“Sudah mulai, kah?”
“Belum. Saya juga baru datang,” ujar saya saat jam menunjukkan pukul 10.55.
Ayu, jurnalis Radar Jogja, bertanya saat kami berpapasan di depan Sekretariat Biennale di Taman Budaya Yogyakarta. Sibuk dengan gawai masing-masing, tetiba Ayu bilang, “Acaranya sudah mulai.”
Benar. Jam sudah menunjukkan pukul 11.05. Sesuai jadwal yang tertera bahwa agenda Media Preview Pameran Arsip Biennale Equator digelar pukul 11.00 pada Selasa (5/10).
Ayu hanyalah satu dari sekian jurnalis yang diundang untuk menyaksikan Pameran Arsip Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 sebelum resmi dibuka esok hari.
Jurnalis lainnya datang dari berbagai media, antara lain: Kompas, Suara Jogja, Harian Jogja, Jogja Istimewa TV, Acara Seni, Poster Seni, dan All You Can Art.
Berdua, kami bergegas memasuki pintu utama Taman Budaya Yogyakarta sebagai tempat perhelatannya. Setelah itu, sebagaimana awak media lainnya, kami berpencar mencari sumber berita.
Ruang pertama adalah orientasi Pameran Arsip dengan tajuk “Game of the Archive”. Pada sisi timurnya, dinding disulap jadi linimasa kisah kolonialisme dan upaya dekolonisasi di negara-negara Selatan, termasuk Indonesia. Mulai dari Perang Dunia hingga Konferensi Asia Afrika.
Terlihat dua awak JITV memantau partisi linimasa. Satu orang mencatat, yang lain merekam. “Kami akan tayangkan di siaran televisi,” ujar awak JITV yang bertugas sebagai pewarta.
“Boleh tulis kejadian politik yang penting di 2021,” tawar petugas Pameran Arsip kepada saya sembari menyerahkan pulpen dan sticky note. Pikirnya, pasti saya awak media.
Enggan berpanjang-panjang, saya isi saja: Tuntutan pembebasan paten vaksin Covid-19 oleh negara-negara Selatan. Segaris dengan linimasa dekolonisasi yang dipamerkan, bukan?
Setelah terpisah dari Ayu dan sepasang awak JITV, saya seperti anak ayam lepas. Bingung, saya memilih untuk memasuki ruang gelap.
Di dalamnya hanya ada komputer, suara pembacaan naskah, dan tiga orang yang sedang berbincang. Ternyata, Alia Swastika, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, sedang menjelaskan instalasi kepada jurnalis Harian Jogja dan Kompas.
Suara dari instalasi tersebut, menurut penjelasan Alia, adalah suara Bung Karno yang sedang membacakan teks pidato “To Build a World a New”. Teks yang dibaca saat Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 di Bandung itu diolah oleh seniman dengan teknologi kecerdasan buatan.
“Data-data tentang Bung Karno dimasukkan dan diolah sehingga memunculkan karakter suara tertentu,” papar Alia. Suara perempuan yang kerap muncul juga datang dari suplai data berita Bung Karno yang banyak berkisar soal perempuan.
Awak media sedang menyaksikan Museum Khatulistiwa berbasis game.
Siluet mengipas terlihat dari Alia. Sejurus kemudian, dia bilang, “Di luar saja kalau mau mengobrol. Panas di sini.” Keluar dari ruang gelap, jalan sedikit, belok kanan, sampailah di “Museum Khatulistiwa”.
Bukan sembarang museum, wahana ini berwujud permainan Minecraft. Permainan kreatif yang mampu menyusun ruang dengan ragam bahan berbentuk piksel dimanfaatkan oleh Komunitas Minecraft.
Merangkum 5 edisi Biennale Seri Equator, instalasi digital interaktif ini bertajuk “Museum Khatulistiwa”. Banyak jurnalis yang perhatiannya tersedot oleh instalasi ini. Beberapa di antaranya bahkan sempat memainkannya.
Hiromi, jurnalis Suara Jogja, adalah salah satu peserta Media Preview yang dibuat terkesima oleh “Museum Khatulistiwa”. “Rekonstruksi gambar dua dimensi menjadi bervolume dengan format piksel bikin saya geleng-geleng kepala,” tuturnya sambil membelalakkan mata.
Baginya, fakta bahwa tampilan dan gameplay seapik itu dikerjakan hanya dalam waktu sebulan merupakan hal yang menambah kesan istimewa “Museum Khatulistiwa”.
Setelah berkeliling, para jurnalis duduk di kursi dan melingkari meja. Ternyata, mereka sedang meminta keterangan dari Alia.
Awak media dari Harian Jogja bertanya soal tujuan tema oseania dari Biennale Jogja XVI. Alia menjawab dengan lugas bahwa inilah upaya untuk melihat ulang Indonesia, tapi dari sisi timurnya.
“Yang pusat dan pinggiran dalam seni adalah perkara akses. Lewat Biennale Equator, kita kian menyadari bahwa semua seni dari berbagai tempat di dunia punya nilainya masing-masing,” jawabnya.
Begitu pula pada Biennale Jogja XVI yang mempertemukan Indonesia dengan Oseania. Seniman dari Indonesia Timur yang berjejaring dengan konteks budaya Oseania, papar Alia, punya peran yang sama sekali tidak kalah penting dalam membangun sejarah seni Nusantara.
“Teknis saja, bagaimana bila hendak mengunjungi pameran-pameran Biennale?” tanya awak Harian Jogja tersebut.
“Daftar dahulu via situs web Biennale Jogja. Pendaftaran mulai tanggal 10 Oktober dan pameran dibuka untuk publik esok harinya,” jawab Alia.
Skema registrasi, tambah Alia, disebabkan oleh adaptasi kebiasaan baru pada pandemi Covid-19 dewasa ini. Per hari dibuka 3 sesi dengan jumlah pengunjung tiap sesi maksimal 50 orang.
Sesi Media Preview usai pada pukul 12.00. Masing-masing jurnalis kembali ke kesibukannya masing-masing.
Ada yang langsung menulis artikel seperti Hiromi. “Tiga artikel dalam satu acara Media Preview,” ujarnya.
Ada pula yang seperti Ayu. Langsung bergegas meninggalkan ruang pamer. Saya susul sembari bertanya, “Mau ke mana?”
Lanjut liputan, jawabnya sembari mengayuh langkah.
Ah, seringkali, peliputan memanglah kesunyian masing-masing (jurnalis).