Phallus-phallus mengacung. Batangnya dari proyektil, buah zakarnya dari kepala manusia. Di sekitarnya, tergantung dan berserakan pakaian dalam perempuan.
“Ini representasi dari kekerasan seksual atas perempuan di Papua oleh militer Indonesia,” papar Ayos Purwoaji, kurator Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, soal instalasi di “Koreri Projection” karya Udeido Collective.
Paparan itu diberikannya kepada para peserta kuliah lapangan mata kuliah Etnografi Oseania dari S-1 Antropologi Budaya UGM. Kegiatan ini dilaksanakan pada Rabu (27/10) pukul 15.30 WIB. Rombongan kuliah lapangan terdiri dari delapan peserta, plus Muhammad Zamzam Fauzanafi selaku dosen pengampu mata kuliah.
“Karya seni bukanlah ruang vakum sehingga kemudian mampu merefleksikan konteks sosial-politik dari senimannya,” ujar Zamzam.
Kalimat Zamzam merupakan preteks atas harapannya terkait kuliah lapangan kali ini, yakni soal relevansi antara teks Etnografi Oseania dengan karya-karya seni bertemakan Oseania. Namun, pemaknaan soal Oseania merupakan diskursus tersendiri. “Pada mata kuliah Etnografi Oseania didominasi oleh paparan tentang budaya pulau-pulau Pasifik,” ungkap Abiyyi Yahya Hakim, peserta kuliah lapangan.
Pemaknaan Oseania yang seperti inilah yang, menukil Ayos, perlu digugat. “Siapa dan apa itu Oseania? Seringkali kita mendefinisikan Indonesia sebagai Asia Tenggara, padahal bagian Timur justru erat relasi budayanya dengan Oseania,” ujar Ayos sesaat sebelum memasuki Gedung Utama.
Perihal relevansi dengan materi kuliah, Abiyyi condong pada bab seksualitas. Abiyyi punya impresi alternatif alih-alih merefleksikan gagasan “Island of Love” yang, menyadur perkataan Zamzam sebelum memasuki Gedung Utama, dominan. “Kekerasan seksual justru jadi kesan paling mencolok,” terangnya.
Senada dengan Abiyyi, Novita Cahyani yang juga peserta kuliah lapangan, punya impresi mendalam atas karya Udeido Collective tersebut. “Tak terbayang,” ungkapnya soal kesan yang ditangkap dari instalasi. Bukan hanya soal kesamaan gender, baginya, kekerasan seksual atas perempuan Papua tidak bisa dibenarkan.
Matahari tenggelam. Langit menggelap. Rombongan kuliah lapangan mencari tempat terang guna berkumpul. Bersimpuh melingkar di Panggung Utama Jogja National Museum (JNM), mereka merefleksikan temuannya selama kunjungan barusan. “Pada akhirnya saya berpikir, inilah peran antropologi. Membantu masyarakat memahami identitas dan persoalannya,” ujar Akhe Salsabila, peserta kuliah lapangan.
Phallus masih mengacung, pakaian dalam masih terhambur. Para mahasiswa antropologi pulang, dengan pernyataan Akhe yang masih menggantung: peran antropologi. Mampukah persoalan-persoalan kekerasan di tanah Papua mampu dibaca, dipersoalkan, dan diselesaikan, lewat kerja-kerja antropologi?