Ruang temaram. Di tengahnya, terdapat kasur dan kelambu. Bukan semata guna berbaring, selangkah kecil di depan kasur, ada meja, dan seperangkat alat lukis damar kurung. “Kami hadirkan kembali Masmundari,” jelas Novan Effendi dari Damar Kurung Institute.
Lewat Gagasan Terbuka #2 yang digelar via Live YouTube pada Jum’at (22/10) pukul 13.00, Novan berkisah soal instalasi arsip Masmundari di Biennale Jogja XVI Equator #6 2021. Idenya adalah menghadirkan kembali Masmundari lewat kamar pribadi. Selain lebih emosional, kamar pribadi memang ruang yang dipakai Masmundari dalam mencipta lukisan Damar Kurung.
Novan juga bercerita tentang motif ekonomi di balik Masmundari dan Damar Kurung. Setahun, ungkapnya, Masmundari bisa melukis 300-400 Damar Kurung. “Ludes hanya dalam dua jam saat musim ziarah sebelum Ramadhan tiba,” tuturnya.
Fenomena berkesenian Masmundari lewat pola subsisten dengan Damar Kurung-nya menarik minat Salima Hakim. Salima yang juga merupakan seniman tamu pada Gagasan Terbuka kali ini mengomentari tentang “yang-seni dan yang-kerajinan”.
Dia mengakui, komentar semacam itulah yang mengawali penciptaan karyanya yang sekarang ditampilkan di Biennale Jogja XVI. “Mengapa banyak masters, namun tidak dengan mistress?” demikian gugatannya atas sejarah seni yang terlampau “laki-laki”. Lantas dia menembak pertanyaan itu kepada persoalan pengarsipan.
“Bila kendala bias gendernya ada pada pengarsipan, saya tarik hingga jauh ke belakang: awal mula manusia,” jelasnya. Dari situlah Salima mulai menyadari ketimpangan gender pada representasi pengarsipan sejarah umat manusia. Maka, karyanya memang ditujukan untuk membongkar narasi sejarah “laki-laki” yang mapan itu. Demikian kata Salima.
Baginya, sejarah, bahkan evolusi manusia itu sendiri tidak bisa berjalan tanpa perempuan. “Ada proses reproduksi yang menjamin kelangsungan regenerasi spesies dan itu butuh perempuan,” ujar Salima. Perempuan dipinggirkan dalam sejarah, termasuk sejarah seni.
“Seperti Masmundari, perempuan sering dilihat sebagai pengrajin alih-alih seniman,” tukas Salima. Hal inilah yang kemudian membuat karya perempuan diluputkan dari historiografi seni. Lewat instalasinya yang menggunakan seni jahit sebagai medianya, dia tegaskan bahwa kerajinan dan seni adalah setara.
Novan pun bercerita bahwa butuh waktu lama bagi Masmundari untuk mendapat pengakuan dari “dunia seni”. “Masmundari baru pertama kali berpameran pada 1986-1987, tepatnya di Bentara Budaya Jakarta,” ungkapnya.
Puluhan tahun menyambung hidup dengan Damar Kurung, barulah dia dipandang setara dengan “seniman” alih-alih semata “pengrajin”.
Harus digugat. Begitulah kata Salima soal dominasi wacana yang meminggirkan perempuan di kesenian. Bahwa Masmundari dan dirinya dan perempuan-perempuan lain adalah seniman. Bahwa Damar Kurung dan instalasi jahitan adalah seni. Bukan hanya pengrajin dan kerajinan.