Era yang serba cepat, apa-apa cepat, bikin menetap jadi suatu kemewahan. Dalam sepakbola, misalnya. Pemain-pemain one club man punya kharismanya tersendiri. Paolo Maldini, 25 tahun di AC Milan. Tidak berpindah barang satu kali pun. Dari junior hingga gantung sepatu. Dari piala ke piala.
Demikian juga di kancah seni rupa. Di lingkup kerja-kerja kuratorial. Terselip satu nama bila hendak bicara one club man: Hermanu dari Bentara Budaya Yogyakarta.
Tiga puluh sembilan tahun. Itulah rentang karir Hermanu di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY). Belum saja sarjana, Hermanu sudah singsingkan lengan baju untuk membidani kelahiran BBY. Tahun 1981 kala itu. Lalu 1982, BBY diresmikan dan Hermanu resmi mengabdi. Memulai perjalanan tiga puluh sembilan tahunnya.
Sepanjang itu, dia mengenyam asam garam BBY. Mulai dari masa vakum dua tahun akibat ketiadaan gedung kantor pada 1991-1992. Lalu melewati fase “Bom Seni Rupa” pada medio 90-an, saat harga seni lukis meledak-ledak. Pada akhirnya, adalah keseharian. Pameran demi pameran, kurasi demi kurasi. Dia lewati.
Hermanu adalah sosok sederhana. Carilah di peramban daring, niscaya tidak akan ditemukan entri “Profil Hermanu”. Bila diketik entri “Hermanu”, amboi, begitu banyak Hermanu di dunia ini. Hermanu Joebagio, Hermanu Triwidodo, Hermanu Widjaja, dan masih banyak. Maka, tambahkanlah kata “kurator” setelah “Hermanu”. Bukan profil utuh, melainkan kabar-kabar kiprah Hermanu sebagai kurator akan memenuhi laman.
Pada lembar data dirinya, memang hanya satu kata itu lah namanya: Hermanu. Lahir di Bojonegoro, 25 September 1955. Masuk Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) pada 1976. Lima tahun berkuliah, dia rengkuh gelar sarjana muda yang kemudian dituntaskannya jadi sarjana bergelar doktorandus pada 1982.
Pada tahun yang sama, dia mendapatkan penghargaan. Bukan sebagai kurator, namun sebagai pelukis. Pratisara Affandi Adhi Karya, kompetisi seni lukis akademik bagi mahasiswa yang digelar dwi-tahunan, disabetnya. Dan itulah satu-satunya penghargaan Hermanu yang berhasil terarsipkan.
Jalan kuratorial Hermanu memang tidak bergelimang trofi. Lagipula, bukan itu yang dikejarnya. Bagi Hermanu, kurator adalah rekan seniman. Membantu seniman mewujudkan seninya. Mendampingi seniman dari awal, bukan hanya saat menuliskan deskripsi karya sebagaimana kebanyakan kurator di awal 90-an.
Frasa pendamping tidak lantas membuat Hermanu merasa berhak mendikte seniman. Alih-alih, yang dilakukannya adalah memfasilitasi seniman. Misal, seorang pematung punya gaya realis, maka sebagai kurator, Hermanu akan memberi wawasan soal seni patung realis yang cocok dengan seniman tersebut. Mulai dari bahan hingga wawasan artistik.
Pernah, suatu ketika, dia menyambangi pengrajin wayang rumput di Purbalingga. Bahannya: rumput Kasuran yang tumbuh di bulan Suro. Selain rumput Kasuran, pantang dia menganyam. Hermanu di situ tidak memaksanya. Meski skala produksi jadi tidak berkembang, tidak apa, katanya. Itu pilihan, tradisi.
Lain cerita ketika dia dan rekannya, Sindhunata, menjumpai seorang pengrajin kaca. Hermanu kasih saran-saran artistik dan pemasaran kepadanya. Diarahkannya untuk mengisi pameran di BBY pada 5-13 November 2016. Lalu, Sindhunata yang notabene seorang jurnalis Kompas, bantu mewawancarai lantas mempublikasikan hasil reportasenya.
Pengrajin, yang semula hanya sebagai sekrup produksi, diajaknya untuk berkreasi. Dari pengrajin, jadi seniman yang punya imajinasi dan daya cipta. Tidak hanya perkara status, nasib hidupnya juga terkatrol. Karyanya ditawar orang, pesanannya jauh meningkat sejak berpameran.
Alih-alih podium juara, inilah yang dikejar Hermanu sebagai kurator: membantu seniman. Baik itu membantu proses kreatif maupun penghidupannya. Selaras pula dengan visi BBY yang dia hidupi nyaris empat dekade ini: membela kaum papa. Segaris pula, kata Hermanu, dengan jargon Kompas sebagai induk BBY: Amanat Hati Nurani Rakyat.
Baginya, seorang kurator yang paripurna adalah mereka yang mampu menyusun pameran bersama seniman sehingga mendapat atensi publik. Dilihat banyak orang, menginspirasi para pengunjung, dan diliput media-media. Semua itu akan bermuara pada terkatrolnya penghidupan seniman. Seperti yang terjadi pada pelukis kaca tadi.
Soal gaya kurasi, tidaklah jauh-jauh dari seni rakyat. Terkisah kala itu, pada medio 80an, galeri-galeri seni di Yogyakarta sedang gandrung akan matra yang sedang naik seperti postmodern. Hermanu bergeming. Dia tetap pada jalur seni rakyat.
Tidak melulu tradisi, seni rakyat dipahaminya sebagai cerita-cerita kesenian dari pinggir kehidupan. Dibuktikan dari banyak gelaran pameran di BBY yang dikurasinya mengangkat topik sejarah dari sudut yang sering luput diliput.
“INDIE”, pameran tentang papan iklan enamel lawas, dikurasi dan dipamerkannya di BBY pada 2018. Di dalamnya, ada kisah tentang pabrik yang gulung tikar sebab disikat Jepang pada awal 40an. Begitu pula dengan pameran sepeda onthel bertajuk “Sarekat Onthel” pada tahun sebelumnya. Ada satu koleksi sepeda onthel milik Sri Sultan.
Baginya, sejarah tidak melulu monumental. Tidak melulu berkisar di antara para pembesar. Barangkali, katanya, sejarah adalah kisah-kisah yang tercecer. Seperti iklan enamel dan sepeda onthel.
Meski bingkai kuratorialnya punya rasa tersendiri, Hermanu mengaku tidak pernah mematok langgam tertentu saat melakukan kurasi. Jalani saja, demikian ucapnya. Seperti halnya dia menjalani tiga puluh sembilan tahun karirnya di BBY.
Sebagai pegawai, nasib Hermanu mental di hadapan administrasi. 2015, kala usianya menginjak kepala enam, dia mesti pensiun. Namun sebagai pengabdi kesenian, BBY adalah hidup matinya. Sampai obrolan di hujan bulan November 2021, Hermanu masih bergiat di sana. Terbaru, dia sedang mempersiapkan pameran kaset yang akan dihelat awal tahun 2022.One club man. Tiga puluh sembilan tahun dan masih menghitung, Hermanu masih setia. Seperti Paolo Maldini, Hermanu adalah anomali. Berkenalan dengan para seniman, membantu mereka, dan beberapa kali dibantu mereka. Itulah yang membuat Hermanu yakin bahwa hidupnya tidak lain adalah mengabdi kepada seni dan BBY.