Site Loader
Biennale Jogja 17 2023

Biennale Jogja 17 2023
6 Oktober – 25 November 2023
Pada berbagai tempat di Yogyakarta


Kami dengan bangga memperkenalkan Anda pada tema Biennale Jogja berikutnya, “Translokalitas dan Transhistorisitas” yang akan mewujudkan semangat berkelanjutan kami dalam membawa percakapan pada lintasan lokalitas dan konteks sejarah yang berbeda.

Gagasan translokalitas dan transhistorisitas digunakan untuk memberi ruang bagi sejarah lain yang memiliki semangat yang sama dari wilayah mana pun di luar Global Selatan. Penyelenggaraan Biennale Jogja Equator Putaran Pertama menunjukkan kepada kita pentingnya menjaga kepercayaan dan kearifan lokal, keahlian yang dibangun di atas falsafah alam dan kehidupan, serta kedaulatan masyarakat adat. Berbagai prinsip hidup dapat kita pelajari dari masyarakat Global Selatan yang relatif komunal dan menghayati spiritualitas tertentu yang merepresentasikan keintiman mereka dengan alam. Dengan konsep translokalitas, BJE berupaya menghubungkan pengetahuan di satu lokalitas dengan lokalitas lainnya, sistem seni budaya berdasarkan situasi adat tertentu, dan artikulasi pengetahuan yang berakar pada bahasa lokal. Kami bermimpi untuk menyatukan seniman, komunitas, dan ilmuwan lokal dari seluruh dunia, membangun platform untuk pertemuan atau pertukaran pengetahuan melalui pengalaman seni dan budaya.

Sedangkan gagasan transhistorisitas mengacu pada perjalanan sejarah yang menginspirasi gerakan sipil seperti Biennale Jogja untuk berkontribusi pada perubahan konstelasi kekuasaan dalam dunia seni rupa. Babak Pertama BJE terinspirasi dari gerakan Konferensi Asia Afrika (KAA), yang kemudian bermanifestasi menjadi Bandung Spirit. Momen tersebut kami anggap sebagai keberhasilan Indonesia dalam menggagas pertemuan negara-negara yang baru merdeka di kawasan Asia-Afrika. Idenya melangkah lebih jauh dengan mewariskan warisan pemikiran yang tak ternilai, yang bergema di seluruh Eropa dan Amerika. Pasca KAA, gerakan tersebut berkembang menjadi formasi Gerakan Non Blok.

Titen: Pengetahuan Menubuh, Pijakan Berubah” adalah judul yang dipilih untuk mencerminkan gerakan yang beragam, tetapi saling beririsan dengan praktik yang tumbuh di kawasan Global Selatan dan relasi historis pada lintasan Selatan ke Selatan. Dipinjam dari bahasa Jawa, tempat desa-desa di mana pameran ini diselenggarakan, kata titen dipilih untuk mendekatkan peristiwa seni ini dengan masyarakat setempat. Titen atau niteni dalam bahasa Jawa (ilmu titen), secara kepercayaan bersama, diartikan sebagai kemampuan atau kepekaan membaca tanda-tanda dari alam. Ilmu titen biasanya digunakan untuk membaca fenomena alam sebelum terjadi bencana, atau untuk memutuskan suatu tindakan yang diperlukan untuk merespons dan mengantisipasi gejala alam

Pemilihan kata ini menggarisbawahi kerangka kuratorial yang berangkat dari dekolonisasi produksi pengetahuan, yang belakangan ini menjadi bentuk perlawanan terhadap metodologi Barat yang dominan. Pada saat yang sama, judul ini juga menegaskan keberpihakan kuratorial pada metode yang berangkat dari kehidupan yang melibatkan manusia-bukan manusia serta lingkungan alam yang luas.

Menggunakan Bahasa lokal (Bahasa Jawa) untuk menandai sebuah peristiwa seni transnasional juga menjadisebuah strategi untuk mendekat pada entitas yang menjadi subjek dalam peristiwa tersebut. Identitas Bahasa sendiri merupakan bagian dari narasi pengetahuan yang kompleks, yang juga menjadi pijakan arah baru bagi penyelenggaraan Biennale Jogja 17 2023, yang secara tegas menunjukkan pergeseran visi estetik dan ideologis dengan pilihan untuk secara langsung memasuki ruang kehidupan desa dan membangun praktik sosial artistik bersama warga.

