Edith Amituanai (Samoa-Auckland)
Edith Amituanai (lahir 1981 di Selandia Baru) adalah seniman diaspora Samoa yang aktif bekerja di Tāmaki Makaurau, Auckland. Praktik kekaryaan Amituanai berbicara tentang lingkungan yang berperan membentuk karakter dan sudut pandang masyarakat di sebuah tempat. Mulai tahun 2008-2019 ia fokus mengerjakan seri interior rumah komunitas transnasional Samoa mulai dari Samoa, Selandia Baru, Perancis, Kanada dan Amerika Serikat. Setiap lokasi dihuni beberapa generasi yang memperlihatkan perubahan kultur dinamis namun tetap tidak sepenuhnya lepas dari kultur aslinya.
Di tahun 2008, ia mendapatkan nominasi Walters Prize untuk seri karya “Déjeuner” yang bercerita tentang diaspora Pasifik generasi baru, pemain rugby keturunan Samoa-Selandia Baru yang hidup dan bekerja di Montpellier, Perancis dan Parma, Italia Barat. Edith sudah berpameran di galeri dan museum di berbagai tempat di Aotearoa dan secara internasional di Australia, Austria, Taiwan, Jerman dan Perancis. Beberapa karyanya juga telah menjadi koleksi nasional di Auckland Art Gallery Toi o Tāmaki, Museum of New Zealand Te Papa Tongarewa, Christchurch Art Gallery dan Govett-Brewster Art Gallery.
“Interiors from Anchorage, Apia, AKL” series “Rob & Harry” (2004); “Gallony Ave” (2007); “Diamond” (2008); “The Manu Lounge” (2006); “Millennial” (2008)
Fotografi | Ukuran bervariabel
Karya-karya Edith banyak bertutur soal pengalaman keseharian di komunitas diaspora Oceania, ditengah masyarakat urban perkotaan, ruang tempat keluarga-keluarga yang bermigrasi membangun kehidupan baru mereka. Dalam seri foto ini, Edith mengeksplorasi ruang personal keluarga diaspora Samoa di Anchorage, Apia dan Auckland. Amatannya terhadap cara komunitas diaspora Samoa menata ruang pribadi dan usaha agar rumah tidak hanya menjadi bangunan fisik, tetapi juga tempat yang bersifat spiritual, personal, intim dan imajinasi bagaimana mereka mengingat budaya nenek moyang.
Kolonialisme mewariskan asumsi tentang kerapian dalam bentuk serba putih dan minimalis. Karya Edith menghadirkan kerinduan diaspora yang juga berusaha melakukan dekolonisasi cara berpikir, yang dihadirkan dalam ruang pribadi. Tanpa bermaksud menggeneralisasi, mayoritas masyarakat asli (indigenous) di Oseania menghindari ruang kosong dalam motif pada material adat yang digunakan, karena ruang kosong dipercaya dapat menimbulkan banyak ruang untuk hal negatif.