Mama Fun memiliki nama asli Marlinda Nau, Fun diambil dari nama anaknya. Ia adalah salah satu anggota dari Lakoat.Kujawas dan memiliki fokus pada pengembangan pangan lokal.
Mulanya, Mama Fun mengenal Biennale Jogja dari kedatangan salah satu peserta residensi, yaitu Dyah Retno ke Lakoat.Kujawas, di Mollo. Daerah di mana Mama Fun tinggal. Dalam kesempatan itu, Dyah meneliti tentang potensi tanah lokal di sana.
Setelah mendapatkan sampel tanah dari sungai di Desa Fatumnasi, bersama komunitas Lakoat.Kujawas dan masyarakat sekitar, Dyah kemudian mengolah tanah tersebut. Mulai dari mengaduk tanah liat dengan air hingga menjadi bubur, disaring menggunakan saringan santan kelapa untuk memisahkan tanah dengan batu atau pasir, dan kemudian dijemur hingga beberapa hari.
Mama Fun sangat tertarik ketika workshop gerabah dilaksanakan. Ia belajar membuat gerabah dan menghiasnya dengan motif khas Mollo hingga proses pembakaran. Hasil dari workshop itu kemudian di pamerkan di perpustakaan Lakoat.Kujawas. Semangat belajarnya yang tinggi tak membuatnya berhenti ketika pameran selesai digelar, hingga akhirnya ia terpilih mewakili komunitasnya untuk ke Yogyakarta dan hadir pada acara Biennale Jogja (BJ) XVI Equator #6 2021.
Di Yogyakarta, Mama Fun berbagi pengetahuan lokal yang dimilikinya dan sekaligus menyerap berbagai pengalaman untuk dapat diterapkan sekembalinya ke tanah kelahiran. Untuk memenuhi itu, BJ XVI memfasilitasinya dalam program residensi.
Perjalanan residensi Mama Fun yang pertama adalah mengunjungi Sekolah Pagesangan. Menurutnya, konsep Sekolah Pagesangan memiliki kemiripan dengan Lakoat.Kujawas, utamanya terkait berkaitan pengelolaan dan tantangannya.
Mama bercerita kepada Murni, salah satu pengelola Sekolah Pagesangan, mengenai beberapa bahan yang masih dalam proses eksperimen. Salah satu contohnya adalah daun kelor yang sejauh ini sedang dalam proses percobaan. Oleh Sekolah Pagesangan, belum ditemukan cara agar warna hijau daun kelor tidak beralih ke kuning setelah dikeringkan.
Mama Fun berbagi tentang proses pengeringan daun kelor versinya. Pada tahap awal yang ia lakukan berbeda dengan Murni, yaitu dengan memasukan ke dalam oven setelah dipetik. Warna daun kelor akan semakin keluar dan setelah berwarna hijau sempurna, baru bisa dikeluarkan dari oven dan dijemur, namun harus ditutup dengan kain hitam agar tidak memengaruhi aroma dan warna hijau tetap terjaga.
Kesamaan lainnya adalah keterlibatan anak-anak dalam memasak pangan lokal, kelas menulis, dan sekolah budaya, serta anak-anak diajak untuk bertani. Namun ada hal yang sangat menarik menurut Mama Fun di Sekolah Pagesangan, bahwa anak usia Paud pun bisa diajak ke kebun dan belajar bagaimana cara pengolahan tanah.
Proses tersebut, menurut Mama Fun, sangat menarik karena penanaman sejak dini mengenai bertani dianggap penting karena akan tertanam hingga dewasa, ia akan menganggap dirinya mampu bertahan hidup dan berdaya di desa dengan bertani tanpa harus pergi ke luar kota.
Mama Fun menjelaskan lagi, makanan yang menurutnya sama adalah tiwul, makanan yang terbuat dari singkong dan cara pembuatannya pun sama. Bedanya, di sana disebut dengan laku tobe. Makanan yang terbuat dari singkong lainnya juga memiliki kesamaan, dengan banyak modifikasi dalam proses pembuatannya, namun hasilnya sama.
Perjalanan Mama Fun selanjutnya adalah ke Bakudapan. Ia bertemu anggota Bakudapan seperti Kak Mon, Kak Lis, dan beberapa lainnya. Mereka berbincang mengenai makanan liar yang ada dan bisa digunakan sebagai alternatif ketahanan pangan.
Mama Fun mengawali kunjungan dengan berkeliling di kebun Bakudapan dan menemukan tanaman liar yang juga tumbuh di Mollo, di mana warga di sana menggunakannya untuk obat. Tanaman sejenis binahong di Mollo digunakan sebagai obat lambung. Penggunaanya dengan mencampurkannya dengan bubur dan dikonsumsi setiap pagi. Selain itu, juga dapat digunakan sebagai obat luka.
Selain tanaman, ada salah satu makanan di Mollo yang mirip dengan bakpia, namun prosesnya lebih rumit, dan karena residensi ini Mama Fun mendapat pengetahuan baru mengenai pengelolaan makanan yang lebih efektif. Jika di Mollo, dalam sehari hanya dapat memproduksi 50 butir bakpia, namun dengan cara yang telah dibagikan di Bakudapan, dalam waktu 1 jam dapat memproduksi 50 butir bahkan lebih. Perbedaannya hanya terdapat pada prosesnya. Cara yang dilakukan di Mollo adalah dengan menggiling satu per satu serta berkali-kali dan setiap lapis harus digiling, namun cara yang dibagikan oleh Kak Mon, hanya di gulung-gulung dan dipotong-potong, kemudian ditambah bahan lain dan terakhir dibentuk.
Di samping Sekolah Pagesangan dan Bakudapan, Mama Fun juga mengunjungi Agradaya dan Bumiranah. Di sana, Mama menemukan banyak sekali bahan-bahan yang ternyata dapat dijadikan teh. Selain minuman, Mama Fun juga sangat tertarik dengan packaging produk. Mama mengambil foto sebagai dokumentasi agar ia tidak lupa dan dapat membagikan kepada komunitasnya.
Mama berencana menerapkan proses penataan dan packaging untuk food lab di Lakoat.Kujawas karena di komunitasnya juga telah melakukan penjualan produk. Penjualan produk selama pandemi dilakukan secara online karena yang menyerap produk mereka umumnya berasal dari luar daerah Mollo. Ketika pandemi, penjualan tidak bisa dilakukan dalam jumlah banyak karena tempat-tempat pengiriman banyak yang tutup.
Penjualan tersebut dapat dilakukan secara personal, juga komunitas. Ketika dijual melalui komunitas, maka kesepakatannya adalah membagi persentase dari hasil penjualan untuk koperasi dan uang tersebut dapat digunakan untuk pendidikan dan kesehatan keluarga penyetor.
Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 membuka jaringan baru bagi Mama Fun dari berbagai macam tempat dan saling mendukung. Mama Fun berharap komunitas-komunitas lain yang ada di Nusa Tenggara Timur (NTT) juga diundang agar mendapat jejaring tidak hanya dalam NTT tapi juga ke luar.