“Nenek, bukankah kau sudah meninggal sebab kanker paru-paru?”
“Oh iyakah? Sial.”
Demikian cuplikan salah satu episode kompilasi tuturan horor karya Yudai Kamisato. Pertemuan, judulnya. Penayangan ini adalah bagian dari acara Gagasan Terbuka: Bincang Seniman #5 pada Selasa (2/11) pukul 19.00 WIB yang disiarkan lewat Zoom dan Live YouTube.
Alkisah, seorang warga Okinawa bertemu arwah nenek yang sudah meninggal di hari sebelumnya. Alih-alih tegang, Pertemuan berakhir anekdotal sebab sang nenek justru baru ingat atas kematiannya. “Di Okinawa, hantu dan monster diceritakan hidup berdampingan dengan manusia,” tutur Yudai.
Warga Okinawa biasa bersisian dengan marabahaya. Bukan hanya monster dan hantu, tsunami juga dijadikan konco. Motoyuki Shitamichi, arkeolog cum seniman asal Okinawa, mempresentasikan karyanya. Ditampilkan di Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, dipasang di dinding lantai 3 Jogja National Museum, karya ini dinamai Tsunami Boulder.
Batu Tsunami. Michi bilang, di Okinawa sering terjadi tsunami. Kemudian, tsunami mengangkat batu-batu besar dari dasar laut ke pesisir. Lewat sembilan panel video hitam-putihnya, Michi menampilkan batu-batu tsunami yang berbeda.
“Kehidupan mengambil alih batu-batu tersebut,” ujar Michi. Secara harfiah, batu tsunami memang dihinggapi kehidupan. Burung bertelur, nelayan melempar joran. Bahkan, satu batu pernah terdokumentasi sedang dijajaki kambing.
Secara simbolik, budaya dan legenda berkisar di antara batu-batu tsunami. Ada batu yang dijadikan penanda wilayah. Ada pula yang disembah. “Di padang rata, terserak batu tsunami yang bulat. Ini anomali sehingga orang mengkultuskannya,” kata Michi.
Sebelum berjumpa dengan pengarsipan batu tsunami pada 2014-2015, refleksi Michi diawali pada Tsunami Jepang 2011. Pada suatu wilayah di Jepang bagian Timur, Michi mendapati bangkai kapal kesasar di pemukiman warga.
Meski pada akhirnya bangkai kapal itu dipindah, imajinasi Michi kadung terpantik. “Bagaimana bila kapal tetap disitu? Adaptasi seperti apa yang dilakukan warga sekitar?,” tanyanya. Demikian pada akhirnya membawa Michi kepada alternatif artefak lainnya: batu tsunami di Okinawa.
Bersama tsunami dan kisah horornya, warga Okinawa hidup bersisian. Apakah ini ulah Perang Pasifik, seperti kata Elia Nurvista selaku moderator, sehingga warga Okinawa menganggap bahaya adalah keseharian? Entahlah. Tapi, dari Yudai dan Michi kita tahu. Di Okinawa, tsunami memang marak dan hantu tak mengagetkan lagi.