Selain moderator, Lisistrata Lusandiana, podium diisi oleh Mumtaz Khan Chopan, seorang seniman asal Afghanistan yang turut terlibat dalam perhelatan Biennale Jogja XVI Equator #6 2021. Dalam diskusi Biennale Forum pada Sabtu (9/10) siang, juga hadir melalui Zoom Meeting Bunga Siagian (peneliti seni Badan Kajian Pertanahan, Jatiwangi Art Factory), dan Greg Dvorak (Professor of Pacific and Asian History Cultural Studies, Waseda University) sebagai pembicara.
Diskusi yang mengangkat topik tentang praktik kuratorial dalam bingkai “Migration, Land, Home” dilaksanakan secara hybrid, yakni luring di Pendapa Ajiyasa Jogja National Museum (JNM), dan daring melalui Zoom Meeting.
Setelah moderator menerangkan secara padat konteks yang akan dibicarakan dalam forum, lewat layar proyeksi, Bunga Siagian menjadi yang pertama menyampaikan presentasinya. Ia menerangkan mengenai kerja Badan Kajian Pertanahan (BKP) dengan menggunakan pendekatan artistik dalam menangani isu pertanahan di Wates, Jatiwangi.
“Meskipun rumah masyarakat Jatiwangi berdiri sejak awal Indonesia merdeka, sampai sekarang mereka tidak punya status kepemilikan tanah yang jelas. Dulu tanah itu diambil pihak Jepang, setelah kemerdekaan justru diambil alih TNI dan tidak dikembalikan kepada masyarakat,” Bunga menerangkan.
Dengan berbekal narasi mitos dan ingatan kolektif, ia bersama masyarakat Wates mewujudkan kembali memori tanah mereka dengan menanam beras hitam. Berkat itu, selanjutnya muncul ritual baru, seperti ibadah di tengah sawah, selawat tengah tanam, dan perayaan musim panen tiap tahun. Semuanya diikuti oleh masyarakat dengan antusias. Tanah itu perlahan menjadi ruang kultural anyar.
“Beberapa kali sempat muncul wacana TNI AU mendirikan pos di atas tanah tersebut. Meski belum terealisasi. Kami menggunakan tanah itu sebagai wilayah kultural. Di atas tanah itu, kami menanami beras hitam dengan pendekatan organik. Metodenya supranatural farming,” tambah Bunga.
Setelah Bunga, kemudian Prof. Greg juga menyumbang pendapatnya tentang isu wilayah. Bagaimana memaknai tanah kepulauan dalam kesatuan laut.
“The land is so important for the people in the pacific as well. But I also think it’s important to understand that land is also deeply connected to the ocean and to the sky, to the heavens, and to connections between places, between histories, between legacies, it’s all about relationality,” kata Greg.
Menurutnya, tanah merupakan relasi atas tempat, sejarah, dan warisan kolektif masyarakat.
Dari Greg, moderator mengarahkan materi selanjutnya kepada Mumtaz. Sebagai seorang Afghanistan yang telah mengalami perjalanan jauh dari tanah kelahirannya, ia merasa migrasi adalah upaya mencapai rumah itu sendiri. Ia mengutip puisi Abdul Qadir Bedil, seorang penyair India tentang makna rumah bagi para pengungsi.
“We are the displaced soil from the flood of madness our hearts carry the wealth of a hundred runes,” begitu Mumtaz melihat migrasi bukan hanya sebagai perpindahan tempat, tapi juga transformasi sejarah dan memori masyarakat.
Sebagai closing statement-nya, seusai terjadi tanya jawab. Mumtaz teringat apa yang dikatakan adiknya terkait rumah bagi mereka.
“What is home for my little brother who is mentally disabled, is, for him, whenever he asks my mom, “when will we go home?” for him, home is a bag of rice and his fabric blanket.”