Kami sangat berterima kasih atas dukungan yang besar untuk tahun 2022 yang indah ini, yang membawa kami ke masa depan dan arah baru untuk Biennale Jogja Equator. Kepercayaan dan kolaborasi dengan berbagai mitra, seniman dan komunitas serta kurator, kritikus, media dan banyak lainnya, tahun ini kami memiliki program yang dinamis dan menarik yang telah memperluas visi dan kesempatan untuk belajar bersama.
Asana Bina Seni 2022: Silang Saling
Asana Bina Seni adalah kelas seni bagi seniman, kurator, penulis, dan peneliti muda yang lahir dari kebutuhan untuk membahas visi Biennale Jogja kepada generasi muda. Semangat Biennale Jogja sangat penting untuk ditanamkan kepada generasi seniman, sastrawan, atau kurator berikutnya agar dapat mewujudkan ekosistem global yang lebih berkeadilan.
Dekolonisasi mengilhami setiap aspek dari peristiwa ini. Selain dekolonisasi, penelitian, medium, dan materialitas dalam seni; peningkatan konsep penciptaan; dan seterusnya akan dimanfaatkan untuk menelaah secara kritis sejarah seni rupa dan menempatkan seniman dalam dunia seni rupa yang kompleks. Para peserta mempelajari teori dan pemikiran yang muncul dari konteks global selatan, bukan kanon seni Barat, yang sering dirujuk dalam sejarah seni. Selain membaca ulang praktik kuratorial di Asia, Afrika, dan kawasan selatan dunia lainnya, seni dan praktiknya di lokasi-lokasi tersebut juga akan dibaca.
Selama kelas, para seniman dan pekerja seni telah membangun jaringan antar generasi, mempertimbangkan kembali praktik mereka, dan menciptakan visi jangka panjang untuk pekerjaan mereka di masa depan. Untuk presentasi terakhir, para seniman menyelenggarakan pameran berjudul “Silang Saling: Titian dan Undakan” di mana mereka membawa proyek mereka yang sedang berlangsung untuk dibagikan kepada khalayak yang lebih luas. Pameran ini diselenggarakan 8-18 Juli 2022, di Taman Budaya Yogyakarta. Dihadiri dengan baik oleh 8.000 pengunjung selama 10 hari pameran, terlibat dengan banyak kegiatan sehari-hari seperti lokakarya, diskusi, tur kuratorial dan lain-lain.
Simposium Khatulistiwa 2022: Kuat Akar Kuat Tanah
Simposium Khatulistiwa 2022 menjadi vital dalam menandai pergeseran konsep dan tema kerja Biennale Jogja beberapa tahun ke depan. Simposium ini akan memfasilitasi refleksi putaran pertama Biennale Jogja Equator seri (2011–2021) yang akan menjadi bahan diskusi awal putaran kedua seri tersebut. Rangkaian selanjutnya akan dimulai pada tahun 2023. Selain itu, simposium ini dapat menjadi jembatan yang akan menghubungkan wacana yang dibahas di Khatulistiwa I dan Khatulistiwa II.
Simposium Khatulistiwa juga signifikan dalam menghadapi wacana arus utama yang dihasilkan di antara para sarjana dari akademisi dan dari para aktivis untuk menciptakan kolaborasi antara keduanya di masa depan.
Simposium Khatulistiwa 2022 bertajuk “Kuat Akar Kuat Tanah” ini sukses digelar selama dua hari, 28-29 Oktober sebagai pertemuan offline dan berlanjut hingga 28-29 November sebagai acara online. Dua pembicara utama termasuk Jeebesh Baghchi dari Raqs Media Collective, India dan Baan Noorg Arts Collaborative dari Thailand. Dalam serial online tersebut kami juga mengundang Hoor Al Qassimi dari Sharjah Biennale, Ade Darmawan dari ruangrupa serta Tintin Wulia dan Melati Suryodarmo dari Indonesia.
Sebagai ruang pertukaran ide dan pemikiran, Simposium Khatulistiwa berupaya menjaga ruang inklusif agar tidak menjadi menara gading. Dengan berkolaborasi dengan berbagai kalangan intelektual, seniman, aktivis dan lainnya, diharapkan peserta simposium dapat berpartisipasi aktif dalam diskusi dan menawarkan berbagai perspektif sesuai dengan latar belakang masing-masing.
Presentasi Arsip: Film Dokumenter dan Diskusi Sepuluh Tahun Biennale Jogja
Sepanjang tahun 2022, Biennale Jogja mengadakan rangkaian diskusi untuk berbagi pengalaman penyelenggaraan seri Equator ke beberapa kota dari Bali, Bandung, Lampung, dan Semarang. Diskusi-diskusi tersebut penting untuk membawa wacana Biennale tidak hanya ke kota-kota besar atau terpusat, tetapi juga kota-kota yang kerap tersingkir dari peta seni rupa kontemporer di Indonesia. Kami bekerja dengan universitas, ruang seni, komunitas, dan banyak lainnya.
