Arief Budiman, Harun Rumbarar & Max Binur
(Indonesia-Yogyakarta/Jayapura/Sorong)
Arief Budiman adalah seorang seniman kelahiran Depok yang saat ini berkarya di Yogyakarta. Lulusan Jurusan Film dan Televisi ISI Yogyakarta ini menggunakan gambar bergerak sebagai salah satu medium utama dalam berkarya. Beberapa tema yang acap kali dijumpai dalam karyanya adalah gaya hidup atau perilaku masyarakat, pengaruh internet, dan juga politik. Dalam beberapa tahun ke belakang, ia banyak bekerja menggunakan arsip sebagai sumber informasi dan berspekulasi terhadap peristiwa masa lalu dengan cara yang artistik. Saat ini, ia tergabung di dua kolektif yang aktif dalam dunia seni rupa dan film, yaitu MES 56 dan Piring Tirbing.
Harun Rumbarar (lahir di Keerom, perbatasan Papua New Guinea) adalah seorang aktivis dan pembuat film yang tergabung dalam komunitas Papuan Voices. Ia menggunakan media audio visual untuk advokasi beragam persoalan di Papua. Harun sudah memproduksi beberapa film seperti “Truck Monce” (2017), “Justice For Murdered Children” (2018), “Cerita Sukses Perjuangan Masyarakat Adat Suku MOI”, “Rasisme dan Internet Down” di acara SAFEnet (2020) dan “Perempuan Penjaga Dusun” (2021).
Max Binur (lahir di Biak, Papua Barat) adalah seorang penggerak kebudayaan berlatar belakang pendidikan antropologi. Ia adalah pendiri grup musik Black Paradise, Belantara Papua, Bengkel Budaya, Sanggar Araima, Kumeser, Faduru, Papuan Voices dan berbagai kelompok seni budaya lainnya di Tanah Papua. Max pernah menjadi Eksekutif Daerah WALHI Papua, bekerja di ELSHAM Papua, Yayasan Lingkungan Hidup Papua dan Ketua Papuan Voices.
“Di Tanah Orang Papua” (2021)
Instalasi, video, audio | Dimensi bervariabel
Lebih dari setengah abad Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia dengan jalan aneksasi yang penuh kontra hingga saat ini. Sumber daya alam menjadi sebuah magnet terbesar yang membuat Indonesia saling sikut dengan negara lain untuk menduduki Papua Barat. Melalui UU No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing dan teken kontrak yang dilakukan Soeharto pada tahun yang sama, tanah yang menjadi ‘Mama’ bagi orang Papua perlahan mulai dikuasai negara. Menciptakan konflik, melakukan kekerasan, membangun teror serta ketakutan, membuat masyarakat terpaksa untuk mengungsi, hingga akhirnya wilayah tersebut dapat dikuasai dan menjadi jalan mulus bagi para investor. Pola-pola semacam ini menjadi sesuatu yang lumrah dijumpai saat mereka menemukan sebuah wilayah dengan potensi kekayaan alam yang besar.
Karya ini menghadirkan potongan-potongan cerita yang Arief dapatkan selama menjalani proses residensi di tanah Papua, kisah tentang kehidupan orang asli Papua yang absen dari pemberitaan media. Serta cerita dari pengalaman pilu mereka saat menjadi korban dari kekuatan negara dan instrumennya yang berusaha dibungkam. Dalam karya ini Arief juga berkolaborasi dengan Max Binur dan Harun Rumbarar, seniman sekaligus aktivis yang getol menyuarakan permasalahan di Papua Barat melalui medium musik dan film. Kesadaran untuk membela kebudayaan dan hajat hidup orang Papua membuat mereka menggunakan dua medium tersebut sebagai salah satu senjata untuk mengarsipkan ingatan tentang pergolakan yang terjadi di Papua Barat.