
Udeido Collective (Jayapura)
Udeido Collective merupakan sebuah ruang yang dibentuk untuk mendorong upaya seniman-seniman muda Papua dalam mengeksplorasi berbagai fenomena sosial dan humaniora yang terjadi di Papua, dan mengemasnya dalam bentuk seni visual. Udeido diambil dari nama daun yang biasa digunakan masyarakat Mee untuk menutupi luka agar segera sembuh. Oleh karena itu, nama Udeido dipilih dengan tujuan agar para seniman dapat menutup luka-luka yang selama ini dialami masyarakat Papua. Dibentuk pada pertengahan 2018 di Yogyakarta, anggota Udeido Collective tersebar di kota-kota di Papua seperti Jayapura, Wamena, Timika, Fak-Fak, Nabire, serta beberapa yang sedang menimba ilmu di pulau Jawa.
Udeido Collective menempatkan pembacaan Papua sebagai semangat utamanya dalam berkarya: bagaimana membaca Papua, baik dari dalam maupun dari luar, atau bagaimana menempatkan diskursus Papua, baik dalam peta regional maupun global. Dalam praktiknya, Udeido Collective menggali kembali konsep-konsep lama dalam tradisi berbagai suku di Papua yang mencakup falsafah, nyanyi-nyanyian, cerita rakyat, legenda, dan melihat relevansinya untuk membaca zaman ini. Bagi Udeido, bentuk-bentuk kebudayaan tradisi ini penting untuk menunjukkan produksi pengetahuan lokal yang selama ini tergeser karena pemaksaan identitas nasional Indonesia yang belum tentu sesuai dalam konteks Papua.
Beberapa pameran seni gelaran Udeido Collective, antara lain Mairi, Sangkring Art Space, Yogyakarta (2019); Tonawi Mana, udeido.com (daring, 2020); dan Sa Pu Kisah, sapukisah.asia-ajar.org (daring, 2021), yang digagas bersama dengan Asia Justice and Rights (AJAR).
“Koreri Projection” (2021)
Instalasi media campuran
Ukuran bervariabel
Koreri Projection, karya Udeido Collective mencoba menghadirkan gambaran perjalanan entitas manusia-manusia Papua menuju Koreri, suatu ruang dimana jiwa-jiwa itu hidup dalam kedamaian setelah melewati dimensi material dan segala ironinya. Jejak mereka tertinggal pada ruang-ruang hidup yang tergusur, tanah-tanah adat yang direbut, suara-suara yang dibungkam, serta ingatan kolektif akan kekerasan dan penindasan manusia oleh manusia.
Betty Adii, Nelson Natkime, Costantinus Raharusun, Yanto Gombo, Dicky Takndare, dan Michael Yan Devis dengan karya-karya mereka mencoba membangun sebuah proyeksi perjalanan fisik dan spiritual itu, dari puing-puing reruntuhan Tanah Papua yang diobrak-abrik, hingga memasuki Koreri yang abadi.