Tergagap-gagap dalam mengikuti langkah penyusunan musik elektronik, dia menghampiri saya. Sembari menuntun jemari saya memijit tombol yang benar, dia bilang, “Kita tunggu yang belum bisa. Tidak apa lambat, asal bareng.” Dialah Asep Nayak di tengah Lokakarya Dansa-dansi Wisisi pada Minggu (17/10) di Area Karya Dapur 56 Jogja National Museum (JNM).
Mulai dari 13.30 WIB, Asep memandu lokakarya meracik musik Wisisi. “Tidak ada arti spesifik. Intinya, Wisisi adalah pelipur lara,” ungkapnya soal arti dari Wisisi.
Bermula dari pentas musik yang diinisiasi musisi bernama Nikolas Wiligma di Wamena, dia mulai menggeluti Wisisi. Saat itu 2013, berbekal laptop, dia utak-atik aplikasi Fruity Loops Studio secara otodidak. Aplikasi yang kemudian dipakainya hingga saat ini, termasuk saat lokakarya.
Setelah orientasi soal Wisisi, lokakarya dimulai dari menyusun pola dasar. Total ada 6 pattern yang dipandu Asep untuk kemudian diikuti lima peserta lokakarya yang hadir. Setelah itu, barulah menyisipkan variasi.
Peserta lokakarya khidmad menyimak penjelasan Asep Nayak melalui layar proyektor.
“Ini dia yang saya tunggu-tunggu. Variasi!” ujar Wok The Rock sebagai salah satu peserta.
Tidak hanya dia, semua peserta sangat antusias dalam meramu variasinya. Seorang peserta bernama Wihandoko sampai memasang headphone. Hendak khusyuk.
Sementara itu, Syuja Amanullah dan Mayong Bibakkati yang juga peserta sesekali mengarahkan telinganya ke lubang suara laptopnya. Hendak menyimak lamat-lamat nada kreasinya.
“Ambil kabel speaker itu. Colok kemari, coba setel musik saya,” ujar Hahan, sapaan Wihandoko, kepada saya yang sudah mematikan laptop tanda menyerah. Diawali suara seperti triangle atau ketukan botol kaca, Wisisi karya Hahan membahana yang kemudian dapat jempol dari Asep.
Pamer karya selanjutnya digelar oleh Mayong dan Syuja. Keduanya bereksperimen. Mayong mencampur dengan ambience sound bekas proyek filmnya. Sementara Syuja menaruh tabuhan snare di ujung Wisisi.
Mayong dan Syuja memang sejak awal berniat mengikuti lokakarya ini. “Baru pertama kali dengar Wisisi dan tertarik dengan musik Timur sebab keunikan nadanya,” demikian kata Mayong soal ketertarikannya pada lokakarya Wisisi ini.
Ke depannya, mereka belum tahu apakah mau lanjut menjelajahi nada-nada Wisisi atau tidak. “Namun saya penasaran dengan perkembangan Wisisi di belantika musik Indonesia ke depannya,” ujar Syuja.
Setelah terpotong sesi makan bersama dari Dapur 56, lokakarya berlanjut hingga 17.30 WIB. Empat jam, tidak ada peserta yang meninggalkan tempat terlebih dahulu. Termasuk saya, meskipun tidak kunjung lihai. Bahkan, seusai acara, Hahan hendak mencatat dan berbincang lebih lanjut soal meramu Wisisi tadi bersama Asep.
Memang, selain bikin sedih luntur, Wisisi juga bisa buat lupa waktu. Seperti halnya Asep yang mengaku suka lupa makan bila sedang meracik musik Wisisi. “Boleh membuat musik Wisisi di rumah, asal jangan lupa angkat jemuran,” demikian Gintani Nur Apresia Swastika, Direktur Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, mengingatkan.