“Seri baru Biennale Jogja dalam bingkai trans-lokalitas dan trans-historisitas ini mencoba membangun dialog dengan Kawasan Eropa Timur dan menjelajah wilayah pinggiran lain dimana solidaritas dan pengetahuan baru dibangun, dilegitimasi dan ditumbuhkan. Membangun percakapan dengan konteks pinggiran-pinggiran yang lain, dan bagaimana konsep diri sebagai pinggiran yang menubuh, mengungkap politiklokasi dari tempat seseorang mengartikulasikan dirinya maupun dari tempat iabicara, menjadi landasan yang potensial untuk produksi pengetahuan baru, narasi baru, atau bentuk-bentuk tata kelola dan organisasi mandiri. Seniman, arsitek, peneliti, atau pekerja budaya diundang dalam edisi ini untuk hidup dan bekerja melintasi ruang, dari Rumania hingga Turki, Serbia, Moldova, Slovakia, sampai Hungaria dan Ukraina untuk melakukan residensi, atau menampilkan karyayang menunjukkan kontribusi dalam berhadapan dengan isu-isu ini.“ (Adeline Luft)

“Kami berupaya membaca arsip dari gerakan perempuan, queer, seniman, aktivis dan aktor-aktor sosial lainnya juga kesadaran untuk membahasdesa sebagai unit spesifik yang di dalamnya berkelindan partisipasi warga aktifsebagai bagian dari komunitas kultural maupun birokratis. Saya membayangkan BJ tahun ini, dengan konteks urbannya, bahkan di tempat-tempat yang disebut ‘desa’ bisa jadi sebuah ‘jeda’ yang mempertemukan seluruh sekrup dari medan produksi seni dan budaya dan membentangkan suatu spektrum translokalitas dengan konteksnya yang beragam, untuk saling belajar,terhubung, berbagi, membangun solidaritas lintas batas yang bisa saja berevolusi menjadi sebuah gerakan sosial yang kembali saling menopang dan menguatkan sekrup-sekrup ini dalam medan seni budaya yang terbayang secara kolektif.” (Eka Putra Nggalu)

“Pengetahuan masa depan harus mengacu pada kehidupan masyarakat adat, yang terbentang dari cerita asal-usul tentang kepedulian, kekerabatan, roh, berbagi sumber daya, spiritualitas dan praktik pengetahuan berbasis alam, dan sebagainya. Praktik kuratorial kami dalam Biennale Jogja 17 ini akan mengakui bagaimana identitas lokal dan praktik penciptaan objek sebagai praksis dekolonial yang menjalin realitas baru yang terkonstruksi dari migrasi, mobilitas, resistensi, urbanisasi, dan displacement. Bekerja denganseniman dan komunitas lokal dari berbagai latar belakang telah membuat kamisecara kolaboratif membayangkan pendekatan pluralis non-fundamentalis, non-monolitik, dalam aktivisme budaya kami untuk merebut kembali ingatan danidentitas.” (Hitman Gurung dan Sheelasha Rajbhandhari)


Biennale akan menghadirkan sekitar 70 seniman dengan berbagai pendekatan dan latar belakang budaya, dengan penekanan pada koneksi ke konteks lokal dan kolaborasi dengan masyarakat. Para seniman, arsitek, peneliti, dan produser budaya yang diundang dalam edisi ini secara langsung dan bekerja di berbagai tempat, dari Rumania hingga Turki, Serbia, Slovenia, Bosnia dan Herzegovina, Moldova, Slovakia, hingga Hongaria dan Ukraina, dan Nepal, Pakistan, India, Sri Lanka. Beberapa dari mereka akan menjalani residensi, yang lain akan mewakili kontribusi penting dalam membuka dialog trans-lokal dan trans-historis.

Linimasa untuk minggu pembukaan Biennale Jogja 17 2023:
Rabu, 4 Okt 2023 : Preview Media dan VVIP di Taman Budaya Yogyakarta
Kamis, 5 Okt 2023 : Gala Dinner Media, VVIP, dan VIP di The Ratan
Jumat, 6 Okt 2023 : Grand Opening di Kampoeng Mataraman
Sabtu, 7 Okt 2023 : Pembukaan di Desa Bangunjiwo dan Curatorial Talks
Minggu, 8 Okt 2023 : Biennale Forum Hari ke-1
Senin, 9 Okt 2023 : Biennale Forum Hari ke-2

 

Sampai jumpa di bulan Oktober!