Hari ketiga Biennale Forum pada Minggu (10/10) cukup berbeda. Konsepnya tak lagi seminar, melainkan Focus Group Discussion (FGD). Panggung yang biasanya hanya diisi oleh dua hingga tiga pembicara, kali ini tampak penuh. Wajar saja, pembicara yang hadir merupakan perwakilan dari beberapa kolektif.
Ayos Purwoaji dan Elia Nurvista sebagai moderator, membuka diskusi dengan sapaan ringan. Satu per satu pembicara diundang naik ke panggung.
“Jadi nanti kita diskusi terarah. Jadi kita bisa lebih santai dan rileks dari forum-forum kemarin,” ucap Elia.
Pertumbuhan kolektif di Indonesia sejak awal tahun 2000, salah satunya didorong oleh banyak sekali institusi seni yang dimiliki oleh negara, dianggap macet. Hingga akhirnya memberikan ruang bagi anak-anak muda Indonesia untuk berkreasi dan menampilkan bentuk-bentuk ekspresi seni mereka. Dan muncullah kolektif-kolektif seni dan ruang-ruang alternatif yang kemudian tumbuh setelah era orde baru. Hari ini, tepat 20 puluh tahun kemudian, menjadi sangat lazim kita temukan di berbagai daerah di Indonesia, munculnya kolektif-kolektif seni dan juga ruang-ruang alternatif. Narasi tersebut disampaikan Ayos sebagai pengantar dalam forum diskusi.
Diskusi pun ingin melihat, apakah masih ada ataukah masih relevan hubungan antara pertumbuhan kolektif seni dengan institusionalisme seni, yang mana seringkali dianggap tidak bisa menyuarakan bentuk-bentuk ekspresi dari para pekerja seni?
Satu per satu perwakilan kolektif menyampaikan pendapat mereka. Dalam diskusi ini, kolektif yang berpartisipasi ada A Pond is The Reserve of an Island, SkolMus, Komunitas KAHE, Broken Pitch, dan Indonesia Art Movement.
Praktik-praktik yang diterapkan kolektif seni sendiri memiliki metode yang berbeda. Beberapa kolektif menyebut diri mereka sebagai komunitas. Kolektivitas dalam kolektif seni tidak memiliki batasan yang cukup jelas. Broken Pitch menyebutkan kolektif adalah sebuah platform. Dan juga Adi, salah satu perwakilan dari Broken Pitch menambahkan bahwa mereka adalah playground.
“Bahkan mungkin di luar sana ada yang melihat Broken Pitch itu sebagai wahana pencari bakat. Begitu, kan?” canda Ayos yang disambut gelak tawa para pembicara.
Setiap kolektif memiliki urgensi tersendiri dalam pembentukannya. SkolMus dibentuk karena kegelisahan pada akses multimedia. Orang-orang yang belajar multimedia, akhirnya berkumpul dan membentuk SkolMus itu sendiri di Kota Kupang. Karya SkolMus awalnya bervariasi, berupa esai, foto, video, hingga kelas menulis. Seiring berjalannya waktu, karya SkolMus kini hanya berfokus pada fotografi.
Lain lagi halnya dengan A Pond Is The Reverse of an Island yang terbentuk dari beberapa anggota kolektif yang berbeda. Yang mana urgensinya, mereka berfokus pada pengungsi yang ada di Indonesia.
“Sebenarnya forum ini berarti untuk saya. Pulang dari sini pasti mikir lagi. Tapi menarik tema ini. KAHE pada titik tertentu, melihat seni sebagai bahasa, sehingga itu kemudian bentuk dan modelnya itu bisa bermacam-macam,” jelas Eka sebagai perwakilan dari Komunitas KAHE.
Salah satu isu yang ingin dibawa pada Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 adalah upaya-upaya dalam pendesentralisasian. Desentralisasi kini hanya berpusat pada sentrum-sentrum tertentu. Para seniman kolektif sendiri memiliki berbagai cara dalam menghadapi hal itu.
“Menurut saya desentralisasi itu hal yang akan terus berulang. Tidak hanya di Timur, di Jawa, akan ada muncul pusat-pusat baru lagi. Itu tidak perlu dibahas. Intinya apa yang mau dibuat dan ditingkatkan di daerah masing-masing. Dan itu akan menjadi karakteristik daerah masing-masing,” ungkap Frengki Lollo, perwakilan dari SkolMus.