Kami membagikan cerita kami—mulai dari kesuksesan hingga kegagalan—dan membuat catatan dari sudut pandang audiens yang berbeda untuk disertakan dalam pengembangan program kami selanjutnya. Diskusi juga mencakup pemutaran dua film dokumenter yang kami produksi dari arsip audio visual Biennale.
Penerbitan: Sepuluh Tahun Khatulistiwa dan Karya Tulis dari Simposium Khatulistiwa
Di tahun 2022, kami mengumpulkan beberapa penulis muda dari kelas Asana Bina Seni untuk terlibat dalam publikasi kami. Salah satu proyek penerbitan terpenting adalah buku Sepuluh Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa, yang mengumpulkan berbagai arsip dan dokumentasi, dengan kontribusi berbagai akademisi dan peneliti.
Kami juga menerbitkan kumpulan makalah dari Simposium Khatulistiwa yang mencakup 20 artikel dari presentasi peserta, membawa berbagai isu gender, sejarah dekolonisasi, seni dan aktivisme dan lain-lain.
Seniman Khatulistiwa dalam Program Residensi
Tahun ini kami juga mengadakan program residensi untuk menghubungkan berbagai seniman dan komunitas seni di seluruh nusantara, dari Lampung bagian Barat hingga Tidore di Maluku Utara. Seniman didorong untuk belajar dari konteks budaya dan sejarah yang berbeda, terlibat dengan masyarakat dan mendokumentasikan pengetahuan lokal bersama mereka. Enam seniman dari berbagai latar belakang terlibat dalam program residensi ini dan beberapa di antaranya akan dihadirkan dalam Biennale Jogja 2023.
Memperkenalkan: Biennale Jogja Ekuator #2: Translokalitas dan Transhistorisitas: Oktober 2023
Kami dengan bangga memperkenalkan Anda pada tema Biennale Jogja berikutnya, “Translokalitas dan Transhistorisitas” yang akan mewujudkan semangat berkelanjutan kami dalam membawa percakapan pada lintasan lokalitas dan konteks sejarah yang berbeda.
Gagasan translokalitas dan transhistorisitas digunakan untuk memberi ruang bagi sejarah lain yang memiliki semangat yang sama dari wilayah mana pun di luar Global Selatan. Penyelenggaraan BJE Putaran Pertama menunjukkan kepada kita pentingnya menjaga kepercayaan dan kearifan lokal, keahlian yang dibangun di atas falsafah alam dan kehidupan, serta kedaulatan masyarakat adat. Berbagai prinsip hidup dapat kita pelajari dari masyarakat Global Selatan yang relatif komunal dan menghayati spiritualitas tertentu yang merepresentasikan keintiman mereka dengan alam. Dengan konsep translokalitas, BJE berupaya menghubungkan pengetahuan di satu lokalitas dengan lokalitas lainnya, sistem seni budaya berdasarkan situasi adat tertentu, dan artikulasi pengetahuan yang berakar pada bahasa lokal. Kami bermimpi untuk menyatukan seniman, komunitas, dan ilmuwan lokal dari seluruh dunia, membangun platform untuk pertemuan atau pertukaran pengetahuan melalui pengalaman seni dan budaya.
Sedangkan gagasan transhistorisitas mengacu pada perjalanan sejarah yang menginspirasi gerakan sipil seperti Biennale Jogja untuk berkontribusi pada perubahan konstelasi kekuasaan dalam dunia seni rupa. Babak Pertama BJE terinspirasi dari gerakan Konferensi Asia Afrika (KAA), yang kemudian bermanifestasi menjadi Bandung Spirit. Momen tersebut kami anggap sebagai keberhasilan Indonesia dalam menggagas pertemuan negara-negara yang baru merdeka di kawasan Asia-Afrika. Idenya melangkah lebih jauh dengan mewariskan warisan pemikiran yang tak ternilai, yang bergema di seluruh Eropa dan Amerika. Pasca KAA, gerakan tersebut berkembang menjadi formasi Gerakan Non Blok. Presiden Yugoslavia saat itu, Joseph Broz Tito, mengambil bagian dalam inisiatif Eropa untuk membentuk aliansi yang tidak berpihak pada dua negara adidaya (AS dan Uni Soviet). Kami percaya bahwa garis waktu sejarah adalah batu loncatan fundamental untuk melestarikan semangat dekolonisasi yang mendasari upaya kami. Itu juga menuntun kita dalam memajukan upaya masa lalu untuk membentuk kemungkinan masa depan.
Menantikan kolaborasi tahun depan dengan kalian semua, dan sampai jumpa lagi di Biennale Jogja XVII Khatulistiwa Kedua, 2023!
Selamat Tahun Baru dan semoga Anda banyak sukacita dan kebahagiaan.
Salam
Alia Swastika
Yayasan Biennale Yogyakarta
Direktur