Rokok di mulutnya sedang menyala, saya tepuk pundaknya. Mengajak berkenalan. “Saya Rofiq dari Broken Pitch,” kenalnya usai saya memperkenalkan diri.
Hari ini (5/10), Rofiq sudah di Jogja National Museum (JNM) sejak pukul 14.00 WIB. Seharian mempersiapkan display pameran, dan malam ini dia hendak istirahat. Menikmati musik gladi resik sembari menunggu bakaran ikan. Sebab, hanya itu hidangan yang urung rampung.
“Kokinya pasti ndredeg. Ditunggu ratusan orang, siapa yang tidak gusar?” lontar Rofiq lantas tertawa.
Selang beberapa lama, Direktur Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 Gintani Nur Apresia Swastika, menghampiri tribun tempat kami berkumpul. Terima kasih sudah kerja keras, silakan nikmati hidangan. Begitu katanya.
Bak semut berjumpa gula, para tamu dan seniman berduyun-duyun menghampiri tempat makan. Lokasinya di sebelah barat panggung utama. Terbagi tiga zona: prasmanan utama, meja minuman, dan meja kudapan. Tambah satu, dapur bebakaran tempat koki yang tadi diguyoni Rofiq.
Antrean prasmanan utama mengular terbelah dua sisi. Saya ambil satu sisil, mendongakkan kepala agar tau formasi lauknya. Terdekat dari jangkauan ada ikan asam manis. Geser sedikit ada udang santan. Jalan selangkah, ada rebusan pepaya dihiasi teri. Makanan laut semua.
Otak dari sajian prasmanan ini adalah Nunung, anggota Dapur Umum 56 yang mengisi ruang pamer di barat lokasi makan. Dia menjelaskan bahwa semua hidangan bercorak bahari. Mulai dari pesisir Sumatera, pantai utara Jawa, hingga kepulauan timur.
“Oseania bukan soal lokasi, tapi lebih pada semangat bahari,” ucapnya.
Entah apakah semangat bahari berpengaruh pula ke semangat makan, setidaknya itu yang terjadi pada Salimah. Seorang pekerja seni yang saya temui di tribun. “Saya ambil semuanya,” jawabnya sambil terbahak-bahak saat ditanya soal lauk yang disantap.
Begitu pula yang terjadi pada anggota Broken Pitch yang sedang bersantap di dekat prasmanan. Presiden, ucapnya saat ditanya soal nama panggilan. Baiklah. Presiden ini, mengambil setumpuk nasi dengan lauk berupa suwiran ikan dan parutan kelapa.
“Ini kohu-kohu. Ikan mentah, Maluku punya. Enak!” ujar seniman yang berasal dari Tidore ini dengan penuh semangat.
Berdasarkan keterangan Nunung, kohu-kohu memang dimasak oleh rekan pekerja seni dari Timur. Lembata, Flores lebih tepatnya. Sambil lanjut berkisah, dia mengambil segelas degan. “Apakah degan dari Oseania juga?” tanya saya.
“Bukan, dong. Tapi masuk kategori bahari. Tapi, omong-omong, degan saya pasti beda dan lebih enak,” pungkasnya sambil lalu dan menyesap segelas degan.