Bilik Korea Biennale Jogja XVI Equator #6 2021: Hacking Domesticity merangkum sejarah dan pengalaman perempuan dari konteks kebudayaan yang berbeda—Indonesia, Korea Selatan, Thailand, dan Kamboja melalui karya-karya seni dari tujuh seniman: Agnes Christina, Ampannee Satoh, Chang Jia, Etza Meisyara, Fitri DK, Siren Eun Young Jung, dan Sao Sreymao.
Ketika berusaha menyelami karya, hati saya terdiam. Bukan karena mati rasa, justru saya merasa bersalah karena menyadari saya begitu berjarak. Seolah ada jurang antara pengalaman saya dengan perjuangan perempuan—atau keperempuanan—yang mengilhami karya-karya seni di sini.
Bagaimana saya bisa membangun dan meniti jembatan antara pengalaman dan perjuangan?
Produk seni dan komunikasi
Berawal dari karya “Nyawiji Kanggo Ibu Bumi” yang menjuntai di sebelah kanan di ruang pamer Museum dan Tanah Liat (MDTL). Tergambar di helaian kain, seorang perempuan duduk mengenakan caping. Kedua kakinya dipasung semen, bertuliskan “Tolak Pabrik Semen” dan “Kendeng Lestari”.
Karya Fitri DK ini menggarisbawahi perlawanan para ibu petani di Kabupaten Kendeng yang menjadi garda terdepan melawan pembangunan pabrik semen di lahan persawahan di sana. Mereka melakukan aksi-aksi simbolis—berdoa dan memasung kaki dengan semen selama berhari-hari—di hadapan Istana Presiden dan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat.
Karya ini mengingatkan saya pada berita berjudul “Selamat Jalan Yu Patmi” di Tirto.id yang pernah saya baca lewat sebuah buku, Kabar Buruk Hari Ini oleh Mawa Kresna. Yu Patmi, seorang perempuan pejuang Kendeng, berpulang selepas aksi memasung semen di depan Istana Negara pada 21 Maret empat tahun silam. Warta itu jelas meninggalkan duka mendalam, terutama bagi para pejuang Kendeng.
Secara garis besar, berita ini mencoba menyambangi isu-isu kaum yang selama ini dimarjinalkan dalam pemberitaan media massa arus utama.
Kedua karya ini jelas produk yang berbeda—seni dan komunikasi. Namun, keduanya menyentil saya dengan cara yang nyaris sama. Melihat karya seni dan membaca berita, sama-sama membuat saya merasa bersalah dan semakin membuat saya hampir terpeleset jatuh ke dalam jurang itu.
Mengusik persepsi
Ketika melangkah lebih jauh ke dalam ruang pamer, saya mendapati karya yang lain: “Physical Requirements for becoming an Artist “2nd-Enjoy Yourself in Every Condition” karya Chang Jia yang menggabungkan seni pertunjukan dan media video.
Seniman asal Korea Selatan ini menampilkan seorang perempuan berambut lurus, panjang, dan hitam, dengan baju putih bersih. Ia menatap kamera dengan tenang dan sesekali tersenyum. Saya begidik.
Yang membuat saya semakin merinding, seseorang—selanjutnya lebih pantas disebut penyiksa—tiba-tiba meludah ke arah perempuan itu. Setelah wajah dan rambutnya penuh ludah, penyiksa kemudian melempar telur mentah ke arahnya. Rambut perempuan yang tadinya rapi, juga baju putih yang sebelumnya bersih, menjadi kotor dan berantakan.
Belum cukup, penyiksa menampar dan mengguncang-guncangkan kepala perempuan berulang-ulang.
Yang saya amati, perempuan itu masih saja senyum dan menyeringai ke arah saya.
Apa maksudnya? Apakah siksaan itu menyenangkan baginya? Saya mencecar banyak sekali pertanyaan—baik yang benar-benar berbentuk kalimat tanya, maupun yang berbentuk kumpulan tanda tanya—pada diri saya sendiri.
Sontak, saya langsung terpikir perempuan-perempuan penyintas kekerasan yang melihat karya ini. Walaupun saya tahu, video itu adalah seni pertunjukan—yang pasti diarahkan—tetapi rasa sakit tetaplah rasa sakit.