Membincang sinema dalam menyuarakan wacana, tidak terlepas dari jejaring di antaranya.
Salah satu kata kunci kerangka kuratorial—wacana desentralisasi—direntangkan Sumbawa Cinema Society (SCS) dan Papuan Voices dengan melakukan kurasi program film pada Bioskop Oseania. Berisi pengalaman para filmmaker tentang persoalan sosial, kultural, dan peristiwa yang terjadi di wilayah tinggal mereka, khususnya Sumbawa dan Papua.
Program yang dihadirkan setiap akhir pekan ini, berusaha menyampaikan wacana kuratorial dengan cara yang lebih mudah diserap para pengunjung daripada lewat karya seni rupa. Begitu yang disampaikan Putri Harbie, asisten kurator pameran utama Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, ketika mengawali diskusi.
“Keberpihakan film kami itu jelas. Kami banyak menyelipkan pesan-pesan dan pusaran konflik lewat film,” tegas Ridho Fisabilillah dari SCS sebagai salah satu pembicara pada Forum Diskusi Publik #7 “Bertemu Mitra Bioskop Oseania: Bincang Program Sinema, Senin (25/10) siang.
Selain Ridho, Urbanus Kiaf Yolmen dari Papuan Voice juga memperkaya jalannya diskusi. Diadakan melalui platform Zoom, diskusi ini dipandu Riskya Duavania dari tim Program Festival Film Dokumenter.
Film, menurut Ridho, dapat menjadi corong bersuara terutama bagi teman-teman pegiat film, baik di Sumbawa, maupun Papua. Walaupun ekosistem film di Sumbawa yang menurutnya gersang, ia tetap menaruh harap.
Membincangkan ihwal itu, ia juga menyinggung kekuatan jejaring komunitas. Suara-suara yang terbungkam di Timur, dapat diamplifikasi dengan film dan jejaring. Di antaranya, komunitas film lokal layaknya SCS dan Papuan Voice.
“Tantangan kami (SCS), adalah bagaimana kegiatan perfilman dilakukan secara konsisten walaupun berada di ekosistem perfilman yang gersang. Bagaimana caranya? Salah satunya dengan jaringan komunitas film,” jelasnya.
Lebih jauh, Urbanus juga mencermati pentingnya komunitas film bagi para pegiat film independen. “Kami (Papuan Voice), melihat dinamika (perfilman) hari ini, banyak (pembuat film) yang mengunggah film mereka di media sosial pribadi. Lalu, kami arahkan mereka untuk (bergabung) ke komunitas agar posisinya jelas. Kami melatih diri bersama-sama untuk bersuara melalui film,” pungkasnya.