Dyah Retno (Indonesia-Yogyakarta)
Dyah Retno lahir di Medan pada 9 Maret dan besar di sana. Mengambil studi S1 di Jurusan Keramik Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 2012 dan empat tahun setelahnya, ia melanjutkan studi S2 di ISI Yogyakarta dengan jurusan yang sama. Berkarya dengan media keramik dalam ruang seni kontemporer sejak 2014, karya-karyanya banyak mengadaptasi bentuk radiolaria detail dari sel plankton tunggal yang tersebar di lautan.
“Physis” merupakan proyek paling ambisius yang dikerjakannya sejak 2016 hingga 2020, Dyah memposisikan dirinya tidak hanya sebagai seniman, namun juga berusaha membawa kerja sains dalam mengolah limbah keramik hingga dapat menjadi material baru yang punya sifat optimal seperti material keramik asli. Dalam seri “Physis” ia berusaha mengkritisi industri keramik berlabel “ramah lingkungan” yang tidak bertanggung jawab pada produksi limbahnya.
Karya Dyah pernah dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, Bentara Budaya Bali, ArtJakarta, Museum Sonobudoyo, dan terakhir dalam Asana Bina Seni Biennale Jogja.
“Tanah Timor” (2021)
Instalasi Keramik, Arsip, Mural | ukuran bervariabel
“Tanah Timor” merupakan proyek jangka panjang yang bermula dari perjalanan residensi Dyah di Mollo, NTT untuk menelusuri kekriyaan gerabah di masyarakat Indonesia timur. Ia tertarik untuk menelusuri jejak berupa bentuk dan motif huruf-huruf Lota dari Flores hingga teknik pembakaran gerabah kuno yang datang dari pengaruh masyarakat Lapita. Kebudayaan Lapita (1600-500 SM) dipercaya sebagai nenek moyang masyarakat austronesia dan melanesia yang peninggalannya tersebar di berbagai tempat di Oseania dan Indonesia timur. Gerabah menjadi salah satu kultur material yang paling banyak ditemukan, kebanyakan berbentuk kendi atau piring dengan motif beragam di setiap daerah sebaran.
Dyah membuat karya instalasi kursi gerabah yang disusun menjadi lingkaran dengan huruf-huruf Lota, untuk dipinjam dan dikaji ulang dalam konteks bahasa visual. Huruf Lota sering digunakan sebagai motif dalam berbagai bentuk kerajinan, Dyah berhipotesis bahwa hal tersebut merupakan salah satu langkah masyarakat untuk bertutur lewat aksara. Sedangkan susunan kursi untuk merefleksikan budaya musyawarah masyarakat serta diadaptasi dari bentuk rumah tradisional Indonesia bagian timur yang berbentuk bulat dan berpintu rendah —sebagai representasi hormat kepada para tetua dan leluhur.