Bilik Migran adalah sebuah refleksi tentang mereka yang hidup minim pilihan. Pergi ke kota dengan harap menemukan ruang yang memberikan udara, namun ternyata hidup di kota bagaikan memasukkan udara pada paru-paru yang tinggal setengah. Terengah-engah. Lari dari himpitan hidup di kampung namun terpaksa tinggal dan bertumbuh pada bilik sempit tanpa keleluasaan pengharapan akan hidup yang membaik. Merekalah kaum migran kota.

Yang mujur, tiap bulan sepanjang tahun bisa bekerja mengasisteni pekerjaan rumah tangga. Jika mereka terampil dan beruntung, mereka bisa hidup hampir layak. Namun sering kali, pilihan yang mereka miliki adalah sesempit ‘tidak sama sekali mendapat apa pun’ atau ‘menerima apa pun yang diberikan majikan’. Walau kemudian harus berpikir lebih jauh dari ilmu matematika dan ekonomi rasional, karena yang tak cukup harus dicukupkan.

Anak-anak juga mengambil bagiannya pergi ke kota. Jika jumlah saudaranya lebih dari jumlah jari pada satu tangan, mereka dititipkan pada kerabat agar hidup lebih layak. Namun tak jarang jika orang tuanya sudah menua bahkan tiada, mereka tanpa harapan. Tinggal di kampung tak punya naungan sehingga pergi ke kota, bekerja untuk keluarga atau kerabat. Sering kali jadi masyarakat kelas dua. Mereka disebut anak tinggal. Tak punya banyak pilihan. Jika mujur bisa mengubah nasib. Kadang diperlakukan jauh dari layak, namun mereka tak dapat beranjak. Tak punya tujuan berlari, tak ada tempat yang aman. Yang ada hanya penerimaan yang dipupuk dari hari ke hari. Sering kali yang dilakukan adalah menahan diri untuk bermimpi terlalu tinggi.

“Kegiatan ini turut didanai oleh International Relief Fund for Organizations in Culture and Education 2021 oleh German Federal Foreign Office, the Goethe-Institute dan partner lain: www.goethe.de/relieffund”