Raden Kukuh Hermadi (Indonesia-Gunungkidul)
Raden Kukuh Hermadi (lahir 1995 di Gunungkidul) lulus dari program sarjana jurusan seni murni, konsentrasi seni grafis di ISI Yogyakarta. Kukuh berkarya lintas media dan dengan eksplorasi narasi mitos atau sejarah Gunungkidul. Di masa mendatang ia ingin bereksperimen memadukan cetak grafis dengan kelistrikan.
Kukuh pernah berpameran dalam beberapa pameran “Platform Perupa Muda Biennale Jogja XV di PKKH UGM (2019), “Paradox 2018” di Lawangwangi Creative Space, Bandung (2018) dan “Bloom in Diversity” ISI dan ITB, Balai Banjar, Sangkring, Yogyakarta (2017). Selain itu juga berpartisipasi dalam beberapa program antara lain “Partisipan Shared Residence-Poklong Anading“ARTJOG MMXIX (2019 ), Mengikuti program Residensi WORK (IN) TITLE: SILANG TEMPAT antara FSR ISI Yogyakarta dengan FSRD ITB, di Bandung, serta Pameran bersama 40 nominator “Re-Mitologisasi Kompetisi Basoeki Abdullah Art Award #3.
“Matinya Tanah Firdaus” (2021)
Instalasi Arang, Arang pada Goni, Meja Kayu, Lukisan, suara dan Lampu dengan Timer
Ukuran bervariabel
Matinya tanah Firdaus merekonstruksi narasi proses pengawahutanan (deforestation) dan penggurunan (rocky desertification) di Gunungkidul, salah satunya akibat penggunaan bahan bakar arang secara masif, dijual sebagai bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dampak ekologi ini berpuncak pada serangan hama tikus besar-besaran pada tahun 1960an. Arang yang hitam dan goni yang berlubang menjadi penanda masa itu, dimana banyak warga memanfaatkan goni sebagai bahan pakaian maupun pelindung kaki selama serangan tikus berlangsung. Objek tersebut disandingkan dengan replika lukisan Junghuhn (ahli botani dari Jerman semasa kolonial), yang menurut lukisan tersebut Gunungkidul merupakan wilayah yang asri dipenuhi oleh hutan.
Persoalan ekstraksi atas lahan dan bagaimana hutan atau tanah selalu dilihat sebagai sumber ekonomi semata merupakan bagian kompleks atas konflik lahan. Kejadian ini tak lepas dari dampak gagalnya pengelolaan hutan baik oleh pemerintah Hindia Belanda, Keraton Yogyakarta dan andil masyarakat Gunungkidul sendiri. Persoalan pemagaran, hak atas tanah baik oleh negara maupun korporasi dan bagaimana warga akar rumput menyikapinya merupakan bentuk-bentuk yang tak terhindarkan, menyebabkan pergeseran dari apa yang Junghuhn ilustrasikan seperti tanah Firdaus menjadi tanah mati.