Kuratorial

Desentralisasi Sebagai Praktik

 

The notion of the rhizome maintains, therefore, the idea of rootedness but challenges that of a totalitarian root. Rhizomatic thought is the principle behind what I calI the Poetics of Relation, in which each and every identity is extended through a relationship with the Other.

Gagasan atas rimpang, oleh karena itu, mempertahankan gagasan tentang keberakaran sekaligus juga menantang bayangan mengenai akar yang bersifat totaliter. Pemikiran rimpang inilah prinsip di balik apa yang saya sebut sebagai “Poetics of Relation“, di mana setiap identitas diperluas melalui hubungan dengan Sang Liyan. 

—Edouard Glissant, dalam Poetics of Relation

 

Selain melihat dinamika sosial-politik di Oseania, Biennale Jogja juga tertarik pada gagasan mengenai desentralisasi. Beberapa waktu belakangan terma desentralisasi dalam konteks ekonomi menjadi semakin signifikan setelah teknologi blockchain dan cryptocurrency mulai digunakan secara luas. Beberapa pihak berpendapat bahwa penggunaan teknologi blockchain akan menjadi masa depan yang mampu menggeser berbagai struktur, mulai dari sistem keuangan negara yang terpusat hingga model transaksi ekonomi serta skema pasar seni rupa. Pasar yang sebelumnya dianggap hierarkis dan memusat di beberapa titik saja akan menjadi lebih tersebar merata dan demokratis. Tentu saja kami menyadari masih terlalu dini menilai praktik-praktik tersebut sebagai bentuk desentralisasi dan non-hirarkis, namun pemikiran tersebut kami maknai sejalan dengan semangat kami.

Sebagai sebuah institusi, Biennale Jogja juga dapat dilihat sebagai sebentuk pemusatan baru. Sejak konsep Biennale Equator diperkenalkan pada tahun 2011, Biennale Jogja berusaha untuk meneguhkan posisi dirinya sebagai salah satu perhelatan penting di medan seni rupa dunia yang selama ini memusat pada negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Pada setiap perhelatannya, Biennale Jogja kemudian melibatkan seniman dari negara dan kawasan sepanjang garis khatulistiwa, mulai dari India, negara-negara Arab, Nigeria, Brazil, hingga negara-negara di Asia Tenggara. Dari berbagai lokasi di dunia, para seniman tersebut diterbangkan untuk menampilkan karya sehingga dapat ditonton oleh segelintir penikmat seni di Jogja. Apa yang dilakukan oleh Biennale Jogja ini tak ubahnya seperti logika pagelaran seni rupa internasional lainnya, di mana dengan kekuatan finansial mampu memobilisasi seniman dari mana saja untuk meraih perhatian dari seluruh dunia. Dapat dikatakan bahwa perjalanan merengkuh khatulistiwa—yang pada awalnya dimaksudkan sebagai sebuah aksi membangun solidaritas ekosistem seni di negara berkembang—justru bisa menjadikan Biennale Jogja sebagai bentuk pemusatan baru.  

Maka untuk menghindari kecenderungan pemusatan tersebut, sebagai penutup dari seri Biennale Equator kami ingin melakukan otokritik sekaligus menguji sebuah gagasan: dapatkah Biennale Jogja sebagai sebuah peristiwa seni atau institusi seni didesentralisasi? Sejauh mana desentralisasi atas sebuah biennale dapat dilakukan?

Pandangan lain atas desentralisasi kami dapatkan ketika menekuni topografi kawasan Indonesia bagian timur hingga Oseania yang terdiri dari sebaran kepulauan yang dihubungkan oleh lautan. Bagi masyarakat pesisir, laut tidak pernah dianggap sebagai batas pemisah. Sebaliknya, laut justru dianggap sebagai jembatan yang menghubungkan. Melalui lautan perjumpaan antarbudaya dicapai, bayangan atas komunitas yang saling terhubung dibentuk, batas-batas teritorial yang bersifat insular dikaburkan, dan perluasan identitas dimungkinkan. Dalam sebuah esainya, antropolog sosial Epeli Hauʻofa memandang bahwa bagi masyarakat Oseania laut adalah identitas dan imajinasi yang terbagi.1 Hau‘ofa, E. (2008). The Ocean in Us. Dalam We Are the Ocean: Selected Works (pp. 41–59). University of Hawai’i Press. Ia dimiliki—sekaligus juga tidak dimiliki—siapa pun.  

Berpijak pada hal tersebut, kami berusaha untuk tidak menempatkan desentralisasi sebagai terma konseptual yang hanya akan menguap di forum-forum diskusi saja. Tetapi juga mendorong desentralisasi sebagai sebuah praktik nyata yang dapat ditiru dan digandakan di kemudian hari. Untuk itu, sebagai sebuah ikhtiar, pada Biennale Jogja XVI Equator #6 kami menginisiasi Program Labuhan (Docking Program) yang disusun bersama dengan beberapa kolektif seni dan institusi dari kawasan Indonesia bagian timur, antara lain Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih (Jayapura), Paparisa Ambon Bergerak (Ambon), SkolMus (Kupang), dan Komunitas KAHE (Maumere). 

Setiap kolektif seni atau institusi yang menjadi mitra Program Labuhan memiliki kebebasan untuk menentukan tema, waktu, dan bentuk kegiatan yang akan dibuat dengan menyesuaikan konteks dan kebutuhan yang terdapat di masing-masing tempat. Sebaliknya, Tim Kurator Biennale Jogja berperan untuk menjaga proses curah gagasan yang dilakukan selama perencanaan Program Labuhan ini dapat berlangsung secara transparan serta menimbang berbagai pendapat dalam posisi setara. Berbagai bentuk dukungan juga diusahakan dari kedua pihak, baik berupa dukungan finansial maupun dukungan sosial. Melalui diskusi yang cukup intensif selama beberapa bulan akhirnya kami bersepakat untuk menjalankan Program Labuhan dengan tema dan bentuk beragam, sekaligus merespon rentangan isu yang luas, seperti perayaan atas sebuah gerakan kultural di Papua, krisis ekologi akibat pembangunan yang ugal-ugalan di pesisir Ambon, kehidupan sehari-hari para buruh migran di Kupang, hingga tawaran untuk melakukan intervensi sosial dan artistik pada sebuah museum etnografi di Maumere. 

Upaya untuk melakukan desentralisasi pada institusi seni semacam ini perlu diuji coba dan sekaligus dievaluasi lebih jauh. Misalnya saja, apakah upaya semacam ini cukup efektif untuk mempersempit jurang serta pemerataan akses dan kesempatan bagi para pelaku seni yang tinggal di luar “pusat” yang selama ini dibayangkan? Bagaimana cara yang paling tepat agar desentralisasi semacam ini tidak hanya menjadi pemanis intelektual belaka? Atau bagaimana menghindari bentuk-bentuk eksploitasi dan pembungkaman struktural yang kerap terjadi dalam lingkaran seni di Indonesia?  

Kami sadar bahwa Program Labuhan pada Biennale Jogja XVI Equator #6 ini masih prematur dan jauh dari desentralisasi ideal yang dibayangkan. Bahkan munculnya ide desentralisasi juga penting untuk dipertanyakan, seolah hal ini melegitimasi adanya pusat dan pinggirannya. Namun dengan semangat kesamarataan dan berbagi, baik redistribusi pengetahuan, ekonomi, serta jaringan usaha ini layak dicoba. Sebagai sebuah aksi institusional upaya ini perlu didukung, dikembangkan, dan juga dievaluasi terus-menerus dalam ekosistem seni Indonesia di masa depan.