Kuratorial

PASANG NAIK, LAUT YANG SAMA

Elia Nurvista dan Ayos Purwoaji

 

Manusia yang Berpindah, yang Mengakar, dan Tegangan di Antaranya

Orang-orang Jawa mulai mendarat di Kaledonia Baru tepat 125 tahun yang lalu. Gelombang migrasi itu ditandai dengan perjalanan kapal uap Saint-Louis, yang membawa ratusan kuli kontrak Jawa, dari Batavia ke Nouméa pada tahun 1896. Di pulau koloni Perancis itulah mereka kemudian dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, buruh di perkebunan kopi, atau pekerja kasar di tambang nikel. Sejak saat itu, trayek Jawa ke Noumea pun menjadi cukup sibuk. Kapal-kapal uap hilir mudik mengangkut para pekerja. Hingga tahun 1948, tercatat sebanyak 19.590 kuli kontrak Jawa diberangkatkan ke Kaledonia Baru. Sebagian besar dari mereka pada akhirnya memang kembali ke Jawa setelah kontrak kerja berakhir. Namun, sebagian sisanya memilih menetap dan berketurunan di sana.

Pada sensus penduduk 2014, tercatat sekitar 4.000 jiwa atau sekitar 1.43% penduduk Kaledonia Baru merupakan etnis keturunan Jawa berkewarganegaraan Prancis. Komunitas diaspora Jawa ini masih menjaga ingatan kolektif dengan terus melanjutkan “tradisi” yang diturunkan dari nenek moyang mereka, sebagaimana juga penduduk keturunan Jawa yang ada di Suriname yang masih terus mempraktikkan religi Jawa (kejawen) hingga saat ini.1Allen, P. (2013). Diasporic representations of the home culture: case studies from Suriname and New Caledonia. Asian Ethnicity, 16(3), 353–370. Penerusan “tradisi” menjadi salah satu kunci yang mempertautkan keberadaan dan identitas dengan Jawa yang mereka anggap sebagai akar. 

Penemuan kartografi, sejarah kolonialisme Eropa, perkembangan alat transportasi, dan pertumbuhan gagasan mengenai globalisasi menyebabkan terjadinya diaspora masyarakat adat di seluruh dunia. Perpindahan fisik serta dunia yang semakin kosmopolit membuat banyak komunitas diaspora tercerabut dari tanah asalnya. Di tanah yang baru, mereka pun lantas merombak ulang tata kehidupan yang sebelumnya dikenal dengan cara membentuk kebudayaan campuran melalui proses negosiasi dan asimilasi—secara halus maupun yang disertai dengan kekerasan—selama beberapa generasi. Dalam kondisi yang sedemikian hibrid, bagaimana warga diaspora di seluruh dunia mendefinisikan akar identitas mereka? Bagaimana pula mereka memandang konsep “nasionalisme” yang mendasarkan kesatuan sebuah komunitas dalam kerangka negara bangsa?  

Lebih jauh, kami memahami bahwa perpindahan maupun migrasi tidaklah selalu suatu pilihan atau kondisi yang netral bagi semua orang. Seperti halnya orang-orang Jawa yang bermigrasi ke Kaledonia Baru maupun negara koloni lain sebagai kuli kontrak, hingga fenomena buruh migran dari NTT, Kiribati, serta wilayah Oseania lain. Perpindahan mereka umumnya didorong oleh kekuatan ekonomi demi kepentingan penguasa, baik sejak masa kolonial hingga negara modern saat ini. Proses migrasi yang terjadi pada wilayah dan negara-negara bekas jajahan seringkali disebabkan dan disertai dengan kekerasan. Begitu pula penempatan (settlement) atau relokasi yang terjadi di wilayah tujuan hampir selalu menimbulkan berbagai tegangan, karena tempat-tempat tersebut dianggap wilayah tak bertuan yang dapat seenaknya ditinggali para pendatang.