Kuratorial

Dalam banyak hal, pengetahuan adat menempatkan perempuan dengan posisi yang penting dan setara dalam kehidupan sosial. Hal ini diungkapkan Maria Madeira lewat karya-karyanya yang terinspirasi oleh motif kain tais untuk berbicara soal pengetahuan dan kekuatan perempuan serta perannya dalam masyarakat Timor-Leste, namun dihadapkan dengan ironi karena banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan Timor yang terjadi saat ini. Ika Arista, seniman sekaligus pembuat keris perempuan dari Madura menghadirkan rangkaian objek pada instalasi ‘Sékep’ (2021), untuk menunjukan kepercayaan para pelaut Madura atas keris, stamboel, dan primbon sebagai jimat keselamatan. Kepercayaan dan pengetahuan tempatan semacam itu masih dipraktekan oleh masyarakat Madura yang tinggal di wilayah pesisir. Sementara Dyah Retno yang sempat melakukan residensi di pegunungan Mollo, menghadirkan perjumpaannya dengan tradisi gerabah dari kebudayaan Lapita yang dianggap leluhur dari masyarakat Austronesia dan Melanesia di Oceania. Melalui instalasi keramik berjudul ‘Tanah Timor’ (2021), Dyah Retno menelusuri kembali pengetahuan atas pembuatan gerabah yang tersisa dan nilai tradisional yang menempatkan setiap orang dalam posisi setara.  

Dalam pameran ini ditampilkan juga karya Agus Ongge, kriyawan dan pelukis kulit kayu dari Pulau Asei, yang berkolaborasi dengan seniman Mella Jaarsma dalam instalasi kostum berjudul ‘Pertama Ada Hitam’ (2021). Praktik dan pengetahuan Agus Ongge dalam mengolah kulit kayu sebagai material pakaian Papua ditampilkan bersama dengan sebuah video yang mempercakapkan posisi biner praktik seni tradisional dan kontemporer secara kritis. Selain itu terdapat karya berbasis suara dari Radio Isolasido, sebuah proyek artistik yang dikembangkan oleh seniman multidisiplin Wok The Rock dan komposer Gatot Danar Sulistiyanto, yang menawarkan ensembel rekaman suara naratif dan non-naratif seperti musik, puisi, percakapan, bebunyian sintetis, juga suara suasana lingkungan alam dan sosial yang berbasis pada hal-hal yang sifatnya terisolir. Melalui ensemble tersebut, Radio Isolasido menghadirkan ruang dan waktu untuk mendengarkan, terutama pada sesuatu yang asing atau baru untuk memantik sensibilitas indera memahami hal-hal dan budaya lain secara mendalam. Seperti halnya karya Yudai Kamisato melalui serial video berjudul “RYUKYU KAIDAN—Cerita Horor dari Ryukyu” (2021) menelusuri kebiasaan masyarakat di kepulauan Okinawa yang senang berbagi cerita-cerita hantu. Melihat sisi historis sebuah wilayah melalui cerita horor yang berkembang di masyarakatnya menjadi satu hal yang masuk akal, mengingat sejarah kelam masa lalu di Okinawa yang terdampak dari Perang Pasifik. 

Beberapa seniman dan kolektif seni menggunakan Biennale Jogja XVI sebagai platform sosial untuk mengamplifikasi kerja-kerja yang telah mereka lakukan di luar kerangka produksi karya pada umumnya. Selain sebagai tempat untuk mendistribusikan informasi tentang fokus perhatian mereka, perhelatan ini juga digunakan sebagai sarana untuk bertemu lebih banyak orang untuk terlibat membangun solidaritas dan berjejaring bersama untuk kerja mereka lebih jauh. Misalnya A Pond is the Reverse of an Island, jaringan solidaritas kolektif yang bekerja dengan pengungsi di kamp Kalideres, Jakarta dan pengungsi lainnya di seluruh Indonesia, menggunakan beragam lokakarya untuk mengaktivasi karya yang tampil di ruang pamer. Misalnya lokakarya membuat roti naan dengan menggunakan tanoor khas Afghanistan sampai lokakarya membuat kartu pos untuk anak-anak. Semua hasil donasi dari lokakarya ini disumbangkan untuk kebutuhan para pengungsi. Hal yang sama juga dilakukan oleh Badan Kajian Pertanahan yang bekerja bersama ibu-ibu di Jatiwangi mengembangkan ‘Mother Bank’ (2021), sebuah proyek bank alternatif sebagai kritik atas praktik kredit dan problem kedaulatan di pedesaan. Dalam pameran ini Badan Kajian Pertanahan mengajak pengunjung untuk meminjamkan uangnya sebagai bentuk uji coba atas praktik mengelola dan mengolah sumber daya secara bersama.  

