Sinau Romo Mangun (SRM) menetaskan buku kumpulan esai Membabar Peta, Merupa Bumi. Hanya dengan tenggat waktu empat pekan, buku sudah siap dijelajahi berbagai kalangan. Pengumpulan naskah dari para penulis, penyuntingan, dan layouting dilakukan secepat kilat.
“Sebenarnya (kami) sudah terbiasa mengerjakan buku dengan ritme cepat seperti ini,” tutur Setyaningsih, asisten pengampu Sinau Romo Mangun sekaligus penyunting buku “Membabar Peta, Merupa Bumi”.
Strategi melawan alur waktu itu membuahkan hasil manis. Buku kumpulan esai Membabar Peta, Merupa Bumi diluncurkan pada malam penutupan dan penganugerahan Lifetime Achievement Award di panggung utama Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, Sabtu (13/11) malam. Buku itu dibalut menawan dengan sampul berwarna putih dan desain khas dari Nai Rinaket.
Judul buku yang begitu memikat ini, diusulkan oleh Ayos Purwoaji, kurator pameran utama, yang didiskusikan bersama Bandung Mawardi, kuncen Bilik Literasi Solo. Ayos bercerita, waktu itu, Bandung menjelaskan padanya alasan Romo Mangun memiliki pemikiran yang begitu luas.
“Itu karena dia (Romo Mangun) adalah produk ketika ilmu bumi diajarkan kepada anak sekolah. Pandangan geopolitik, kartografi, dan geografi yang diajarkan, memecah imajinasi mereka (anak sekolah) tentang negara dan benua lain,” terang Ayos.
Kumpulan esai yang menyambangi lautan pikiran Yusuf Bilyarta Mangunwijaya—dikenal akrab dengan Romo Mangun—lewat novelnya, Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa ini, merangkum beragam esai dari 29 penulis kelas SRM.
Berlatar sejarah abad ke-16-17 yang membentangkan kebudayaan masyarakat Halmahera, Maluku Utara, dengan Suku Tobelo, Romo Mangun, melalui novel ini memihak kaum terjajah atas kesewenangan praktik bangsa Portugal, Spanyol, dan Belanda.
Kata kunci mulai dari pangan, erotisme, gosip, bahkan rumah, muncul bagai angin segar di pinggir lautan.
Tantangannya, kata Setyaningsih, adalah menyiasati buku ini agar terbebas dari kelindan citra akademis. “Cukup banyak akademisi di kelas SRM. Jadilah, esai yang beragam itu, tidak kami cantumkan catatan kaki dan referensi agar tidak terkesan seperti jurnal, makalah, atau karya ilmiah,” terangnya.
Kelas yang digelar setiap Kamis sore ini, dirancang bersama Bilik Literasi Solo mulai 7 hingga 28 Oktober melalui platform Zoom. Selain itu, juga menggandeng Laboratorium Sejarah, Teori, Kajian Teknologi dan Desain FAD UKDW, Penerbit Hatopma, Yayasan Dinamika Edukasi Dasar, dan Pusat Dokumentasi Arsitektur.