. 40 nama itu sebagian besar berasal dari Yogyakarta dan Bandung, sedangkan kota-kota lain seperti Jakarta, Semarang, Malang, Denpasar, Solo menyumbangkan beberapa nama. Daftar 40 nama tersebut terdiri dari seniman dan kolektif seni dari berbagai ragam disiplin, dengan jumlah seniman dari masing-masing rentang usia—muda (27-33), pertengahan (34-39), dan senior (40-45)—yang juga seimbang. Kali ini, persentase nama seniman perempuan agak kecil, karena banyak nama seniman perempuan terdapat pada daftar panjang yang telah muncul pada rangkaian Biennale Jogja sebelumnya.
Untuk memperdalam preferensi terakhir yang digunakan dalam memilih seniman peserta pameran utama Biennale Jogja XIV 2017, kami mendatangi mereka di studio atau rumah masing-masing dan mewawancarai mereka. Pius Sigit dan Dodo Hartoko berkeliling mengunjungi para calon peserta ini selama bulan Desember 2016 hingga akhir Januari 2017. Dari hasil wawancara tersebut didapatkan 27 nama seniman yang dipastikan berpartisipasi dalam Biennale Jogja XIV 2017. Proses terakhir ini sebenarnya agak njlimet (rumit). 60% nama dari daftar 40 terpilih sebagai seniman peserta pameran utama, sisanya diambil dari daftar 180. Keluar masuknya nama ini ibarat membangun tim sepak bola yang solid dan kuat. Pius Sigit menginginkan para seniman peserta pameran utama Biennale Jogja dapat saling bekerja sama dengan baik. Seperti halnya tim sepak bola, maka ke-27 seniman itu posisinya harus seimbang antara pemain belakang, tengah, dan depan. Maka, nama-nama seniman yang masuk terakhir adalah mereka yang dianggap bisa memperkuat komposisi seniman yang sudah dipastikan terpilih. Ke-28 nama inilah yang nanti akan diajak oleh Pius Sigit untuk membangun tema dan gagasan Biennale Jogja 2017.
Seniman-seniman yang terpilih tersebut, mengulangi apa yang sudah disebutkan di atas, adalah “mesin-mesin yang sudah panas” dan siap memanaskan Biennale Jogja XIV 2017 nanti. Barangkali “mesin-mesin” itu bukan yang terbaik atau yang termahal, namun setidaknya data kegiatan mereka menunjukkan bahwa mereka adalah yang layak mendapat tempat dan dapat dipertanggungjawabkan.