Meski patah-patah sebab tayangan video via Zoom memang kurang mulus, namun citra yang disampaikan jelas. Kehidupan Jawa.
Dibuka adegan suara jamaah Yasinan, lantas digantikan dengan tabuh gamelan. Gambar silih berganti: wanita berkebaya, pentas sendratari, hingga ayam di pekarangan.
Jawa sekali? Pasti di Jawa, pikir saya. Salah besar. Bukan di Jawa, namun oleh Jawa. Mereka lah para diaspora, orang-orang yang tercerabut dari tanah leluhurnya, Jawa di Suriname.
Demikian cuplikan film pendek berjudul “More Javanese than the Javanese in Modern Indonesia”. Film diputar oleh Fuji Riang Prastowo selaku pembicara pada Sesi Viral #2: Embodied Diaspora: On Trans-national Becoming and Oceanian Identity. Diskusi ini digelar oleh Biennale Jogja XVI pada Selasa (28/09) secara daring via Zoom.
Selain Fuji, Marlon Ririmasse yang notabene merupakan arkeolog dari Balai Arkeologi Ambon juga menjadi pemateri. Diskusi juga dimeriahkan oleh Nancy Jouwe, seorang diaspora Maluku-Papua-Jawa sekaligus peneliti bidang gender dan poskolonialisme.
Pemutaran film oleh Fuji bukan tanpa alasan. Film ini merupakan awalan untuk masuk kepada bahasan soal diaspora. Baginya, para diaspora, termasuk yang berasal dari Jawa, mengalami fenomena “ingatan poskolonial”.
Sederhananya, para diaspora merawat ingat atas tanah leluhurnya persis sesaat sebelum mereka angkat kaki dari sana. “Para diaspora Jawa yang meninggalkan tanahnya tahun 1975, selamanya akan memelihara ingatan saat itu di perantauannya,” tutur Fuji. Membekukan ingatan.
Kehidupan yang sangat njawani dari para diaspora Jawa di Suriname membuat Fuji bilang bahwa mereka cenderung fundamentalis. Maksudnya, para diaspora Jawa memilih untuk kembali ke akar tradisinya. Kepada ingatan atas Jawa yang membeku.
Alia Swastika selaku moderator kemudian mengarahkan diskusi ke arah tema Biennale Jogja XVI: Oseania. Kasusnya, diaspora di Kaledonia Baru. Alia menjelaskan bahwa pada 2020 silam digelar referendum kemerdekaan dari Perancis untuk bangsa Kaledonia Baru. Hasilnya: lebih dari 50% penduduk memilih untuk tidak merdeka.
Fuji punya jawaban. Dia bilang, komunitas francophone (berbahasa Perancis) punya keterikatan kuat dengan kebudayaan Perancis. Hal ini membuat asimilasi berjalan mulus. Ditambah ingatan beku para diaspora Kaledonia Baru yang membuat sulit bagi mereka untuk membayangkan komunitas bernama “Bangsa Kaledonia Baru”.