“Halo, Bawaslu? Saya mau melaporkan kecurangan.”
Diikuti suara cekikikan dari penonton, kira-kira itu kutipan yang membekas di ingatan seusai menonton Jastip: Jasa Tipu-tipu. Sore itu, Sabtu (16/10), Bioskop Oseania juga menghadirkan dua film lainnya: Dimana Nurani dan Elegi Bala’ Puti yang masing-masing berdurasi 20 menit.
“Menipu penipu.” Itulah yang muncul di kepala ketika berusaha merangkum film Jastip: Jasa Tipu-tipu dengan dua kata. Mengapa?
Film garapan Reny Suci ini berkisah tentang dua orang mahasiswa di Kota Sumbawa, Fikri dan Ipin, yang lumayan sukses bergadang madu palsu dari gula—tetapi tidak ada yang tahu. Kesuksesan itu lantas dilirik Pak Agus, seorang calon Bupati, untuk mengiklankan dirinya lewat penjualan madu itu.
Alih-alih betulan mendapat dukungan dengan uang yang ia sematkan di botol madu, Pak Agus malah tertipu dengan madu yang ternyata palsu. Ipin kemudian melaporkan adanya politik uang ke Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum).
Irisan pengalaman sosial dan politik ini mungkin satu dari ribuan ironi yang terjadi di tanah Sumbawa. Film yang dikurasi Sumbawa Cinema Society (SCS) ini juga membuka mata penonton bahwa praktik-praktik politik uang ternyata juga terjadi di luar kota-kota besar.
“Jadi tahu, ternyata hal-hal seperti itu (politik uang) juga terjadi di daerah-daerah seperti Sumbawa, tidak melulu di Jakarta,” ujar Aisyah Alifah, mahasiswa Antropologi UGM. Ia, bersama temannya, sedikit mengomentari sikap calon bupati di film itu.
Katanya setengah bercanda, jika ia adalah calon bupati yang ditipu, ia pasti akan memanggil preman untuk menangkap penjual madu palsu.
Berbeda dengan Aisyah, Galih Eko Kurniawan menanggapi situasi yang ditangkap di dalam film. “Film ini mengangkat situasi sehari-hari, ya. Umumnya, kalau ada pemilihan, kan, ada politik uang. Apalagi mengangkatnya pakai kondisi terkini yaitu maraknya toko daring,” ungkap dokumenter Taman Budaya Yogyakarta (TBY) itu.
Melalui percakapan kasual dengan kedua penonton Jastip: Jasa Tipu-tipu, paling tidak ada satu hal yang dapat dipetik: politik uang yang, sedihnya, dianggap normal di negeri ini.