Dapur Umum 56, inisiatif yang dibentuk kolektif Ruang Mes 56 karena pandemi Covid-19, juga mengambil bagian di Biennale Jogja dengan menggunakan peristiwa seni, memasak, dan makan bersama sebagai ajang untuk berjumpa dan terhubung dengan berbagai kelompok terutama kawan-kawan yang berasal dari Indonesia bagian timur. Melalui berbagai bentuk aktivasi, Dapur Umum 56 berkolaborasi dengan berbagai komunitas di Yogyakarta untuk menyajikan makanan-makanan khas pesisir, sebagai cara untuk saling mengenal dan memulai perbincangan. Sejalan dengan peribahasa “tak kenal maka tak sayang”, berbagai bentuk rasisme dan pandangan stereotip masih banyak dihadapi oleh masyarakat dari kepulauan Indonesia bagian timur. Misalnya orang asli Papua yang masih kerap dibingkai dalam pandangan stereotip tertentu. Seniman muda Miki Wuka, anggota dari kolektif seni Indonesia Art Movement (IAM), merespon persoalan ini melalui karya berjudul ‘e-KTP Bukan Alat Jerat’ (2021) di mana ia menampilkan puluhan KTP palsu bernama sama namun dengan foto dan identitas yang berbeda-beda. Miki Wuka melihat dalam praktiknya banyak penduduk Papua yang saling meminjam KTP karena terdapat pandangan rasial bahwa semua orang asli Papua berwajah serupa. 

Pengalaman terkait rasisme merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat diaspora. Berbagai bentuk prasangka, stereotip, bahkan penolakan banyak dihadapi oleh mereka di berbagai tempat. Tegangan antara pandangan stereotip dan identitas menjadi relevan untuk diperbincangkan, terutama bagaimana para komunitas diaspora mengartikulasikan akar identitas mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dalam karya Edith Amituanai, seniman diaspora Samoa yang sekarang menetap di Auckland, menampilkan serial foto bertajuk ‘Interiors from Anchorage, Apia, AKL’ (2004-2008) mengenai karakteristik komunitas diaspora dalam mengatur ruangan dan benda-benda di dalam rumah tinggal mereka. Foto-foto Edith yang tidak dramatis dan menampilkan situasi sehari-hari justru dengan kuat berbicara perihal minoritas. Di tengah kuatnya dorongan untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar, warga diaspora justru tetap berpegang pada akar budaya asal mereka. Shivanjani Lal, seniman keturunan India yang keluarganya bermigrasi ke Fiji dan kini menjadi warga negara Australia, mengangkat ingatan-ingatan rapuh atas leluhurnya yang tercerabut dari tanah asalnya. Karyanya ‘5 Prayers for 5 Generation(2021) mengisahkan hiruk-pikuk industri gula dan kapal-kapal yang mengangkut ribuan budak pada masa kolonial, di antara mereka adalah leluhurnya. Jumaadi, seniman dari Sidoarjo yang saat ini menetap di Sydney, melihat soal perpindahan yang dirasakan oleh banyak manusia di muka bumi melalui pengalamannya sendiri. Bagaikan pengelana, ia memahami peristiwa-peristiwa pertemuan dan perpisahan, kemujuran dan kesialan, komedi dan tragedi sebagai sesuatu yang biasa terjadi dalam perjalanan manusia. Hal ini ia tuangkan dalam serial karya berjudul ‘Asal Muasal’ (2021) yang dibuat dengan menggunakan medium tatahan pada kulit kerbau.