Dyah Retno merupakan salah satu seniman yang terlibat dalam pameran utama Biennale Jogja XIV Equator #6 2021. Sebagai seorang seniman keramik, ia banyak berkarya melalui eksperimen dengan mengeksplorasi berbagai jenis material. Keterlibatannya dengan Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 di mulai dari tahun sebelumnya, ketika mengikuti program Asana Bina Seni. Saat itu, ia mempresentasikan karyanya mengenai pengolahan tanah limbah, dan pada tahun ini, diberi kesempatan kembali untuk terlibat dalam program residensi dan pameran utama di Biennale Jogja XIV Equator #6.
Dyah melakukan residensi pada bulan Juni hingga Juli 2021 di Indonesia bagian timur, Kupang. Tepatnya, di komunitas Lakoat.Kujawas yang ada di Mollo. Komunitas ini bergerak di bidang pengarsipan dan juga menekuni pengolahan pangan lokal. Bersama komunitas ini, Dyah melakukan perjalanan residensinya selama 2 minggu.
Aktivitas yang dilakukan Dyah bersama Lakoat.Kujawas banyak bereksperimen dan melakukan pencarian tanah liat yang ada di daerah NTT, seperti di Mollo dan Fatumnasi. Menurutnya, tanah liat di NTT dengan yang ia temukan di daerah lainnya, seperti di daerah Pagerjurang, daerah Gedong maupun daerah Godean, karakteristiknya berbeda-beda.
Merunut kisah, gerabah sebenarnya sudah pernah digunakan oleh masyarakat Mollo. Namun dengan seiring perkembangan zaman, ketertarikan gerabah di NTT juga semakin menurun. Kini, jadi hanya ada satu desa yang masih membuat gerabah, namun toh tetap tidak banyak, hanya beberapa orang.
Setelah menemukan tanah yang tepat, Dyah membuat workshop sederhana di Lakoat.Kujawas yang diikuti oleh beberapa warga, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Dalam prosesnya, ia mengajarkan teknik untuk bereksperimen sekaligus menentukan potensi lokal tanah liat di daerah tersebut untuk mencari tahu apakah dapat diolah atau tidak. Setelahnya, Dyah mengajak peserta workshop untuk melakukan proses pembentukan, pengeringan hingga pembakaran.
Ketika workshop berlangsung, Dyah menemukan beberapa kendala. Beruntungnya, teman-teman dari Lakoat.Kujawas dan warga sekitar sangat kooperatif untuk menangani kendala tersebut. Misalnya soal cuaca yang dingin, bahkan 11-15 derajat di siang hari dan tidak ada matahari yang membuat tanah liat sulit dikeringkan. Meski demikian, mereka kemudian mengeringkannya di Rumah Lopo (rumah bulat) sehari semalam dengan menggunakan kain.
Pun demikian dengan proses pembakaran. Karena tidak adanya tungku yang dapat membakar keramik, Bapa Fun salah satu peserta, cepat tanggap untuk membuat tungku dadakan dari material bekas tong yang biasanya digunakan untuk memasak babi.
Setelah workshop, mereka ingin sekali membangun footlane, membuat tungku dari tanah liat untuk proses pengawetan, juga untuk membuat roti dengan bahan yang mudah ditemukan.
Dari hasil perjalanan residensinya, Dyah melihat bahwa karakteristik tanah liat di Mollo memang lebih sulit diolah dan mudah pecah. Juga karena cuaca yang sangat dingin dan jarang sekali ada matahari. Selain sulit kering, tanah juga terlihat berwarna hijau dan keabu-abuan.
“Dari hipotesisku, memang tanah liat tersebut masih berada di ranah earthenware, namun daya perekatnya lebih rendah dari tanah liat yang aku gunakan dari daerah Pagerjurang dan daerah Godean,” kata Dyah.
Selain mencari jejak gerabah, dan juga mengenali potensi tanah liat, Dyah menemukan motif-motif gerabah. Menurut Dyah, “memang motif-motifnya banyak menggunakan motif segitiga atau motif zig-zag yang aku pikir itu berasal dari aksara-aksara kuno yang disajikan.”
Residensi itu juga melahirkan karya bagi Dyah. Mesti tidak sepenuhnya tanah yang digunakan dari NTT, tetapi ia menyadari bahwa karyanya memang dipengaruhi pengalamannya dalam menjalani residensi. Karya itulah yang kemudian dipresentasikan dalam gelaran Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 di Jogja National Museum.
Karya Dyah berusaha memadukan tiga tanah liat dari daerah NTT, Godean, dan Pagerjurang. Karena ketertarikan Dyah pada pendekatan material, ia mencoba membandingkan ketiga tanah liat tersebut.
Selain karya instalasi, Dyah pun membuat mural yang dimana materialnya dibuat dari tanah liat daerah NTT dan itu sangat mudah lepas karena karakteristik tanah liat tersebut sulit untuk dibuat keramik atau gerabah. Dalam karyanya pun Dyah mengambil dari aksara lota, sebagai upayanya untuk memperkenalkan kepada masyarakat luas.
Kabarnya dari teman-teman daerah NTT, aksara lota ini hanya ada tinggal dua orang tua yang bisa menguasainya. Jika keduanya meninggal, bisa jadi pengetahuan itu juga akan hilang.
Inspirasi lain yang mengilhami Dyah adalah rumah bulat. Rumah itu biasanya digunakan untuk berbagai aktivitas dan musyawarah. Dyah kemudian mengadaptasi kursi dan bentuk melingkar dalam karyanya di Biennale Jogja XVI Equator #6.
“Terima kasih untuk Biennale Jogja atas kesempatan kali ini, memberikan saya tempat untuk belajar dan mengirim saya untuk residensi di daerah NTT dan menjadikan saya seniman di pameran utama Biennale Jogja. Semoga ke depannya bisa lebih baik, bisa memberikan pengetahuan baru untuk teman-teman dan masyarakat luas,” ujar Dyah Retno.