Ribuan direct message memenuhi Instagram @biennalejogja. Ratusan dibalas secepat mungkin. Ratusan lainnya, mohon maaf, tenggelam ke dasar. Pertanyaan seputar registrasi pengunjung, jam buka, dan persoalan lainnya, datang tanpa henti.
Huhum Hambilly, Koordinator Komunikasi Publik Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, buka suara. Instagram menjadi senjatanya untuk menjangkau publik. Tiktok, YouTube, dan Twitter juga dimanfaatkan dengan penuh strategi. Setelah itu, engagement jadi sasarannya.
“Kita punya gambar paling bagus dan narasi paling keren, ketika dilempar ke media sosial, realitasnya ada di engagement,” tutur Huhum di panggung Jogja National Museum (JNM) pada Sumber Terbuka: Bincang Pengelola, Kamis (11/11) sore. Menurutnya, komunikasi publik dikatakan gagal ketika engagement konten media sosial cenderung rendah atau bahkan nihil.
Huhum memandang Biennale Jogja sebagai momentum publik untuk merayakan event kesenian, mengingat situasi pandemi yang menegangkan dan menakutkan nyaris dua tahun belakangan. “Teman-teman yang ingin berkunjung ke Biennale itu hasratnya seperti ingin belanja di Beringharjo,” ujar Huhum berusaha mencari analogi sambil tertawa.
Konten media sosial ditata dengan apik oleh tim Komunikasi Publik yang diarahkan Huhum. Kecenderungan masyarakat bermain media sosial hingga lupa waktu, menjadi alasannya bersungguh-sungguh menggarap media sosial Biennale. “Kecenderungan itu jadi satu alasan krusial dan strategis menggunakan Instagram, YouTube, Twitter, dan Tiktok yang terintegrasi dengan website, program, dan kegiatan yang berlangsung,” ungkapnya.
Suguhan cerita di Instagram, video-video di YouTube, cuitan di Twitter, hingga tagar di Tiktok, diunggah dengan penuh pertimbangan. Kuncinya, menurut Huhum, adalah strategi visual. Timnya akrab dengan susunan linimasa unggahan konten, jadwal publikasi program dan kegiatan, hingga membangun ritme publikasi media sosial.
Prestasinya, tagar #biennalejogja di Tiktok, mencapai 1,3 juta penonton. Lonjakan pengunjung dan meledaknya komentar di media sosial kemudian menjadi data bagi tim Komunikasi Publik untuk menyusun bahasa dan visualisasi karena perubahan pola berlangsung sangat cepat.
Di balik sibuknya media sosial Biennale Jogja, kualitas pengunjung perlu jadi pertimbangan. Oleh karena itu, selain jadi perayaan, Biennale Jogja, lewat informasi yang ada di media sosial, perlu ditanggapi pengunjung sebagai wawasan. Publikasi media sosial dapat menjadi ilmu pengetahuan. jangkauan publik yang tepat akan menggaet pengunjung berkualitas.
“Jangkauan publik perlu dilakukan dengan tepat untuk menggaet pengunjung berkualitas. Mereka yang tidak sekadar hura-hura yang bikin huru-hara,” pungkas Fairuzul Mumtaz, moderator pada hari ini, yang mengarahkan diskusi Bincang Pengelola ke pembicara selanjutnya.