Proses pemindahan (displacement) semacam ini sudah terjadi sejak lama, misalnya pembuangan para tahanan Inggris ke Australia yang kemudian menduduki tanah-tanah penduduk asli, hingga program transmigrasi di Indonesia yang memindahkan sebagian penduduk dari Pulau Jawa dan Madura ke Pulau Sumatera, Kalimantan, atau Papua yang kemudian mewariskan berbagai tegangan atas tanah dan identitas hingga kini.1Program transmigrasi dimulai sejak masa penjajahan Belanda pada tahun 1905. Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia melanjutkan program ini secara masif dan mencapai puncaknya pada 1979 hingga 1984. Lihat MacAndrews, Colin. “Transmigration in Indonesia: Prospects and Problems.” Asian Survey 18, no. 5 (1978): 458–72. Berbagai spektrum persoalan muncul diantaranya soal kelompok diaspora yang perlu mengekspresikan identitas mereka sebagai cara mengakar, hingga yang lebih pelik lagi bagaimana proses perpindahan ini juga berkontribusi pada genosida budaya bagi masyarakat yang tinggal di tanah yang diduduki. Dalam beberapa kasus hal ini turut mengubah berbagai ekspresi budaya, bahasa, pangan, ritual, hingga perilaku berpolitik.
Kami berusaha menangkap beragam persoalan yang berakar dari fenomena perpindahan (migration) maupun pemindahan (displacement) yang didorong oleh kapitalisme, sejak masa imperialisme kolonial hingga hari ini. Perkara-perkara tersebut menjadi sesuatu yang mendesak untuk dibicarakan karena banyak terjadi di Indonesia maupun Oseania. Salah satunya adalah fenomena remitansi dari para pekerja migran, yang menjadi sangat signifikan untuk mendukung ekonomi di kedua wilayah tersebut. Hal ini menunjukan migrasi merupakan hal yang lazim terjadi hingga saat ini, meskipun berbagai modus perpindahan penduduk di dua kawasan tersebut sudah banyak terjadi sejak masa silam. Untuk merespon fenomena tersebut kami mengajukan judul “Roots < > Routes” yang berusaha membentangkan spektrum persoalan antara akar budaya dan mobilitas, seperti perihal masyarakat adat atau kepribumian (indigeneity) dengan rasialisme; batas-batas teritorial (territorial borders) dengan diaspora; mitologi dengan modernitas; ekstraksi sumberdaya alam dengan krisis ekologi; hingga ideologi pembangunan yang menggerus pengetahuan tempatan dan kaitannya dengan batas-batas pertumbuhan (the limit of growth).
Konsep mengenai “roots and routes” sendiri telah lama dikaji dalam berbagai studi antropologi dan sosiologi untuk mendiskusikan bagaimana keterikatan atau ketercerabutan antara manusia dengan lokasi geografis memiliki arti penting dalam pembentukan sebuah kebudayaan.2Gustafson, P. (2001). Roots and Routes: Exploring the Relationship between Place Attachment and Mobility. Environment and Behavior, 33(5), 667–686. Lihat juga Clifford, J. (2001). Indigenous Articulations. The Contemporary Pacific, 13(2), 468–490. Begitu pula dengan praktik mengakar yang diartikulasikan kembali oleh komunitas-komunitas diaspora di berbagai penjuru dunia. Dalam kasus spesifik masyarakat kepulauan di Oseania, bagaimana kemudian bentuk tegangan atau negosiasi antara resistensi dan adaptasi terhadap budaya baru merupakan strategi untuk bertahan serta mendefinisikan ulang akar mereka di tengah dunia yang semakin terhubung dan kosmopolit. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari berbagai isu yang melatarbelakanginya seperti marginalisasi, ketimpangan ekonomi, serta krisis ekologi. Melalui judul “Roots < > Routes” kami berharap Biennale Jogja XVI menjadi wadah untuk saling belajar dan mendengar pada suara-suara yang beragam, menemukan jalur-jalur alternatif di luar peta yang sudah dibuat dan mengartikulasikan kehidupan kita yang kian mengglobal dan universal, namun kesejahteraanya tidak homogen.
Karya-karya yang ditampilkan dalam ruang pameran utama memiliki semangat yang sejalan dan saling melengkapi, sehingga pameran ini bisa dibaca secara utuh sebagai sebuah pernyataan bersama dalam memandang berbagai isu sosial dan politik kontemporer yang merentang dari kepulauan di Indonesia bagian timur hingga kawasan Oseania. Pada bagian fasad gedung Jogja National Museum, kami menampilkan sebuah mural karya seniman Jayapura yang juga merupakan anggota dari Udeido Collective, Yanto Gombo, dengan judul ‘Dibungkam’ (2021). Mural tersebut menggambarkan wajah seorang lelaki Suku Dani yang dikelilingi oleh berbagai fragmen kekerasan, represi, dan diskriminasi rasial yang kerap dialami masyarakat asli Papua hingga saat ini.
Karya mural tersebut beresonansi dengan karya-karya lain yang menampilkan permasalahan sosial yang berakar dari perebutan ruang hidup akibat ekstraksi sumber daya alam yang berimplikasi pada kerusakan ekologis. Masih terkait dengan karya di atas, sebuah ruangan besar menampilkan karya anggota-anggota lainnya dari Udeido Collective: Dicky Takndare, Costantinus Raharusun, Betty Adii, Nelson Natkime, dan Michael Yan Devis. Karya lima seniman ini merespon sebuah tema besar ‘Koreri Projection’ (2021) yang menghadirkan gambaran perjalanan manusia Papua menuju Koreri, sebuah ruang tempat jiwa-jiwa hidup dalam kedamaian setelah melewati dimensi material dengan segala ironisnya yaitu ruang-ruang hidup yang digusur, tanah-tanah adat yang direbut, suara-suara yang dibungkam, serta ingatan kolektif akan kekerasan dan penindasan manusia oleh manusia.
Senada dengan hal itu, karya Arief Budiman yang sebelumnya melakukan residensi di Papua selama dua bulan, bersama Harun Rumbarar dan Max Binur, pembuat film dan aktivis yang berbasis di Papua, membuat karya berjudul ‘Di Tanah Orang Papua’ (2021). Karya ini berupa instalasi kolam berisi air berwarna merah yang berasal dari buah pinang, menggantung di langit-langit ruang pamer, tepat di bawah kolam itu diproyeksikan video tiga menit yang menggambarkan kekerasan hak asasi manusia terjadi di Papua. Tema serupa juga dapat dilihat pada karya Vembri Waluyas, seorang foto jurnalis yang aktif mendokumentasikan berbagai persoalan sosial di Papua yang luput (atau tersensor) dari media arus utama. Dalam serial foto berjudul ‘Ongkos Trans Papua’ (2017-masih berlanjut), Vembri menyoroti pembangunan jalur Trans-Papua sepanjang 4.330,07 km yang dirancang untuk membuka isolasi wilayah dan meningkatkan perekonomian namun justru menuai konflik berkepanjangan, memicu deforestasi dalam skala raksasa dan semakin meminggirkan masyarakat asli Papua.