Depan karya fasad menjadi titik Opening Ceremony Biennale Jogja XVI Equator #6 di komplek Jogja National Museum (JNM) Rabu (6/10/2021) sore. Hadirin merayakan semangat Oseania dengan mengenakan pakaian dengan corak Nusantara: batik dari berbagai daerah, ulos, kamen, dan sebagainya.
Mereka kemudian melanjutkan acara pembukaan pameran utama dengan masuk ke area galeri lantai satu. Begitu memasuki ruangan, perhatian mereka dialihkan dengan suara-suara yang begitu keras dan berirama dari ruang instalasi Udeido Collective. Juga suara hentakan kaki yang begitu mencuri perhatian. Hampir semua pengunjung penasaran dan segera mengintip ke dalamnya.
Di dalam ruangan gelap, tarian Serar ditampilkan dengan semangat menggebu dari setiap penampil yang bekerja sama dengan Udeido Collective. Sekitar sepuluh orang menari secara melingkar sambil bernyanyi. Seolah-olah mereka menumpahkan segala emosi, menyuarakan perasaan yang dibungkam. Kulit kayu yang dilumuri cat berwarna coklat menjadi alas mereka menari.
Suasana magis didukung dengan cahaya berwarna biru, merah, dan warna lain yang silih berganti. Kain tembus cahaya menjuntai di atas para penampil seakan menyingkap perjuangan mereka di tanah Papua.
Tari Serar namanya. Berbicara tentang perjalanan menuju Koreri, yaitu ruang jiwa-jiwa manusia Papua hidup dalam kedamaian setelah melewati dimensi material dan segala ironinya. Sekaligus hentakan yang menginginkan tanah Papua yang lebih baik.
“Tarian itu (Serar) kami tampilkan sebagai perayaan dan nyanyian yang akan mengantarkan arwah-arwah orang Papua sampai ke kedamaian. Koreri bukan tempat fiksi dan bukan sekadar ‘surga’. Kami (orang Papua) memaknai Koreri sebagai suatu keadaan damai, juga gerakan yang menginginkan tanah Papua yang lebih baik,” jelas Dicky Takndare, anggota Udeido Collective.
Maxsi Sedik, salah satu penampil tari Serar, sedikit bercerita mengenai tarian tersebut dari perspektif kebudayaan. Katanya, tari Serar adalah tarian rakyat yang biasa ditampilkan ketika upacara adat: mengantar perempuan yang dipinang, mengucap syukur buka untuk lahan baru, dan lain sebagainya.
“Tari Serar dihadirkan karena merupakan bagian dari kehidupan. Menghidupkan jiwa. Walaupun kami sudah merantau, menjelajahi pengetahuan dan kebiasaan baru, bagaimana itu (jiwa) dihidupkan. Lagu yang kami rapalkan itu, yang pertama, merangkul kebersamaan. Yang kedua, memanggil roh-roh orang yang sudah meninggal” kata Maxsi.
Selama hampir satu jam mereka menari dan menari tak kenal lelah. Pengunjung pun datang bergantian, memberikan satu sama lain kesempatan menyaksikan tari Serar dari Udeido Collective.
“Saya berharap pengunjung tidak hanya menikmati keeksotisan tarian, tetapi juga mencoba masuk ke dalam berbagai narasi yang sedang kita bangun di dalam (ruang instalasi),” ungkap Dicky ketika ditanya mengenai harapan terhadap pengunjung yang menyaksikan tarian.
Dicky menegaskan, berbagai masalah sosial, humaniora, dan politik, coba dikeluarkan lewat karya itu (tarian). Ia berharap lebih daripada sekadar menikmati.
Para pengunjung yang tadinya penasaran, keluar dari ruang instalasi Udeido Collective dengan air muka takjub. Salah satunya, Rian Antony dari Dinamika Edukasi Dasar, Yayasan besutan Romo Y.B. Mangunwijaya.
“Saya melihat semangat yang membara dari teman-teman (penampil), banyak kreativitas yang muncul untuk mengekspresikan imajinasi,” katanya singkat dan bergegas melihat karya-karya lainnya.