Adanya migrasi dan persinggungan menjadikan suatu budaya tidak steril, saling mengkontaminasi dan menyebabkan berbagai jenis ekspresi budaya campuran. Salah satu bentuknya adalah kelahiran bahasa kreol yang dianggap lebih rendah dari bahasa aslinya. Bahasa kreol banyak ditemukan pada negara-negara bekas terjajah sebagaimana Indonesia dan berbagai negara di kawasan Oseania. Broken Pitch, kolektif seniman muda di Yogyakarta, merespon hal ini dengan menyajikan satu ruangan yang dipenuhi kertas-kertas bertuliskan bahasa kreol, mesin fotokopi dan figur-figur anak kecil bertopeng. Ruangan ini mencoba mempertanyakan ulang realitas percampuran budaya dan pembangkangan melalui bahasa pada masyarakat poskolonial. Broken Pitch berkolaborasi dengan Juanga Culture, ruang seni bagi anak-anak muda Maluku Utara, yang juga merancang berbagai aktivasi karya untuk memperkaya pembacaan atas kebudayaan Oseania dalam konteks sejarah seni, proses dekolonisasi, represi struktural hingga kartografi imajinatif.
Sebagaimana kartografi dimaknai sebagai alat untuk menciptakan batas-batas imajiner geopolitik yang tidak netral serta sarat akan praktik kolonial, mulai dari sejarah penemuannya hingga penggambaran kehidupan manusia diatasnya. Begitu juga dengan berbagai lukisan dan dokumen yang dikonstruksi untuk berpihak pada sebuah narasi tertentu, sepatutnya dihadapkan dengan narasi alternatif yang bersifat kritis. Greg Semu, seniman keturunan Samoa, merespon hal ini dengan karyanya ‘RED COATS + INDIANS 2.0’ (2019-2021) yang memeragakan kembali fragmen-fragmen kematian Captain Cook melalui fotografi pemanggungan. Melalui serial foto ini, Greg Semu ingin menggugat sejarah kolonial yang seolah-olah dianggap sebagai kebenaran absolut, utamanya wacana dominan atas Captain Cook yang dianggap sebagai pahlawan. Salima Hakim dengan semangat yang sama berusaha menantang dan mempertanyakan narasi “The March of Progress“, sebuah ilustrasi ikonik evolusi manusia yang menampilkan tahap-tahap evolusi dari kera jantan menjadi lelaki, tanpa pernah ada versi perempuan yang dibuat. Karyanya ‘Herstory: if Knowledge is Power’ (2021) menampilkan narasi sebaliknya, tahapan evolusi manusia dalam versi perempuan dan diperkaya dengan imbuhan kekayaan persilangan genetis yang terjadi di kepulauan Indonesia bagian timur pada masa lampau.
Dialog mengenai ekses kolonialisme terjadi pada karya dua seniman berbasis di Kaledonia Baru: Antoine Pecquet, seorang warga Perancis yang telah lama tinggal di Nouméa, dan Nicholas Molé, seniman keturunan Kanak, suku asli Kaledonia Baru. Melalui karya-karya kolase digital, Antoine Pecquet menuangkan kegelisahannya atas situasi saat ini di mana kolonialisme dilihat dalam bingkai hitam-putih. Karya-karyanya menampilkan kompleksitas hubungan poskolonial antara warga Kaledonia Baru keturunan Eropa dengan masyarakat asli. Sedang Nicholas Mole, lewat ideologi politiknya menunjukan bagaimana residu kolonialisme Perancis masih terus bekerja, meskipun pembicaraan dan usaha-usaha dekolonisasi sudah dilakukan, termasuk dengan melakukan dua kali referendum di negaranya.
Selain karya-karya di atas, dalam pameran utama terdapat beberapa ruang yang dikerjakan khusus sebagai penghormatan kepada perempuan seniman Sriwati Masmundari (1904-2005), arsitek-budayawan Y.B. Mangunwijaya (1929-1999) serta kurator Arnold C. Ap (1945-1984) dan Pater Piet Petu (1919-2001). Warisan pemikiran tokoh-tokoh tersebut kami rasa menjadi sangat relevan untuk diangkat kembali dalam pameran utama Biennale Jogja.
Hingga akhir hidupnya, Sriwati Masmundari melestarikan dan mengembangkan lukisan lentera damar kurung yang sebagian besar mendokumentasikan kehidupan masyarakat di pesisir Gresik. Ruang pamer Sriwati Masmundari dibangun oleh anak-anak muda yang tergabung dalam Damar Kurung Institute, sebuah lembaga yang mengkaji dan mengumpulkan arsip-arsip mengenai kesenian damar kurung. Sementara itu, kami menghadirkan pemikiran Mangunwijaya melalui dua pintu masuk, yaitu rekonstruksi sejarah kolonialisme di wilayah kepulauan pada novel “Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa” (1983) dan pemikiran politiknya mengenai desentralisasi kekuasaan pada buku “Menuju Republik Indonesia Serikat” (1998). Selain memamerkan arsip foto, kliping, dan buku-buku yang ditulis Mangunwijaya, diadakan juga diskusi publik dan klub baca yang diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat yang tertarik mendalami pemikiran Mangunwijaya dari berbagai sudut pandang.
Pada pameran utama, sebuah ruangan disiapkan untuk memberi sorotan kepada lintasan hidup Arnold C. Ap, kurator dari tanah Papua, dan Pater Piet Petu, kurator dari tanah Flores. Kedua nama tersebut asing dalam kajian-kajian mengenai sejarah perkembangan kekuratoran di Indonesia yang selama ini hanya didominasi oleh nama-nama kurator dari Jawa saja. Meskipun keduanya dilekatkan erat dan seringnya dikotakan dengan disiplin etnografi, namun pada prakteknya keduanya banyak melakukan kerja-kerja kuratorial yang kontekstual.
Arnold C. Ap diangkat menjadi kurator Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih pada tahun 1978. Beberapa bulan setelah pelantikan itu, ia mendirikan kelompok musik Mambesak dan mengubah penyebutan museum tempatnya kerja sebagai Istana Mambesak. Arnold C. Ap melakukannya agar museum tidak lagi dilihat sebagai gudang sekumpulan benda mati, melainkan sebagai sebuah laboratorium kebudayaan yang hidup. Pendekatan kuratorial Arnold C. Ap memang unik dan seringkali menerabas batasan-batasan dinding museum. Misalnya saja, ia mendorong warga di Pulau Asei untuk membangkitkan kembali seni lukisan kulit kayu atau khombow yang sempat lama punah.
Sedangkan Pater Piet Petu mulai tertarik pada antropologi dan etnografi sejak ia mengikuti beberapa ekspedisi ilmiah saat menjalani pendidikan sebagai calon pastor di seminari Mataloko. Ia juga sempat mengikuti beberapa ekspedisi arkeologi yang dipimpin oleh Dr. Th. Verhoeven di tahun 1950’an. Antara 1961-1962, ketika melanjutkan studi di Nemi, Roma, ia menyempatkan diri untuk berkeliling ke beberapa negara Eropa untuk mempelajari praktik museologi. Sebelum kembali ke Indonesia, petinggi ordo Societas Verbi Divini (SVD) meminta Pater Piet Petu untuk membangun sebuah museum di Flores. Permintaan itu baru terwujud pada 1983, ketika ia mendirikan Museum Bikon Blewut di dalam kompleks STFK Ledalero.