Kuratorial

Proses peminggiran dan perebutan kekuasaan dan ekonomi terjadi mulai dari tingkat birokrasi negara atas pengadaan megaproyek hingga penguasa-penguasa setempat yang berebut order pengerjaan. Ketidakadilan ini semakin memisikinkan masyarakat kelas bawah yang kemudian memunculkan berbagai strategi bertahan dengan logika saling memangsa. Raden Kukuh Hermadi mencoba merekonstruksi proses deforestasi di Gunungkidul oleh warganya sebagai cara bertahan hidup dari ekonomi sulit dengan menjual bahan baku arang. Untuk itulah hutan-hutan dibabat dan pohon ditebangi. Instalasi berjudul ‘Matinya Tanah Firdaus’ (2021) membidik persoalan ekstraksi yang lekat dengan persoalan perebutan sumber daya ekonomi melalui perusakan alam. Sementara karya seniman Tohjaya Tono berjudul ‘Tamulahan’ menggunakan kapal selam sebagai metafora atas perjanjian tersembunyi antara korporat, penguasa dan negara yang terjadi di bawah permukaan radar media. Hal ini  seringkali dibalut dengan narasi canggih, seperti pembangunan, Undang-undang CIpta Kerja, maupun pengembangan destinasi wisata.

Merespon fenomena pariwisata di berbagai negara di kawasan Oseania yang kerap dibingkai sebagai suatu destinasi tropis untuk menarik perhatian turis dari berbagai penjuru dunia. Pembingkaian yang sarat dengan nalar kolonial ini dalam jangka waktu panjang bisa meninggalkan dampak kultural dan ekologis yang juga meminggirkan keberadaan penduduk lokal. Sejalan dengan itu, Ersal Umammit, seniman dari Ambon, membicarakan soal turisme di Pulau Banda, membahasnya melalui sejarah kelam kolonialisme Belanda melalui monopoli pala, hingga kolonialisme gaya baru berupa investor yang memonopoli ekonomi pariwisata yang terjadi hari ini. Melalui karya berjudul ‘Apa Kabar Banda Neira Hari Ini’ (2021) Ersal Umammit membentangkan kolase fotografis yang tidak hanya merekonstruksi apa yang terjadi di masa lalu, tetapi juga genosida lain akibat krisis ekologi yang yang mengancam penduduk Pulau Banda di masa depan. Masih perihal pariwisata, Kurniadi Widodo menampilkan serial foto berjudul “Towards New Landscapes” (2018-masih berlanjut) yang menyoroti meluasnya penggunaan media sosial berbasis foto sehingga mendorong lahirnya bentuk relasi baru antara manusia dan alam serta standarisasi semu akan keindahan. Berbagai destinasi wisata yang bersifat artifisial dibangun di banyak tempat, mereplikasi berbagai ikon turistik dunia, seolah-olah apa yang dimaknai indah hanya menara Eiffel,  Stonehenge, bigben dan monumen terkenal lainnya.

Persoalan antroposen yang berkelindan erat dengan praktik-praktik kapitalisme ekstraktif direspon oleh beberapa karya dengan mengimajinasikan secara puitis masa depan bumi setelah kita memasuki epos geologis baru yang menunjukan efek dominasi manusia terhadap bumi. Eunike Nugroho berusaha membalik relasi manusia dengan tumbuhan karnivora Nepenthes hamata dalam karya lukisan botani berjudul ‘Pelahap’ (2021). Bagaimana seandainya posisi manusia dan tumbuhan ditukar, yang terancam jadi mengancam. Pembalikan posisi ini merupakan kritik atas ego manusia yang merasa dirinya sebagai pusat dunia dan berhak melahap segalanya demi kesejahteraan diri sendiri. Sikap serakah manusia semacam ini pada akhirnya mencederai keseimbangan ekosistem, serta mengubah kosmologi tradisional. 

Meta Enjelita, membuat karya berjudul ‘A Zone Of Not Yet-Not Yet Mapped’ (2021) yang menggambarkan rusaknya tanah dan hadirnya lanskap distopia karena pembakaran secara sengaja lahan gambut di tempat ia berasal, Kalimantan Barat. Melalui instalasi kain yang diwarnai melalui proses korosi, Meta menunjukan bagaimana manusia merusak alam dengan dalih modernisme, namun di satu sisi alam memiliki kekuatan untuk  menyembuhkan dirinya sendiri. Sedang karya ‘New World Order’ (2013), Hayden Fowler menyajikan sebuah video yang membayangkan dunia ciptaan tanpa manusia yang selama ini bertindak sebagai kontrol atas alam. 

Masih membicarakan perihal antroposen, karya Riar Rizaldi berjudul ‘Becquerel’ (2021) secara tidak langsung mengajak penonton untuk lebih kritis melihat persoalan tersebut. Antroposen, yang telah menjadi wacana global seiring dengan krisis ekologi, namun luput membicarakan ketidakadilan rasial, kelas dan gender dibaliknya. Apa yang terjadi seolah hasil perbuatan manusia secara universal, padahal dengan adanya berbagai ketimpangan yang terjadi secara struktural, membuat sekelompok manusia menjadi lebih eksploitatif terhadap kelompok lain yang rentan dan yang paling dirugikan. Sementara sekelompok kecil manusia, yang paling jauh di atas piramida kekuasaan, mendapat keuntungan atas berbagai eksploitasi yang terjadi. Lewat tokoh Sajad Ali, Riar menyampaikan keberpihakannya terhadap golongan manusia yang sering menjadi korban atas situasi yang kompleks ini. 

Sebagai respon atas dominasi manusia terhadap alam, gerakan-gerakan berbasis kearifan lokal yang menempatkan manusia, non-manusia dan alam sebagai entitas setara, memaknai pengetahuan tempatan sama validnya dengan sistem pengetahuan Barat, serta merebut kembali nilai-nilai kehidupan yang hilang karena dampak modernisasi dan standarisasi mengemuka dalam beberapa karya dalam pameran ini. Lakoat.Kujawas, komunitas yang aktif melakukan kerja-kerja pengarsipan dan penyebaran pengetahuan kontekstual di dataran tinggi Mollo, menampilkan karya ‘Pah Afatis, Sonaf Aneot’ (2021) sebagai representasi uem bubu atau rumah adat yang terkait dengan sistem religi, kekerabatan, bahasa, preservasi pangan, serta relasi manusia Mollo dengan hewan dan alam. Begitu juga dengan Simão Cardoso Pereira, seniman dari Timor-Leste, melalui film berjudul ‘Identitas’ (2021) ia mencatat keteguhan hati masyarakat Balibo, yang tinggal di perbatasan dengan Indonesia, untuk mempertahankan ritual dan pengetahuan adat untuk bertahan hidup, menghindari berbagai penyakit hingga melawan penjajahan. Sementara itu Motoyuki Shitamichi melalui instalasi video ‘Tsunami Boulder (津波石)’ (2015-ongoing) mengeksplorasi kepercayaan setempat di Kepulauan Miyako dan Yaeyama, di mana masyarakatnya percaya bahwa batu besar dari dasar laut yang terdampar ke daratan setelah tsunami terjadi memiliki tuah dan sepatutnya disembah. Pada batu-batu besar itu, menurut Motoyuki Shitamichi, tercipta lanskap unik di mana aspek alam dan budaya menjadi satu.