Jika melihat Dapur Umum 56, yang tampak selalu keceriaan, canda dan tawa, lalu tentu saja hidangan sederhana yang selalu dapat menggugah selera. Berbagai menu yang mereka siapkan, selalu habis dan tidak pernah sepi pengunjung.
Ketika disinggung tentang pendanaan selama perhelatan Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, anggota Dapur Umum 56 Fajar Riyanto sedikit tertawa. “Tapi memang masih belum bisa untuk menutup sampai akhir acara di Biennale. Sampai akhir acara itu kita masih ketar-ketir, sih,” katanya pada Sabtu (23/10) menjelang senja.
Untuk itu, Dapur 56 harus memutar otak menghasilkan dana sendiri, agar kegiatan Dapur Umum 56 bisa terus berjalan hingga akhir. Partisipasi dari masyarakat umum lewat donasi pun hingga kini masih cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur, walaupun tidak seberapa.
Sepanjang perhelatan Biennale Jogja XVI pun, Dapur Umum 56 melakukan aktivasi karya setiap minggunya. Selain mengadakan acara live cooking, Dapur Umum 56 juga membuka Toko 56. Dan tidak ketinggalan pula Pasar Bebas serta acara lelang. Pasar Bebas ini sendiri merupakan garapan antara Dapur Umum 56 dan Tonjo Foundation.
Menurut Fajar, adanya kegiatan pasar ini untuk memenuhi kebutuhan dana bagi kegiatan Dapur 56. Hasil dari acara lelang itu pun akan kembali ke Dapur 56, untuk kemudian disubsidikan memenuhi kebutuhan bahan di dapur.
Lain halnya dengan Pasar Bebas. Pasar Bebas diisi dengan beberapa kolektif dan seniman yang ingin menjual hasil karyanya. Dapur Umum 56 pun tidak menarik biaya sama sekali untuk partisipan yang mengisi Pasar Bebas.
“Kami tidak menarik sepeser pun. Jadi gagasanya biar kita bisa berkembang bersama. Konsep kolektif, bisa saling berjejaring dan saling tolong menolong,” ujar Fajar.
Kebutuhan dapur sendiri untuk sekali aktivasi, dibatasi sebanyak tiga ratus ribu rupiah. Hal ini menjadi tantangan sendiri. Bagaimana chef Dapur Umum 56 mengolah makanan yang cukup untuk lima puluh orang dengan dana yang minim. Tentu saja ini sesuai dengan konsep Dapur Umum 56 itu sendiri, makanan yang dimasak tidak terlalu mewah, tetapi cukup untuk mereka bisa survive selama pandemi.
“Seratus empat puluh, untuk mixtape Asep Nayak! Ada lagi? Lelang berakhir saat musik selesai!”
Teriakan lewat toa itu memenuhi kawasan stage Jogja National Museum (JNM). Suara riuh dan gelak tawa pun terdengar mengelilinginya. Sisi kanan stage JNM sore itu tampak penuh dan ramai. Partisipan dalam pasar adalah Toko 56, BarBarBar, Mobii, Senyawa Mandiri, Puisi Seketika, Sketsa Wajah Tidak Mirip, Workshop Mixtape Bersama Gus Kalz, Toko Musik Luwes, Live Sablon desain Dapur Umum 56, juga live DJ.
Ahad (24/10) sore itu, Dapur 56 membuka Pasar Bebas beserta lelang. Walau tidak banyak lapak yang dibuka, namun antusias pengunjung tidak bisa diabaikan begitu saja. Harga yang dipatok untuk barang-barang yang dijual pun cukup terjangkau. Ada pula yang hanya memasang tarif sepantasnya, seperti sketsa gambar wajah.
Kerumunan pasar tampak mencolok di hadapan triplek besar yang dipenuhi pernak-pernik, karya teman-teman Dapur Umum 56. Beberapa karya seperti CD, kaos, jaket dan lainnya, berjajar di sepanjang triplek tersebut.
Lotre Tonjoria dari Tonjo Foundation, yang dibuat khusus untuk kebutuhan pasar. Lotre ini hanya dipatok seharga lima ribu rupiah. Dengan harga yang sangat terjangkau dan hadiah yang menarik, lotre ini menjadi bintang utama Pasar Bebas.
Bukan hanya berbagi makanan, Dapur Umum 56 pun sukses membagikan canda dan tawa lewat Pasar Bebas. Bahkan hanya bagi pengunjung yang kebetulan lewat dan tertarik untuk melihat.