Mella Jaarsma & Agus Ongge
(Netherland-Yogyakarta/Indonesia-Sentani)
Mella Jaarsma, seorang seniman kelahiran 1960 di Emmeloord, Belanda. Sejak 1984 menetap di Yogyakarta dan kemudian di tahun 1988 mendirikan Rumah Seni Cemeti. Ia pernah menempuh pendidikan seni rupa di Minerva Academy di Groningen, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan ISI Yogyakarta.
Mella dikenal dengan karya instalasi kostum kompleks dan berfokus pada keragaman ras dan budaya yang terekam dalam pakaian, tubuh dan makanan. Karya-karyanya telah dipamerkan di dalam dan luar negeri, antara lain: ‘Dunia Dalam Berita’, Macan Museum, Jakarta (2019); The Setouchi Triennale, Japan (2019), the Thailand Biennale (2018); the 20th Sydney Biennale (2016); ‘The Roving Eye’, Arter, Istanbul(2014); ‘Siasat – Jakarta Biennale’, Museum of Ceramics and Fine Arts, Jakarta (2013); ‘Singapore Biennale’, Singapore Art Museum (2011); Yokohama Triennial (2005). dan banyak lainnya. Karyanya juga telah dikoleksi Queensland Art Gallery, Brisbane, National Gallery of Australia dan Singapore Art Museum.
Agustinus Ongge (lahir 1954, Pulau Asei, Sentani), seorang seniman yang bekerja dengan media kulit kayu sejak tahun 1981. Kehadiran pakaian modern membuat kemahiran ini terancam punah, ia kemudian berkarya untuk melanjutkan pengetahuan masyarakat asli tentang kekriyaan kulit kayu “khombow” ke generasi berikutnya. Karya-karyanya sudah dipamerkan secara nasional dan Internasional.
“Pertama Ada Hitam” (2021)
Costume installation – barkcloth and mixed media, sound, performance, video
Ukuran bervariabel
Pakaian selain berperan untuk menutupi tubuh dan mengekspresikan identitas pribadi seseorang, juga berkaitan dan mencerminkan struktur sosial dan kekuasaan, tradisi, etnis, agama, ekologi dan keadaan geografis. Semasa orde baru, pemerintah pernah menggelar Operasi Koteka di tahun 1971-72, dengan tujuan untuk menghapuskan penggunaan koteka (penutup kelamin laki-laki) di kalangan masyarakat Papua dan menggantikannya dengan celana dan baju yang dianggap lebih “modern”. Bentuk-bentuk represi dengan dalih modernitas semacam ini banyak menghilangkan pengetahuan tempatan, termasuk tentang pengolahan dan desain atas kulit kayu sebagai bagian dari budaya material.
Gerakan masyarakat adat untuk menuntut kembali atas akuisisi dari pihak luar , bukan hanya objek materi budaya tetapi juga pengetahuan mulai banyak dilakukan oleh komunitas adat. Salah satu seniman dan praktisi yang giat melakukan ini adalah Agus Ongge, berasal dari Sentani, Papua. Mella Jaarsma dan Agus Ongge berkolaborasi melalui material kulit tumbuhan yang biasa dijadikan material pakaian di dalam budaya beberapa suku di Papua. Dalam proses kolaborasi ini banyak percakapan terjadi, baik soal urgensi atas pengetahuan yang mulai hilang hingga tegangan antara seni kontemporer dan tradisi yang dapat menjadi kabur dan mungkin tidak lagi penting dan relevan di kotak-kotakan terutama dalam konteks masyarakat adat.