Ali mau merdeka.1Kisah Ali Joya, pengungsi Afghanistan yang bunuh diri setelah delapan tahun urung dapat kepastian soal statusnya. Lengkapnya di https://megapolitan.kompas.com/read/2021/08/25/13170661/kisah-pilu-pengungsi-afghanistan-di-indonesia-lama-terkatung-katung?page=all#page3 Pergi dari Afghanistan, kabur dari Taliban. Masuk ke Indonesia, delapan tahun menunggu. “Dia ingin sejahtera, hidupi keluarganya,” ujar Mujtaba, sobatnya.
Akhir kata, Ali merdeka dari kehidupan. Bunuh diri. Sakit? Pasti. Namun delapan tahun penantian kejelasan statusnya sebagai pengungsi mungkin lebih perih.
Lantas, bagaimana sebenarnya status Ali? Sebentar, jangan kesusu. Begini, Indonesia urung meratifikasi Konvensi PBB mengenai Status Pengungsi 1951 (1951 Refugee Convention) dan Protokol Pengungsi 1967 (Protocol Relating to the Status of Refugee).2Polemik regulasi pengungsi di Indonesia lebih lengkap bisa dibaca di sini https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt597853eb3280a/ada-masalah-regulasi-penanganan-pengungsi-di-indonesia/ Walhasil, pengungsi hanya punya dua pilihan: elus dada menunggu panggilan Negara Tujuan dari The UN Refugee Agency (UNHCR), atau nrimo tinggal di Indonesia tanpa status jelas dan jaminan hak dasar yang layak.
Namun, A Pond is the Reverse of an Island enggan memilih. Mereka hadirkan opsinya sendiri: solidaritas dan melawan. Mereka adalah kolektif yang berkolaborasi dengan komunitas pengungsi Kalideres, Jakarta Barat. Formasinya campur-aduk, mulai dari seniman hingga aktivis dan pengacara. Tujuannya, meramu strategi artistik demi hidup hari ke hari para pengungsi. Termasuk dengan menyambut ajakan Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 untuk turut mengisi ruang pameran utamanya di Jogja National Museum (JNM) Yogyakarta.
Kontras menerjang mata. Usai gelap-gelapan di ruang pamer Udeido Collective, mata disambut ruang putih milik A Pond is the Reverse of an Island di Jogja National Museum Lantai 1. Alih-alih menghadirkan ruang hening yang kontemplatif, mereka menjajal kemungkinan lain. Pada panel utara dan timur, terbentang rentetan infografis dan kliping soal nasib pengungsi. Berfokus di Kalideres dan mayoritas dari Afghanistan.
Ruang pamernya “riuh” oleh suara-suara informasi. Bahkan di depan ruang pamer, ditempeli potongan-potongan informasi yang berkaitan dengan kepengungsian di Kalideres. Ihwal ini berangkat dari keinginan A Pond is the Reverse of an Island untuk menjauhi kesan “mewakili”. Dalam agenda Studio Visit-nya, anggota kolektif memang meniatkan ruang pamer sebagai wujud berbagi daya dan privilese kepada para pengungsi.
“Mereka yang layak bersuara,” ujar Sanne Orthuizen yang lantas ditingkahi anggukan oleh kedua rekannya.
Maka, jadilah segala instalasi merupakan suara dari batang tenggorokan para pengungsi. Mulai dari meja yang berisikan hasil Publishing Solidarity, upaya penerbitan buku mewarnai yang berkisah perihal lakon hidup pengungsi di Kalideres, yang hasilnya untuk urun dana pengungsi selama pandemi Covid-19. Lalu ada instalasi mesin pembuat roti naan serta peti berisi sepohon delima di tengah ruang. Keduanya khas Afghanistan.
Cerita yang hendak disampaikan bukan semata romantisme pengungsi. Kekaguman atas mediokritas, kerentanan manusia yang kemudian secara ajaib mampu bertahan. Namun, sebagaimana opsi yang diciptakan kolektif bahwa refleksi adalah keharusan, dan menggugat nasib adalah muaranya.
Apa yang digugat? Seperti yang membunuh Ali waktu demi waktu, kejelasan status adalah yang mereka perjuangkan.
Persoalan pengungsi, termasuk di Kalideres, merupakan perkara ideologis alih-alih teknis semata. Bukan hanya soal regulasi yang rumpang, namun juga perihal keberpihakan ideologis yang patut dipertanyakan. Mau tidak mau, menyoal pengungsi perlu dibawa hingga dasar kebangsaan.
Perlu kita tengok gagasan Paduka Jang Moelia Ir. Soekarno soal Bangsa Indonesia. Baginya, kehendak bersatu nasionalistik Indonesia berakar dari rasa sepenjajahan. Secara historis-materialis, cocok. Sama-sama dijajah Belanda, lalu angkat senjata dan naik ke perundingan. Merdeka!
Persoalannya, apakah nasionalisme Indonesia sesempit Mereka-Yang-Dijajah-Belanda? Merujuk preambule Pembukaan UUD 1945, teranglah persoalan. “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan…”. Bukan hanya aktif menumpas “penghisapan manusia oleh manusia” sebagaimana yang ditekankan Karno. Lebih dari itu, bangsa ini mesti siap terima konsekuensi bahwa solidaritas kepada Mereka-Yang-Terjajah adalah keharusan.
Ali dan 13.4163Lihat https://data.tempo.co/data/1189/per-juni-2021-pengungsi-di-indonesia-mayoritas-berasal-dari-afghanistan pengungsi lainnya di Indonesia bukan hanya terjajah. Lebih dari itu, mereka harus angkat kaki dari tanah airnya disepak perang-perang imperialistik. Adalah omong kosong bila saban 17 Agustus kita ajojing ria sambil kibarkan Merah Putih sementara ribuan Yang-Terusir di sini menganggap kasur sebagai kemewahan alih-alih hak dasar.
Demikian A Pond is a Reverse of the Island berupaya menggugat gagasan kebangsaan yang mapan. Mereka terus bersiasat bersama pengungsi. Menanam delima, mengadon roti naan. Pun, sembari mereka jawab bahwa pengungsi hanyalah status administrasi, yang tidak mampu hilangkan status manusia, yang dikalahkan, dijajah, dan terusir dari tanahnya. Yang kepada merekalah, kita sebagai bangsa bekas terjajah, patut bersolidaritas.