Alih-alih menggunakan pendekatan akademik, Broken Pitch mengolah narasi dan gagasan dekolonisasi Timur yang ditawarkan Juanga Culture dengan gaya lowbrow. Proyek-proyek mereka menghadirkan playground sebagai wahana interaktif antara karya seni, narasi, dan apresian.
Hal itu dimungkinkan oleh karya-karya Broken Pitch x Juanga Culture yang mengolah ruang sebagai karya instalasi. Lebih jauh eksperimen Broken Pitch, sebagai pengolah elemen visual, membuka kesempatan partisipatoris kepada pengunjung untuk terlibat dalam proyek seni mereka. Selain itu, karya ini juga mendobrak tembok eksklusivitas yang selama ini lekat dengan karya seni dan wacana-wacana yang dibawanya.
Terdiri dari tiga ruang yang menjadi satu kesatuan Resource Room, ruang tengah disulap serupa atmosfer diskotik, lengkap dengan dindingnya yang warna-warni, juga podium mini dan microphone. Suara musik hip-hop dengan lirik yang terpampang pada dinding, berjudul “Boki Nukila vs Kolonial” berusaha mengajak pengunjung untuk bernyanyi dan bergoyang mengikuti irama musik. Intervensi artistik ini berupaya membongkar warisan pengetahuan dan definisi teritorial Indonesia dan Oseania yang selama ini dikenal.
Bila bergeser ke kiri, terdapat bilik bernuansa putih dipenuhi kertas-kertas dan mesin fotokopi di tengah-tengah ruangan. Pada dindingnya bertebaran kata-kata slang, salah satunya dalam bingkai rantai hati: “universal slang for workers and slaves next generation”. Dimaksudkan untuk memancing pengunjung merespons dengan menyusun kata-kata umpatan, makian, atau bahkan curahan hati yang tabu untuk diekspresikan di ruang publik.
Citra yang muncul dalam presentasi karya ini sedikit banyak mengingatkan pada gaya kepenulisan ala koran kuning—”jurnalisme” kuning. Dengan gaya bahasa yang cenderung nyeleneh dan ngawur, jurnalisme kuning menyajikan berita-berita sensasional, sedikit informasi, lebih banyak membangkitkan dan merangsang gairah pembaca. Seperti cerita-cerita seputar kejahatan, skandal, seks, gossip dengan judul berita yang menyesatkan.
Bahasa ala koran kuning ini kemudian memungkinkan adanya distorsi dan pengaburan makna. Melalui gaya bahasa semacam itu, koran kuning membangun konsep tersendiri yang bergeser dari kejadian sebenarnya. Selain itu, dapat mengganggu proses pembaca membayangkan sebuah kejadian dan terjebak pada persepsi yang dibangun dalam berita-berita koran kuning.
Persepsi yang dihadirkan koran kuning, sebelumnya telah lebih dulu ada di dalam kepala tiap-tiap konsumennya. Sebut saja, seksisme, kevulgaran, erotisme, sensualitas, dan sebagainya. Tidak hanya mempermainkan persepsi, mereka kerap merekayasa kejadian sebagai bahan untuk menarik atensi pembaca.
Dari sini, karena kedekatannya dengan mode komunikasi jurnalisme kuning, “plat kuning” boleh disematkan kepada pola kesenian yang dibawakan Broken Pitch pada gelaran Biennale Jogja XVI Equator #6 2021.
Berangkat dari pemaparan di atas, pertanyaan selanjutnya, apakah Broken Pitch mampu membawa narasi yang mereka angkat sebagai konteks? Tidakkah hal itu justru mendistorsi wacana mereka?
Bila melihat gaya komunikasi Broken Pitch terhadap apresian, hal itu bisa dilacak dari pola serupa, salah satunya koran kuning. Kemunculan koran kuning berusaha memenuhi kebutuhan “surat kabar kelas bawah”. Pendekatan ini, nyatanya, dapat menjangkau selera masyarakat yang lebih luas. Menyasar kelas bawah yang kurang terdidik, pada 2010-2012, total sirkulasi Pos Kota—pelopor koran kuning di Indonesia—mencapai 500.000 sampai 600.000 setiap harinya. Bahkan, pada 2005, popularitasnya sempat mengalahkan surat kabar harian Kompas. Angka ini menjadi gambaran betapa masyarakat kita masih banyak yang seleranya diabaikan media arus utama.
Upaya yang hampir sama juga dilakukan oleh Broken Pitch dengan pendekatan lowbrow mereka, yakni menjangkau seniman yang terpinggirkan; mereka yang masih jauh dan belum memiliki akses ke panggung seni yang lebih berjejaring. Plat kuning digunakan Broken Pitch sebagai kendaraan yang membawa kesenian ke dalam ruang yang lebih interaktif.
Bila komunikasi lowbrow digunakan jurnalisme kuning untuk menjelaskan sesuatu yang remeh dengan cara yang “remeh” pula, Broken Pitch justru menggunakan pendekatan ini untuk menjelaskan sesuatu yang serius. Sebagaimana deskripsi karyanya, Broken Pitch dan Juanga Culture memijakkan gagasan mereka pada wacana kebudayaan laut di wilayah Moluku Kie Raha sejak wewenang raja laut seperti Boki Nukila maupun Sultan Nuku; disusul manusia laut seperti Suku Bajo; hingga aktivitas bajak laut (lanun) di perairan Nusantara pada masa akhir kolonialisme.
Broken Pitch, yang sudah muncul sebagai anomali, sekali lagi bereksperimen dengan cara yang lebih absurd. Gaya lowbrow yang jelas menjadi alternatif dalam penyampaian gagasan, bukan berarti bisa mewadahi segala persoalan. Apalagi, terkait masalah-masalah yang memerlukan diskusi panjang. Mereka hanya sampai pada daya persuasif dan tidak bisa memfasilitasi wacananya ke dalam ruang diskursus yang sesungguhnya.
Maka dari itu, gaya komunikasi lowbrow, jika dijadikan upaya kesenian untuk membicarakan masalah dunia ketiga, seperti dekolonisasi, tidakkah itu percobaan yang terlalu bermain-main?
Referensi
Pesan dan Kanal. (2020, 8 Mei). medium.com. https://pesandankanal.medium.com/karena-cuan-terbitlah-koran-kuning-9cbc54b515d0. Diakses 22 Oktober 2021, 16.00 WIB.
Utomo, W. P. (2016, 30 September). Remotivi.or.id. https://remotivi.or.id/mediapedia/324/menjual-berita-sensasional. Diakses 22 Oktober 2021, 16.17 WIB.
Utomo, W. P. (2015, 29 Juli). Remotivi.or.id. https://www.remotivi.or.id/kabar/200/sensasi-dan-kekerasan-dalam-pos-kota. Diakses 22 Oktober 2021, 16.18 WIB.