Pria berbaju merah mengangkat tangan, hendak bertanya. Dipersilakan, diberi mic kepadanya. “Bila mitos adalah asap, lantas apa sumbunya?” tanya Hafiz Rancajale, penonton.
Pertanyaan ini dilontarkannya kepada kedua pembicara Panel B Biennale Forum, Ika Arista selaku seniman keris dan Otty Widasari sebagai kolaborator Festival Bangsal Menggawe, pada Jumat (8-10) siang. Diskusi bertajuk “Indigenous Discourse as a New Transfiguration to Art” ini digelar di Pendopo Ajiyasa Jogja National Museum.
“Saya percaya mitos pasti ada muasalnya. Dari mana kemunculan mitos-mitos yang disampaikan lewat klenik keris?” tanyanya spesifik kepada Ika.
Tidak langsung menjawab, Ika memberi lanjaran lewat mitos larangan menebang beringin di desanya di Madura. Suatu ketika, angin ribut datang. Menumbangkan beringin. Setelah itu, desa dilanda kekeringan. “Ternyata beringin menyimpan air, menyimpan kehidupan. Itulah pesan dari mitos,” kisahnya.
Hafiz menimpali bahwa masyarakat kekinian kurang berpegang pada mitos. “Lantas, mitos ini perlu diputus, atau bagaimana?” lontarnya.
Ika kemudian menjawabnya dengan meminjam perumpamaan karangan Hafiz. “Bila mitos adalah asap, sumbunya, baranya, adalah pengetahuan,” jawabnya sembari mengingatkan forum pada mitos beringin tumbang.
Mitos, menurut Ika, adalah cara masyarakat lampau untuk melestarikan pengetahuan. Pelestarian pengetahuan lewat mitos (keris) pula yang dilakukan oleh dirinya. Dia mengambil contoh pada gelaran seninya bertajuk “Petodhu” (2016). “Saya berupaya menyampaikan dua wajah Trunojoyo, pahlawan Madura dan pesakitan Mataram, dalam satu bilah keris,” tegasnya.
Sementara itu, Otty punya jawaban sendiri soal mitos. “Masyarakat Kota Pemenang (tempat diselenggarakannya Festival Bangsal Menggawe) sedang menciptakan mitosnya yang baru,” katanya. Sebab, sambungnya, mitos yang dipeluk masyarakat setempat bahwa pariwisata adalah segalanya.
“Saat gempa, pariwisata ambruk, masyarakat runtuh,” kisahnya. Lewat Festival Bangsal Menggawe, mereka berupaya untuk menggali kembali mitos-mitos kehidupan yang bisa dipegang di luar pariwisata.
Namun dirinya juga kurang sepakat bila dikata perlu mencabut mitos status quo secara total. “Pelan-pelan. Kalau perlu, gunakan saja dulu pariwisata untuk menyampaikan pengetahuan yang diinginkan,” sarannya. Dia mengacu pada salah satu cottage di Pemenang yang memberi diskon bagi pengunjung yang mau melakukan pekerjaan sosial di sana.
Itulah yang juga disampaikan oleh Ika soal mitos. “Lihat baranya (pengetahuan), lantas pikirkan apa yang perlu kita panggang dengannya,” tukasnya, bahwa mitos perlu dipakai untuk menyelesaikan persoalan kekinian.