Museum sebagaimana yang kita ketahui, adalah tempat menyimpan sejarah. Seringkali museum dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Forum Diskusi Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 melihat bagaimana upaya-upaya kurator dan seniman muda dalam menyegarkan cara pandang publik terhadap museum. Yaitu membuat ikatan-ikatan baru antara museum dengan masyarakat sekitarnya.
Dari museum warga hingga ke Re-Imagine Bikon Blewut, begitulah tajuk yang diberikan Eka Putra Nggalu, perwakilan dari Komunitas KAHE, sebelum memulai ceritanya tentang aktivitas kesenian yang digelutinya bersama teman-temannya.
Pada 2020-2021, Komunitas KAHE bersama dengan Teater Garasi membuat sebuah aktivitas kesenian di Kampung Wuring, Flores, Nusa Tenggara Timur. Kampung Wuring yang sudah terbentuk sejak awal abad ke-19 ini merupakan sebuah kampung Bajo, Bugis, yang menyimpan banyak cerita di setiap sudutnya.
Projek ini pun bertujuan untuk memetakan modal, isu, potensi yang ada di Kampung Wuring, serta mencoba mengaktivasi melalui karya seni. Lebih jauh lagi, projek ini bertujuan memberi ruang pertemuan antara dua entitas budaya yang berbeda yaitu, Bajo dan Maumere.
“Ketika kami melakukan projek ini, kami mencoba membangun komunikasi dengan teman-teman di Kampung Wuring. Semacam membuka jembatan di antara teman-teman di Kampung Wuring dan di Maumere. Kami merasa Kampung Wuring begitu asing dan eksotis. Padahal jaraknya sangat dekat dan ia lebih tua dari Kota Maumere,” jelas Eka dalam acara Forum Diskusi Publik #9 bertema “Bermain dengan Museum/Playing with Museum” pada Kamis (4/11).
Selain projek Kampung Wuring, Komunitas KAHE juga menghidupkan kembali Museum Bikon Blewut yang sempat mati suri. Apa yang dilakukan oleh Komunitas KAHE adalah membongkar kembali narasi, konten, dan konteks dari Museum Bikon Blewut. Dengan pendekatan yang lebih segar, Museum Bikon Blewut berhasil menarik banyak pengunjung hanya dalam beberapa hari.
Hadir juga sebagai pembicara adalah kurator Jepang Yuki Hatori. Ia menceritakan pengalamannya membuat program-program di luar kebiasaan yang dimiliki oleh Kyushu Geibun-kan, museum tempatnya bekerja.
Menurut Yuki, walaupun di Jepang banyak museum, tetapi hanya memikirkan pembangunannya, tidak banyak memikirkan visi untuk pengelolaannya.
Dari 2018-2019, Yuki bertemu dengan orang-orang yang biasa berkegiatan kolektif. Ia melihat bagaimana kolektif berkumpul dan mengobrol, hingga memunculkan ide-ide baru yang bisa diwujudkan bersama. Dengan kebiasaan yang berbeda ini, ia merasa harus melakukannya di Jepang.
“Prosesnya sangat santai. Saya belum pernah mengalami proses seperti itu di Jepang. Saya merasa yang muncul dari kegiatan kolektif tidak hanya karya-karya seni konvensional, tapi juga solidaritas dan persaudaraan komunitas,” ungkap Yuki.
Satu hal yang menarik adalah bagaimana masyarakat berubah menjadi modern, tapi tidak pernah benar-benar meninggalkan masa lalu. Museum yang menyimpan benda-benda dari masa lalu, bisa dikontekstualkan dengan hari ini.