Arief Budiman adalah seorang seniman yang banyak berkarya melalui gambar bergerak sebagai salah satu media utamanya. Ia aktif di beberapa komunitas, seperti MES 56 dan Piring Tirbing. Arief menjadi salah satu seniman yang berpartisipasi dalam pameran utama Biennale Jogja XVI Equator #6 2021.
Keterlibatan Arief pertama kali di Biennale Jogja tahun ini dimulai dari mengikuti Program Asana Bina Seni pada tahun sebelumnya. Saat itu, Arief mempresentasikan karyanya mengenai isu yang terjadi di Papua. Ia melihat bagaimana media bungkam dan banyak berita yang distorsi hingga apa terjadi di Papua tidak sama dengan keadaan sesungguhnya. Pada akhirnya, salah satu kurator Biennale Jogja tahun ini, Elia Nurvista, mengajaknya untuk bergabung kembali, mempresentasikan karyanya. Ia juga merupakan seniman yang mengikuti residensi Biennale Jogja XIV Equator #6 2021.
Arief melakukan perjalanan residensi yang harusnya dua minggu, diperpanjang menjadi dua bulan. Dalam rentang itu, ia dapat mengakses beberapa tempat dan narasumber sesuai kebutuhan.
Sebelum perjalanan residensi Papua, Arief sudah membuat daftar tempat-tempat yang ingin dikunjungi demi menggali informasi. Bagaimana sebenarnya yang terjadi di Papua, lalu seperti apa Isu yang selama ini terjadi?
Bagi Arief, berada di Papua tak ubahnya seperti di Jabodetabek. Banyaknya pendatang dan bisa dikatakan hanya 50% orang asli Papua menjadi salah satu kesamaannya.
Bagi Arief, berada di Papua tak ubahnya seperti di Jabodetabek. Banyaknya pendatang dan bisa dikatakan hanya 50% orang asli Papua menjadi salah satu kesamaannya. Kesan pertama Arief tiba di Papua, pinang dan rokok menjadi jembatan untuk membangun relasi dan bergaul dengan orang Papua. Pinang adalah alat kontak yang baik jika ingin berbincang dengan orang yang baru dikenal. Terlebih jika ikut mengunyahnya, yang dapat menciptakan keakraban dengan mereka. Pinang juga menjadi identitas bagi orang Papua.
Berbagai isu yang pernah didengar Arief selama di Jawa, benar-benar terjadi, namun berbeda dengan yang disampaikan oleh media. Lalu ketika tahu secara dalam apa yang sebenarnya terjadi dari berbagai narasumber, mengenai kekerasan, diskriminasi, semua itu menjadi refleksi sendiri bagi Arief.
Isu-isu lainnya yang muncul adalah kesulitan mendapat kerja, tanah, hutan, dan lain sebagainya. Bagaimana tanah dan hutan direbut dari masyarakat Papua jika keduanya adalah sumber hidup bagi mereka?
Di Papua, Arief banyak berdiskusi dengan orang-orang mengenai poskolonial, dekolonisasi yang bahkan diangkat isunya pada hari ini di Biennale Jogja dan itu menjadi isu yang digelisahkannya.
Salah satu komunitas yang ditemui Arief di Papua adalah Papuan Voices. Mereka adalah komunitas yang berfokus pada aktivisme dan film dokumenter di Papua yang mayoritas anggotanya adalah asli orang Papua.
Menariknya, komunitas Papuan Voices sadar dengan banyaknya permasalahan yang mereka suarakan melalui medium gambar bergerak. Dalam bentuknya, mereka selalu membungkus karyanya menjadi sebuah film dokumenter. Papuan Voices sangat percaya dengan film dokumenter yang mampu menghadirkan peristiwa nyata yang terjadi di Papua kepada masyarakat luas.
Pengalaman dan informasi yang didapat Arief selama di Papua kemudian menggumpal menjadi karya yang disajikan pada Biennale Jogja XVi Equator #6 2021. Ia berkolaborasi dengan Harun Rumbarar dan Max Binur, seorang seniman sekaligus aktivis yang sering menyuarakan permasalahan di Papua Barat melalui medium musik dan film.
“Terima kasih untuk Biennale Jogja atas kesempatan kali ini, memberikan saya tempat untuk belajar dan mengirim saya untuk residensi di Papua dan menjadikan saya seniman di pameran utama Biennale Jogja. Lega sekali karena isu yang diangkat mengenai dekolonisasi menjadi keterbukaan kita terhadap masyarakat Papua,” ujar Arief Budiman.