Sesaat setelah dipersilakan pembawa acara, terdengar suara kaki-kaki menghentak. Ternyata, di sisi barat panggung, terlihat sebaris penari bersiap masuk. Lalu masuklah pria berpakaian putih dengan rompi hitam bermotif etnik.
Sambil berlari, pria yang juga bertudung merah tersebut lantas memutar badan menghadap penonton. Diikuti empat lelaki penari berkostum serupa minus rompi hitam, tarian pun dimulai. Demikian Tari Soya-Soya mengawali pembukaan Biennale Jogja XVI pada Rabu (6-10) sore.
Sehentak dua hentak, bergerak seirama. Cha! Bertukar posisi, berputar. Cha! Demikian para penari yang berasal dari Perkumpulan Keluarga Pelajar Mahasiswa Nuku (PKPMN) menari di halaman depan Jogja National Museum (JNM).
Munistasary Ismail, kapita (pemimpin) dari kelompok Tari Soya-Soya PKPMN, penari dengan rompi hitam tadi, berkisah soal pertunjukannya barusan.
Dahulu, tuturnya, tari asal Maluku Utara ini digunakan saat Sultan Baabullah menyerbu benteng Kastela milik Portugis. “Setelahnya, tarian dilestarikan sebagai penanda kepahlawanan pejuang Kesultanan Ternate,” tuturnya melengkapi sejarah kemunculan Tari Soya-Soya.
Penggunaan atributnya pun menyimbolkan peperangan. Dia berkisah bahwa perangkat yang ada di tangan kanan penari mulanya bukanlah seikat daun woka kering.
“Dulunya pedang sebagai pelengkap perisai. Namun, sebab kekhawatiran akan melukai penari dan penonton, maka diganti dengan yang lebih aman (daun woka),” katanya.
Sekarang, lanjut Ismail, tari ini kerap dipakai untuk menyambut tamu penting. Selain itu, dia juga bilang, tari ini juga lazim dipentaskan pada pagelaran seni di Maluku Utara.
Ladija Triana Dewi, panitia Biennale Jogja XVI, mengungkapkan penunjukan Tari Soya-Soya sebagai pembuka acara sore hari ini punya beberapa latar belakang.
Pertama, Juanga Culture yang notabene berasal dari Tidore, Maluku Utara, mengusulkan agar Tari Soya-Soya dari daerahnya sebagai pementas awal di acara pembukaan Biennale Jogja XVI. Ladija menyampaikan, pementasan ini merupakan bagian dari anjungan aksi dari Broken Pitch x Juanga Culture.
Selain itu, pementasan Tari Soya-Soya juga membawa misi desentralisasi seni. “Semua acara di Jogja dibuka dengan seni panggung Jawa. Dari situlah kami berpikir untuk menawarkan kebaruan,” ungkapnya.
Bersamaan dengan tema Indonesia with Oseania yang diusung Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, Ladija berharap pementasan ini mampu melihat ulang Yang Pusat dan Yang Pinggiran.